Beranda Index Petualangan ke Dalam Diri

Petualangan ke Dalam Diri

0

Oleh: Indah Noviariesta, Aktivis Gerakan Membangun Nurani Bangsa

Kita mengenal hadits qudsi yang menyatakan, jika kita mencintai apa yang ada di bumi maka para penghuni langit senantiasa akan melindungi dan menyayangi kita. Hadits ini paralel dengan prinsip-prinsip perubahan yang harus dimulai dari diri sendiri, mulai saat ini, dan dari hal-hal yang kecil. Jika kita mampu mengobati semesta mikro yang ada di sekeliling kita, niscaya semesta makro akan mengalami kesembuhan dengan sendirinya.

Kadang-kadang kita melakukan sesuatu yang secara kasat-mata dianggap besar dalam penilaian manusia, namun boleh jadi tidak berharga dalam pandangan Allah. Mungkin saja kita, tanpa disadari, melakukan sesuatu yang nampaknya kecil dan sepele, tapi ternyata cukup besar artinya di mata Allah Swt. Dalam perjalanan dari Cilegon menuju Rangkasbitung, saya pernah menyaksikan sepeda motor berhenti di sisi jalan, saat angin sedang menerpa kencang. Ketika dilihat pengendaranya, rupanya dia sedang bersusah-payah menggeser batang pohon roboh, yang melintang di tengah jalan.

Sepanjang perjalanan itu saya merenung, betapa mulianya pekerjaan orang itu. Kalau dia mau, bisa saja dia biarkan batang pohon itu tergeletak di jalan, lantas mengambil gadget untuk memotretnya, kemudian mengambil gambar kemacetan panjang yang akan terjadi. Setelah itu mengunggah ke media sosial sambil memaki-maki Pemda atau Dinas Perhubungan, dan seterusnya.

Saya percaya, sang pengendara motor itu, bila melihat insiden dadakan seperti menemukan balok di tengah jalan, kelapa yang jatuh, asap bekas bakaran, dia akan memilih untuk menyelamatkan nyawa banyak orang ketimbang sibuk mengunggah dan menyebarluaskan, serta mencari-cari siapa yang harus dipersalahkan. Hal tersebut mengingatkan saya pada peristiwa demonstrasi di sekitar Monas pada 2 Desember lalu. Ketika para santri dari K.H. Abdullah Gymnastiar (pesantren Daarut Tauhid), memilih membersihkan jalanan dari sampah-sampah yang berserakan, kemudian beberapa santri menegur sahabatnya dengan santun agar jangan menginjak pepohonan di taman, disertai spanduk sederhana berbunyi: “Islam Itu Bersih”.

Mulai dari Diri Sendiri

Salah seorang saudara saya (kelahiran Banten) begitu menggebu-gebu mengerahkan massa untuk aksi-aksi demonstrasi, sejak 4 November lalu. Beberapa hari menjelang demo tersebut, dia pun berhasil mengerahkan puluhan pemuda untuk diajak diskusi di masjid, sambil menyebarkan selebaran-selebaran yang mengungkap penjajahan negeri asing melalui utang. Konon dalam dua tahun pemerintahan Jokowi, total utang luar negeri mencapai Rp. 3.263 triliun. Pada tahun 2016 ini pemerintah harus menggelontorkan dana sebesar Rp. 210 triliun, hanya untuk membayar bunga, yang akan jatuh tempo pada 2017 nanti. Khusus pinjaman utang ke negeri China, konon mencapai 40 miliar dolar AS (setara dengan Rp. 520 triliun) yang dipakai refinancing untuk percepatan sejumlah proyek infrastruktur di seluruh Indonesia.

Entah siapa awal mulanya yang membongkar soal utang piutang ini. Juga sebagai seorang warganegara, apakah saya perlu mengulik kebenarannya ataukah tidak. Jika saya punya tiga anak yang menjalani pendidikan, atau salah seorang sedang menjalani perawatan di Rumah Sakit, apakah anak-anak saya berhak dan pantas mengetahui dari mana sumber biaya pendidikan dan perawatan tersebut. Apakah layak pemerintah kita mengungkap sampai mendetil, termasuk hal yang tersembunyi sekalipun, kepada warganegaranya? Dan jikapun ada sesuatu yang mereka rahasiakan dalam hal-hal tertentu demi kemaslahatan, apakah layak sikap itu dianggap sebagai kebohongan?

Saudara saya terlampau menggebu-gebu, hingga mentraktir puluhan anak-anak muda dengan menyediakan bus sebagai transportasi berikut konsumsi yang disediakan pada 2 Desember lalu. Padahal istrinya sendiri menyatakan secara blak-blakan, bahwa tunggakan kredit mobil matic, sudah hampir tiga bulan belum terbayarkan ke leasing, yang tak lain bosnya (equipment funding) adalah warganegara keturunan China juga.

Tapi apakah saya – meskipun sebagai saudara – layak mengetahui rahasia keluarganya, atau berapa banyak dia menunggak utang-utang ke leasing ataupun perbankan. Apa keuntungan dan kerugiannya buat saya? Bukankah jalan terbaik adalah memulai dari diri sendiri, agar sedapat mungkin kita hidup bersahaja, yang memang diperintahkan oleh semua ajaran agama? Bahkan dalam Alquran diperingatkan bahwa pemborosan dan pamer kemewahan, tak lain merupakan kawan-kawan setan sebagai prilaku ujub, riya, dan tergolong sebagai perbuatan tak terpuji.

Secara pribadi saya menilai dia cukup obsesif untuk mengubah dunia, dan kalau bicara memang terkesan menunjukkan dirinya harus melakukan hal-hal besar bagi perubahan Banten dan Indonesia. Dia tidak menyadari bahwa pendekatan yang terpenting adalah persoalan nilai-nilai, hingga terjebak pada hal yang sifatnya kasat-mata belaka. Dia seakan lupa bahwa tidak ada manusia yang menjadi besar dengan membesarkan ego-ego dan keangkuhan diri.

Mulai dari Yang Kecil

Kadang saya bertanya-tanya, mengapa persoalan bangsa ini diselesaikan dengan pendekatan makrosopik melulu, dan bukan mikrosopik. Kita inginnya terlihat besar dan wah, padahal kita belum sempat mendeteksi inti dan esensi dari permasalahan yang sebenarnya. Kadang kita lebih menghargai tokoh besar dengan kerja yang kecil, ketimbang orang kecil dengan hasil kerja yang besar. Di kalangan akademisi dan intelektual pun dikenal istilah “sindrom megaloman” yang cukup mengkhawatirkan. Tidak sedikit perguruan tinggi yang membanggakan nama besar almamaternya, padahal untuk bersaing di tingkat Asia saja kelimpungan setengah mati.

Kita semua harus berani membalik logika bahwa kebutuhan manusia saat ini semakin berorientasi kepada hal-hal yang sifatnya kecil, simpel, dan sederhana. Saat ini adalah era di mana kita harus mengulik sampai ke inti terkecil dari sesuatu yang besar. Kita harus berpikir ke dalam (inward), bukan lagi keluar (outward). Karena penyebab persoalan bangsa yang tak pernah kunjung usai, dikarenakan kita sibuk berpikir dalam skala besar, rumit, njelimet, mempersulit diri. Dan akar masalahnya memang dibikin-bikin oleh ulah dirinya sendiri.

Ketika ada karya sastra yang bicara tentang kehidupan masyarakat dalam suatu kampung, hal itu menunjukkan bahwa suatu kampung tempat penulis itu lahir dan tumbuh, merupakan cermin dari skala makro kehidupan global semesta ini. Dengan mengulik lika-liku kehidupan di kampung Jombang, dengan sendirinya kita bicara tentang Indonesia. Dan ketika bicara tentang Pikiran Orang Indonesia, dengan sendirinya kita bicara tentang pikiran semesta dalam skala makro. Membaca dan meneliti karya semacam itu, kita lantas tidak sungkan untuk introspeksi dan berkaca diri, apakah kita ingin menjadi lebih baik, ataukah hanya sekadar ingin dipandang besar dan mulia oleh orang lain.

“Kadang kita mengembara dan berpetualang (travelling) ke mana-mana, tapi tak pernah terketuk untuk mengembara ke dalam diri, kadang kita pun sibuk menilai dan membaca orang lain, tanpa ada kemauan untuk membaca diri. Pikiran inilah yang mendasari saya dalam penulisan novel Pikiran Orang Indonesia,”  Demikian pernyataan Hafis Azhari pada acara bedah buku tersebut di Kampus UIN Ciputat.

Sulit untuk disangkal dan dimungkiri, lantaran pikiran manusia memang dikendalikan oleh faktor terdalam yang kemudinya adalah kesadaran diri (self awareness). Solusi bagi peradaban masadepan adalah petualangan dan pengembaraan kita ke dalam diri, sebagai inti dari semua makhluk hidup, yakni lingkungan sekitar kita, hingga ke sel-sel dan molekul dalam tubuh kita. “Dan di dalam diri kamu sendiri, apakah kamu tidak memperhatikannya?” (adz-Dzariyat: 21)

Dari perjalanan kecil (mikrosopik) ini, niscaya manusia dapat menemukan penemuan besar yang berskala makro. Hingga sampailah peradaban manusia kepada kejernihan berpikir, kearifan, kasih sayang terhadap sesama, yang merupakan nucleusdari penciptaan manusia sebagai Bani Adam. Mari kita mulai dari diri sendiri, saat ini, dan dari hal-hal yang kecil. Hingga kelak semakin kreatif menghasilkan penemuan-penemuan bagi peradaban Banten yang lebih luhur, Insya Allah. (*)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini