Oleh: Arif Wahyudi, ME., AK., CA. (Wakil Ketua ICMI Tangerang Selatan)
Gedung Dewan yang terletak di Jalan Raya Puspitek No.1, Setu, Kota Tangerang Selatan, Banten mulai direhab secara total pertengahan tahun 2015. Gedung tersebut sebelumnya sudah cukup bagus hasil tambal-sulam sejak tahun 2010. Gedung tambal sulam yang menggunakan APBD dari tahun ke tahun tersebut kemudian dirubuhkan untuk dibangun gedung baru berlantai delapan. Pekerjaan tahap pertama menelan anggaran 77 M yang rencananya akan dilanjutkan kembali di tahun 2016. Namun pekerjaan tahap pertama tersebut terhenti dan khabarnya menjadi objek audit BPK RI. Hal ini membuat bangunan tersebut saat ini terkesan mangkrak dan menimbulkan pertanyaan masyarakat.
Sambil menunggu proses pembangunan Gedung Dewan, Pemkot Tangerang Selatan memfasilitasi kantor sementara DPRD di salah satu gedung tidak jauh dari Gedung Dewan yang sedang dibangun. Untuk fasilitasi ini Pemkot Tangsel harus mengalokasikan dana untuk biaya sewa. Mengingat gedung yang disewa tersebut tidak mencukupi untuk penyelenggaraan rapat-rapat paripurna, maka Pemkot Tangerang Selatan harus pula mengeluarkan biaya sewa gedung pertemuan atau pun hotel yang mampu menampung peserta dan undangan rapat paripurna yang cukup banyak. Sehingga konsekwensi dari keterlambatan pembangunan Gedung Dewan adalah semakin besarnya biaya sewa baik untuk gedung kantor mau pun fasilitas ruang rapat paripurna. Kesemuanya tentu bersumber dari APBD.
“Mangkraknya” Gedung Dewan ini telah menarik perhatian media. Dalam satu pemberitaan mencuat perbedaan pernyataan antara Asisten Daerah (Asda) dengan Sekretaris Dinas (Sekdis) yang membidangi. Asda menyatakan pekerjaan tahap kedua bernilai 60 M akan dilanjutkan dan tengah diproses oleh Unit Layanan Pengadaan (ULP). Walau pun menyatakan lelang akan dilaksanakan, namun Asda pesimistis pekerjaan tahap kedua akan selesai tahun ini. Alasannya adalah karena tidak ada kontraktor yang berani mengajukan penawaran mengingat waktu yang tersisa terlalu pendek. Sedangkan Sekdis menyatakan pekerjaan dihentikan menunggu proses audit BPK. Setelah proses audit rampung, Dinasnya baru dapat melakukan lelang proyek pembangunan Gedung Dewan tahap kedua yang pengerjaannya disesuaikan dengan waktu yang tersedia.
Perbedaan pernyataan ini membangkitkan pertanyaan masyarakat tentang pernyataan mana yang benar. Mengapa jadwal lelang tahap kedua menjadi sedemikian mepet waktunya? Mengapa pekerjaan tahap pertama harus diaudit kembali oleh BPK? Jenis audit apa lagi yang dilakukan BPK setelah penyerahan LHP BPK terhadap Laporan Keuangan Pemkot Tangerang Selatan pertengahan tahun ini? Kapan laporan audit yang dimaksud ini akan diserahkan ke DPRD? Apa tindakan DPRD selanjutnya supaya gedungnya segera rampung? Yang tersirat dari ini semua adalah bahwa pengerjaan tahap kedua Gedung Dewan tidak akan dilaksanakan pada tahun 2016. Artinya alokasi anggaran yang sudah ada untuk kegiatan ini akan berujung menjadi SiLPA.
Kalangan Dewan sempat menyoroti pemenang lelang yang diduga merupakan perusahaan yang di “black-list” oleh Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP). Perusahaan tersebut dinyatakan masuk dalam daftar hitam di laman katalog-buku.lkpp.go.id, yang disebut sebagai website resmi LKPP. Namun pernyataan ini dibantah oleh Sekretaris ULP. Daftar hitam perusahaan menurutnya ditampilkan di website resmi LKPP yaitu https://inaproc.lkpp.go.id, dan perusahaan pemenang tidak ada dalam daftar tersebut. Terlepas dari sorotan terhadap clearence perusahaan pemenang lelang, kekhawatiran banyak kalangan khususnya Dewan tentang tidak akan diselesaikannya pekerjaan tahap pertama secara tepat waktu telah terbukti.
Ada “debat” panjang yang terjadi di DPRD periode sebelumnya tentang rencana pembangunan gedung pemerintahan. Untuk pembangunan tersebut Pemkot Tangerang Selatan mengusulkan untuk menggunakan kontrak multi-years (tahun jamak). Kontrak tahun jamak adalah kontrak pelaksanaan pekerjaan yang mengikat dana anggaran untuk masa lebih dari 1 (satu) tahun anggaran yang dilakukan atas persetujuan oleh Menteri Keuangan untuk pengadaan yang dibiayai APBN, Gubernur untuk pengadaan yang dibiayai APBD Propinsi, Bupati/Walikota untuk pengadaan yang dibiayai APBD Kabupaten/Kota. Perdebatan terhadap rencana penggunaan kontrak tahun jamak tersebut dimenangkan oleh kelompok yang pro usulan Pemkot Tangerang Selatan, sehingga kemudian menjadi keputusan DPRD. Namun adanya pentahapan pengerjaan Gedung Dewan ini menunjukkan bahwa pembangunan tersebut tidak menggunakan kontrak tahun jamak.
Sebagai realisasi Good Corporate Governance (GCG), banyak hal yang perlu dijelaskan oleh Pemkot Tangerang Selatan kepada masyarakat dalam hal “mangkraknya” Gedung Dewan. Di antara penjelasan yang perlu disampaikan adalah mengapa kebijakan kontrak tahun jamak yang sudah diputuskan DPRD atas usulan Pemkot Tangerang Selatan kemudian diubah menjadi bukan kontrak tahun jamak; bagaimana Pemkot Tangerang Selatan merespons kekhawatiran berbagai pihak terhadap perusahaan pemenang yang kemudian terbukti menimbulkan masalah dan lebih parahnya juga memberi masalah pada tahapan pengerjaan berikutnya; bagaimana Pemkot Tangerang Selatan menjelaskan dampak keterlambatan ini berupa tambahan biaya sewa kantor dan fasilitas rapat paripurna DPRD.
“Mangkraknya” Gedung Dewan ini telah dan memang patut menjadi sorotan masyarakat. Apabila untuk pekerjaan membangun gedung, suatu pekerjaan yang bagi jajaran Pemkot Tangerang Selatan sudah sangat biasa ternyata hasilnya “mangkrak”, bagaimana masyarakat dapat berharap Pemkot Tangerang Selatan akan berhasil menyelesaikan pekerjaan yang lebih besar dan kompleks? Keraguan ini semestinya dijawab secara tangkas oleh jajaran Pemkot Tangerang Selatan dengan segera menuntaskan pembangunan Gedung Dewan. Wallahu’alam. (*)