Deputi Bidang Pengembangan Pemuda Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora), Asrorun Ni’am Sholeh, mengatakan, dalam Undang-Undang No 40 Tahun 2009 Tentang Kepemudaan, telah memberikan percepatan peluang partisipasi pemuda dalam ranah politik. Salah satu komitmen politik adalah memudakan usia pemuda, dari awalnya 18 tahun menjadi 16 tahun. Sebab, semakin dini kaum muda berpartisipasi dalam ranah publik, didalam konteks kebangsaan dan kenegaraan, itu semakin cepat bangsa ini akan maju kedepan.
Ia mengatakan, sejak reformasi bergulir ada kesadaran kolektif tentang bagaimana mendorong partisipasi kaum muda. Sedangkan titik-titik kritis masa transisi dari kaum tua ke kaum muda dari sisi jumlah Indonesia berada didalam era bonus demografi, dimana usia produktif telah mendominasi jumlah total populasi Indonesia.
Menurut catatanya, pemilih milenial dalam rentang usia 21 tahun- 35 tahun atau 21 tahun – 38 tahun, jumlahnya hampir mencapai 40 persen. Tapi, kuncinya adalah bagaimana partisipasi yang awalnya rendah dapat di dongkrak.
Ia melihat ada tiga aspok yang harus di lakukan secara bersama-sama. Pertama, bagaimana memberikan ruang apresiasi terhadap prestasi, dedikasi dan kreativitas.Kaum milenial terlahir dengan dunianya dengan tantangannya yang tentu bisa jadi berbeda.
“Ini saya kira menjadi hal yang sangat penting dan menjadi kunci dengan di nina-bobok-kan mereka sebagai pemimpin masa depan yang antriannya masih panjang, sehingga kita sadar tidak cukup untuk memberikan ruang untuk kepentingan mereka saja,” terangnya dalam diskusi Polemik MNC Trijaya di Warung Daun, Jakarta, Sabtu (20/10/18) dengan tema “Pemilu 2019, Anak-Anak dan Kaum Milenial”.
Kementerian Pemuda dan Olahraga secara khusus mendorong salah satunya dengan power game dengan cara memberikan award pada Kabupaten/Kota yang memiliki perspektif kepemudaan di dalam pembangunan-pembangunannya.
“Salah satu indikatornya adalah ada regulasi yang secara khusus memberikan afermasi terhadap partisipasi kaum muda, baik pada aspek kepemimpinan, aspek kewirausahaan dan aspek kepeloporan,” katanya.
Kemudian, lanjut Ni’am, Kemenpora juga mendorong agar anggaran disusun dengan keberpihakan pada kaum muda dan sejauh mana partisipasi kaum muda didalam tindakan publik.Disamping itu, Kemenpora juga mendorong secara lebih luas anak-anak muda kreatif dibidang kewirausahaan dengan pengukuhan minat kewirausahaan, dukungan fasilitasi, dan anugerah pemuda wirausahawan berprestasi.
“Ini salah satu ikhtiar kita didalam mendorong partisipasi anak-anak muda kreatif, cerdas, inovatif untuk masuk dan kemudian merasa di-orang-kan, sehingga kemudian dia cukup percaya diri didalam ruang-ruang publik. Tidak hanya diruang mainan dia, tapi mendorong juga tanggung jawab sosial kepemudaan untuk kehidupan berbangsa dan bernegara,” ujarnya.
Kedua, katanya, Kemenpora juga mendorong partisipasi hak kaum muda sebagaimana hak itu dioptimalkan pemanfaatannya.Artinya untuk membangun kesadaran tidak hanya menuding kepada anak-anak milienial dalam politik, tetapi bagaimana memberikan ruang secara lebih luas kepada mereka untuk menggunakan haknya.
Ia menambahkan, butuh perlindungan bagi kaum milenial, dimana pada saat kaum milenial memiliki kesadaran partisipasi politik, dengan ciri khasnya yang instan penuh dengan hal yang serba cepat, sehinga dapat dimanfaatkan secara salah oleh petualang politik dan oleh orang yang hanya menggunakan kaum muda milenial sebagai ceruk pengambil suara dengan penyebaran hoax.
Ia menyitir, temuan riset yang dilakukan oleh Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) yang di release akhir September 2018. Mafindo menyebutkan, dari sisi kesadaran berbincang masalah politik paling tinggi adalah dikalangan kaum muda milenial, khususnya pengguna media sosial. Ada beberapa topik tertinggi didalam keberpihakan mereka, yakni soal politik, soal agama, soal kesehatan dan soal ekonomi.
Celakanya, kata Ni’am, isu soal politik paling tinggi unsur disinformasi dan juga hoaxnya. Artinya kalau ini dibiarkan ada dua akibat yang ditimbulkan yakni menyesatkan kaum muda milenial yang cenderung jujur dan apa adanya dan cenderung polos tetapi diberikan mis informasi sehingga mereka mengartikulasikan politik secara salah.
Menurutnya, ketika kaum milenial sadar bahwa tema-tema politik dan agama banyak hoax dan akhirnya kemudian kaum milenial menjadi apolitis (tidak berminat pada politik) dalam jangka waktu menengah dan panjang, tentu sangat membahayakan, karena ditangan-tangan anak muda inilah nanti nasib bangsa ini dipertaruhkan.
Soal kampanye di lingkungan pendidikan yang masih menjadi kontroversial, ia mengatakan, intinya bahwa harus ada pemahaman yang sama tentang mana-mana saja yang boleh dan mana saja yang tidak boleh. Mana kampanye yang dilarang ditempat pendidikan dengan pendidikan politik bagi kaum muda, termasuk didalamnya anak-anak yang sedang dalam usia pendidikan.
“Hal ini memang butuh kehati-hatian sekaligus juga butuh kejelian. Kalau untuk kepentingan pembangunan literasi dan juga kesadaran politik serta partisipasi bagi kaum muda, saya kira ini dikampus atau tidak di kampus, ini menjadi tanggung jawab kita bersama,” jelasnya.
Otoritas kampus seperti Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), penyelenggara pemilu dan pengawasan yang memang secara kelembagaan diberikan kewenangan untuk menilai seklaigus menetapkan apakah kegiatan di kampus itu melanggar atau tidak.
Intinya, kata dia, harus ada pembedaan sekalipun itu tipis dan sifatnya subyektif apakah itu masuk wilayah kampanye atau pendidikan politik. Tapi, untuk kepentingan kehati-hatian dalam situasi dan sensitivitas yang cenderung tinggi seperti ini tentu hal-hal yang bisa berimplikasi terhadap lahirnya masalah dan pergesekan di level akar rumput itu dapat dihindari.
“Pendidikan politik itu tidak sama dengan kampanye. Karenanya menjadi penting kearifan para pendidik, lingkungan pendidikan dan kearifan pengurus partai serta Tim Kampanye Pileg dan Pilpres untuk secara berhati-hati meilah ini dengan pendekatan preventif, tentu, agar tidak terjebak pada hal yang dilarang, itu sebaiknya tidak berada di level ajakan (kampanye) ditempat pendidikan,” demikian dikatakan Deputi Bidang Pengembangan Pemuda Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora), Asrorun Ni’am Sholeh. (MRZ).