Oleh: Haris Rusly, Petisi 28 dan Kepala Pusat Pengkajian Nusantara Pasifik (PPNP).
Keadaan rakyat, bangsa dan negara yang sedang kita rasakan saat ini persis seperti yang digambarkan oleh Paulo Coelho, tentang perilaku Kodok atau Kecebong dalam novel The Winner Stands Alone (Sang Pemenang Berdiri Sendiri).
Coelho menulis “jika kodok dimasukan ke dalam panci saat air sedang mendidih, maka kodok itu akan langsung bereaksi, melompat keluar dengan kulit terkelupas, tapi dalam keadaan tetap hidup”.
Namun, lanjut Coelho, “sejumlah studi biologi menunjukan, jika seekor kodok ditaruh di dalam panci berisi air, lalu airnya dipanaskan. Maka kodok tersebut tidak bereaksi terhadap meningkatnya suhu yang makin panas di dalam panci. Kodok tidak peka terhadap perubahan yang terjadi di sekelilingnya yang menyiksa dirinya. Lalu saat air tersebut mendidih, kodok itupun mati dalam keadaan gendut dan senyum bahagia”.
Keadaan bangsa kita saat ini tak jauh berbeda dengan perilaku dan reaksi kodok dalam menghadapi situasi perubahan lingkungan, kita juga nyaris tak bereaksi dan tak merasakan perubahan yang sedang terjadi pada diri kita dan lingkungan bangsa kita. Perubahan lingkungan yang tidak diwaspadai, menyebabkan kehidupan kita makin tercekik, baik kehidupan pribadi maupun kehidupan sebagai sebuah bangsa.
Kita bahkan tak merasa terhina di saat harga diri bangsa kita diinjak-injak dan dipermalukan di dunia international. Berturut-turut Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dipermalukan ditolak masuk di wilayah Palestina yang dikuasai Israel, lalu utusan khusus PBB yang berasal dari Indonesia, Makarim Wibisono, juga ditolak oleh Israel masuk ke wilayah Palestina, menyusul kemudian ketika militer China mempermalukan bangsa kita dengan melindungi kapal pencuri ikan yang berasal dari China.
Hilangnya Kepekaan dan Kewaspadaan
Tubuh, hati dan perasaan bangsa kita dibuat tidak peka. Kita dibuat hanyut, larut dan tenggelam di dalam perubahan lingkungan yang dikendalikan sepenuhnya dari pusat-pusat neo-kolonialisme. Kita malah merasakan bahagia mengalami situasi penderitaan akibat penjajahan asing yang datang dengan wajah sebagai malaikat penolong, datang sebagai investor dan kreditor (pemberi utang).
Para pejabat senior malah menuduh kita paranoid ketika kita mengingatkan tentang bahayanya kebijakan yang terlalu liberal bagi kepentingan asing. Kita malah diserang sebagai orang yang anti terhadap perkembanga zaman ketika menentang invasi ekonomi asing yang bertentangan dengan konstitusi dan UU negara kita. Kita tak mampu bangkit memimpin dan melakukan revolusi teknologi dan industri nasional yang selama ini membuat kita bergantung dan menjadi koloni teknologi dan industri negara lain.
Elite politik dan masyarakat kita menikmati menjadi bangsa “kanibal” yang merasakan nikmatnya memakan daging saudara kita sendiri yang menjadi bagian dari tubuh kita. Kita terpukul mundur dari bangsa beradab menjadi bangsa “tribalisme” yang mementingkan kepentingan suku, parpol, golongan, agama dan paham atau mazhab agama.
Para aktivis kita bangga menjadi koloni teori dan koloni ideologi bangsa lain. Para “pelacur intelektual” di kampus-kampus, secara sadar atau tanpa sadar, bangga menjadi prajurit atau “marsose” perang fikiran yang membenarkan proses kolonialisasi, perbudakan dan “aboriginisasi” dengan berbagai argumen dan “jampi-jampi” teori sosial yang dijiplak dari para ilmuan sosial negara penjajah.
Demikianlah arah dari operasi mindset atau the war of mindset, yang dilancarkan oleh kekuatan asing yang saat ini kita raskan, telah berhasil menciptakan situasi bangsa kita persis seperti seekor kodok yang ditaruh di dalam panci berisi air yang bernama globalisasi ekonomi liberal dan demokrasi liberal. Tanpa kita sadari, pandangan hidup, cara berpikir dan perilaku kita ternyata telah dirubah secara sangat mendasar.
Yang menjadi target untuk “dibunuh” atau “dikuasai” dalam medan perang mindset tersebut bukan fisik, tubuh kita. Sesungguhnya psikis, pikiran dan perasaan adalah sasaran dan objek untuk dibunuh, dikuasi dan dikendalikan. Kekuatan asing telah berhasil menyusup dan menguasi alam pikiran kita. Perasaan, selera hingga mimpi kita telah berada dalam genggaman dan kendali musuh kita yang datang tanpa bentuk.
Ketika cara pandang para penyelenggara negara dan sebagian besar rakyat kita telah dikuasai oleh kekuatan neokolonialis, maka arah atau haluan bernegara tidak lagi ditentukan oleh wakil rakyat atau yang digariskan oleh konstitusi, tapi ditentukan oleh opini publik yang dibentuk melalui operasi mindset yang menggunakan berbagai perangkat perang seperti sistem ekonomi-politik liberalisme dan teknologi informasi.
Setiap saat rakyat kita dapat direkayasa mindsetnya untuk menerima bentuk baru dari penjajahan asing dengan gembira dan gegap gempita. Setiap waktu rakyat kita dapat dibenturkan satu dengan yang lain dalam menyikapi sebuah perubahan lingkungan yang menabrak pranata bernegara yang diatur melalui berbagai perangkat peraturan dan perundang-undangan. Setiap saat negara Indonesia dapat saja dipecah dan mendapat dukungan dari segenap rakyatnya.
Pada tulisan seri sebelumnya, telah kami contohkan tentang dua peristiwa besar di dunia yang telah terjadi dalam satu dekade, yaitu operasi mindset untuk mendisintegrasi negara Uni Sovyet yang sangat kuat secara ideologi, serta mengunifikasi dua negara beda ideologi, German Barat dan German Timur, yang dipisahkan oleh tembok. Ketika kedua peristiawa akbar tersebut terjadi, sebagian besar rakyat di negara tersebut justru menyambut dan mendukung dengan gembira.
Jika kita belajar dari sejarah kerajaan di nusantara, maka kita bisa menemukan runtuhnya kerajaan besar seperti Majapahit, justru tidak disebabkan oleh invasi kekuatan militer negara lain. Sebagaimana runtuhnya Uni Sovyet dan bersatunya German, runtuhnya kerajaan Majapahit juga disebabkan oleh operasi mindset yang dilancarkan oleh kekuatan asing.
Datang dari timur dan utara, kekuatan asing mendapatkan ruang gerak untuk menyusupkan dan menyebarkan pandangan baru, memanfaatkan situasi “perestorika” dan “glasnot” yang sedang berlangsung saat Majapahit mencapai puncak kejayaan dan kemajuan fisiknya. Cara pandang sebagian besar aparatur negara dan rakyat berhasil dikuasai, diubah, dikendalikan dan dibenturkan, moralnya juga dirusak, yang berunjung pada runtuhnya kerajaan tersebut.
Masa depan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diproklamasikan kemerdekaannya pada tahun 1945 oleh Soekarno dan Hatta, dapat saja bernasib seperti Uni Sovyet dan Majapahit. Ketika pada watunya negara Indonesia mengalami disintegrasi, pecah, maka segenap rakyat dan aparatur negara dapat saja mendukung dan menyambut dengan gegap gempita.
Arah Dari The War of Mindset
Karena itu, patut kita waspadai operasi mindset atau perang mindset (the war of mindset) yang sedang dilancarkan oleh kekuatan asing saat ini dan kedepan yang ditujukan untuk:
Pertama, “membunuh” atau memusnahkan weltanschauung atau pandangan hidup yang menjadi landasan nilai-nilai, “semen batin” atau perekat sebuah bangsa yang sangat beragam. Soekarno dan pendiri bangsa merumuskannya pandangan hidup bangsa tersebut dengan nama Pancasila.
Dengan musnahnya sejarah dan pandangan hidup bangsa tersebut, maka bangsa tersebut walaupun secara fisik masih hidup, namun jiwanya telah dipisahkan dari tubuhnya. Walaupun matanya masih bisa melihat, namun penglihatannya telah dibuat buta, telinganya dibuat tuli, pikirannya dibuat pikun.
Bagaikan orang tua lanjut usia yang telah pikun dan sering tulalit, atau seperti mereka yang mengidap amnesia, ingatannya lumpuh, lupa terhadap siapa dirinya, tak mengenali lagi kerabat dan sahabatnya. Maka akibatnya, bangsa kita terombang ambing, hanya bisa melihat, mendengar, merasakan, berpikir dan melangkah sesuai dengan kehendak dari kekuatan kolonialis.
Kedua, arah operasi mindset yang dilancarkan saat ini ditujukan untuk memperkuat kesadaran masyarakat untuk menerima dan mendukung sebuah konsep negara tanpa batas negara (borderless) di dalam sistem pasar bebas ekonomi. Kebijakan Presiden Joko Widodo untuk membebaskan visa kunjungan kepada 174 negara sesungguhnya adalah bentuk nyata dari runtuhnya border (batas atau tembok) non fisik dari NKRI.
“Sesungguhnya salah situ tujuan pemberlakuan visa kunjungan adalah salah satu wujud dari border atau tembok non fisik dari sebuah negara, melindungi sebuah negara dari ancaman non fisik yang datang menyusup’.
Ketiga, arah dari perang mindset atau operasi mindset yang dilancarkan saat ini ditujukan untuk mengubur konsepsi citizenship, konsep warga negara yang dianut oleh konstitusi negara kita. Konsep citizenship mengikat dan mengatur warga negaranya berdasarkan sejarah melalui konstitusi, UU dan perangkat peraturan turunan.
Kebijakan Presiden Joko Widodo untuk tidak memberlakukan kewajiban menggunakan bahasa Indonesia bagi Tenaga Kerja Asing turut memperkuat pengkondisian menuju dikuburkannya konsep citizenship (warga negara) yang mempunyai hak khusus dan istimewa yang berbeda dari orang asing
Kini, konsep citizenship secara bertahap dibuang dan diganti oleh konsep nitizenship, konsep warga internet, yang diikat dan diarahkan oleh opini publik yang dibentuk oleh kelompok kepentingan, termasuk kepentingan kekuatan modal asing. Konsep citizenship kini secara bertahap tergerus oleh pengaruh nitizenship. Dalam kasus transportasi online (Gojek, Grab, dll.), menunjukan bahwa konsep nitizenship yang melandasi penyelengaraan negara berdasarkan opini publik telah berhasil mengalahkan konsepsi negara yang melandaskan pada konstitusi dan peraturan turunan.
Keempat, sesuai kehendak dan arah dari ideologi pasar bebas, maka operasi mindset juga mengarahkan untuk meruntuhkan konsep negara bangsa (nation state) yang berdiri di atas sejarah, filosofi dan teritori yang dibentuk melalui konstitusi.
Konsep nation state yang membentuk nasionalisme akan dirubuhkan dan diganti menjadi konsep corporate-state yang berdiri di atas pandangan kosmopolitanisme, yang berpandangan bahwa semua suku bangsa manusia merupakan komunitas tunggal sebagai warga dunia yang tak dibatasi oleh tembok kesukuan dan batas negara. Konsep corporate state adalah konsep negara yang berdiri di atas kepentingan korporasi yang hanya mengenal produsen dan konsumen, tak lagi mengenal batas negara, tak mengenal warga negara.
Bangsa kita harus bangkit meng-counter operasi mindset yang dilancarkan oleh kekuatan asing tersebut dengan revolusi mindset melalui penataan ulang sistem negara kembali ke Pancasila dan UUD 1945 serta memimpinnya melalui revolusi teknologi dan kebangkitan industri nasional.
Sayangnya, para pemimpin negara dan insan intelijen kita sedang pikun, buta dan tuli, tak mampu lagi mendengar, membaca apa yang mengancam eksisten dan masa depan bangsa dan negara. (*)