(Refleksi Pelantikan Kapolri)
Oleh: Ali Thaufan DS, Tenaga Ahli Anggota DPR Fraksi Partai Golkar dan Alumnus Progam Magister UIN Ciputat Banten
Kegaduhan politik yang terjadi menjelang pergantian Kapolri Jenderal Badrodin Haiti telah usai setelah Presiden Joko Widodo mengajukan nama Komjend Tito Karnavian sebagai calon Kapolri. Tito pun telah melaksanakan uji kelayakan di DPR, 23 Juni 2016, dan dinyatakan “lulus”. Tanggal 13 Juli 2016 kemarin, ia secara resmi dilantik sebagai Kapolri oleh Presiden.
Sejak pemerintahan Presiden Jokowi, selalu muncul kegaduhan politik menjelang pergantian Kapolri. Pada 2015 lalu, saat Presiden akan mengangkat Komjend Budi Gunawan sebagai Kapolri, timbul kegaduhan politik karena Budi ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Penetapan Budi sebagai tersangka membuat dua lembaga negara –KPK dan Polri- kembali membuka perseteruan jilid baru, Cicak VS Buaya. Presiden Jokowi mendapat desakan agar melantik Budi karena ia telah dinyatakan lulus dalam fit and propertest di DPR. Ia juga telah dinyatakan “bersih” karena gugatan pra peradilan membatalkan status tersangka Budi. Tetapi gelombang penolakan pelantikan Budi dari publik mengurungkan niat Presiden melantiknya.
Menjelang masa pensiun Badrodin, riuh kegaduhan politik kembali muncul. Beberapa opsi pencalonan Kapolri disampaikan para elit politik. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) misalnya, kembali mengusulkan Budi sebagai calon Kapolri. Sementara itu, istana justru berniat akan memperpanjang masa kepemimpinan Badrodin. Terlihat jelas ketidakharmonisan antara Presiden dengan partai utama penggusungnya dalam hal pencalonan Kapolri. Akhirnya, dengan penuh pertimbangan matang, Presiden mengajukan nama Tito Karnavian sebagai calon tunggal Kapolri.
Penunjukan Tito oleh Presiden terbilang mengagetkan karena ia melompati banyak angkatan diatasnya. Tito yang merupakan angkatan Akpol 1987 berhasil memikat Presiden ketimbang para seniornya. Setidaknya terdapat delapan jenderal bintang tiga Polri yang saat itu diprediksi menjadi calon Kapolri, seperti: Noer Ali (lulusan Akpol 1981), Dwi Prayitno (lulusan Akpol 1982), Budi Gunawan (lulusan Akpol 1983), Budi Waseso (lulusan Akpol 1984), Putut Eko Bayuseno (lulusan Akpol 1984), Syafruddin (lulusan Akpol 1985), Suhardi Alius (lulusan Akpol 1985) dan Ari Dono Sukmanto (lulusan Akpol 1985).
Trevor Jones (1994) menyoroti keberadaan polisi dalam perspektif negara demokrasi. Menurutnya, polisi di negara demokrasi adalah bagian dari pelayan masyarakat. Kedudukan polisi sangat penting dalam sebuah negara. Keberadaan polisi tidak lain adalah melindungi hak asasi dan kebebasan masyarakat. Publik berharap Tito mampu mewujudkan cita-cita polisi di negara demokrasi.
Kesan polisi yang “militeristik” dan menakutkan bagi masyarakat harus dirubah. Undang-undang No. 2 tahun 2002 telah mengamanatkan bahwa Polri berfungsi sebagai “Pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat”. Artinya, Polri dengan dengan masyarakat.
Pencalonan Tito sebagai Kapolri direspon positif oleh banyak kalangan, masyarakat sipil, politisi dan internal Polri. Tito yang dianggap sebagai “Intelectual Police” dianggap pas menduduki jabatan Kapolri. Kapasitas Tito dan segudang prestasinya diharapkan mampu memperbaiki internal Polri.
Dalam uji kelayakan di DPR lalu, Tito berjanji akan memberi perhatian lebih terhadap pembenahan internal Polri. Keberadaan pengawas internal Polri akan diperkuat guna mendorong terwujudnya reformasi Polri. Selain itu, sarana dan prasarana yang menunjang kinerja Polri serta kesejahteraan personil juga menjadi prioritas Tito. Tantangan berat akan dihadapi Tito. Ia harus memimpin para seniornya dalam upaya mereformasi Polri.
Jangan Jadi Alat Penguasa, harapan besar masyarakat akan terwujudnya Polri yang profesional menjadi tugas berat Tito. Tidak bisa dinafikan bahwa selama ini, citra buruk kerap ditujukan kepada anggota kepolisian. Kesan bahwa polisi korup, tebang pilih dalam menegakkan hukum, arogan, alat penguasa dan pengusaha harus segera dihapuskan.
Peristiwa kagaduhan politik dengan melibatkan Polri di era Presiden Abdurahman Wahid (Gus Dur) jangan lagi terulang. Intervensi Presiden dan juga Parlemen terhadap Polri saat itu sangat disayangkan. Kerugian yang diakibatkan adalah konflik internal Polri dan memburuknya hubungan Eksekutif dengan Parlemen. Beberapa perwira melakukan “demonstrasi” di Markas Besar Polri.
Keputusan Gus Dur yang memberhentikan Kapolri Surojo Bimantoro dan memaksakan melantik Komjend Chaeruddin Ismail akhirnya berujung pada pelengserannya melalui Sidang Istimewa (SI) MPR. Peristiwa kegaduhan politik dan konflik internal Polri pada era Presiden Gus Dur menjadi pelajaran penting bagi insan Kepolisian.
Kedudukan Polri dalam sistem ketatanegaraan terbilang sangat “seksi”. Inilah yang membuatnya menjadi daya tarik bagi penguasa untuk dapat mempengaruhi kebijakan Polri. Penunjukan Kapolri oleh Presiden dan kemudian dilakukan uji kelayakan di DPR membuat Polri rentan dipolitisasi. Bambang Widodo Umar, sering menyebut bahwa setiap pergantian Kapolri seringkali terjadi kegaduhan politik. Sejak era Presiden Gus Dur hingga Jokowi, pergantian Kapolri sering diwarnai dengan tarik-menarik kepentingan elit politik.
Pada titik ini, tuntutan Polri yang independen tidak bisa ditawar lagi. Polri jangan menjadi alat kepentingan penguasa. Meski Polri secara langsung berada di bawah Presiden, ia harus tetap tunduk pada hukum yang berlaku. Dan, meski penunjukan Kapolri juga melibatkan DPR, ia juga harus bisa menjaga jarak dan independensinya dengan politisi senayan tersebut. Perlu ditegaskan bahwa jabatan Kapolri bukan lah jabatan politik, atau imbal jasa.
Pelibatan Polri dalam politik praktis sejatinya menghambat proses reformasi Polri yang sering didengungkan. Hal tersebut patut menjadi perhatian setiap Kapolri, termasuk Tito Karnavian. UU Kepolisian sebetulnya dengan tegas melarang anggota Polri aktif terlibat dalam politik praktis. (*)