Home
Tantangan Reformasi Hukum Antara Cita-Cita dan Fakta
Oleh: M. Andrean Saefudin, Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (PERMAHI).
Tahun 2019 menjadi catatan bersejarah, seluruh instansi penegak hukum tengah mengevaluasi, apakah capaian 2018 sesuai harapan atau malah meleset dari target. Menghadapi 2019, serangkaian strategi siap menjadi amunisi, target pun ditetapkan.
Pun demikian performa kerja di sektor hukum. Tantangan yang dihadapi pada 2019 menjadi tidak mudah dan semakin kompleks. Reformasi Hukum yang dicita-citakan menjadi absurd apalagi, tahun itu merupakan tahun politik. Persiapan menghadapi Pemilu serentak dapat membuyarkan konsentrasi target kerja serta menyita perhatian publik, mulai dari agenda pembangunan Budaya Hukum, pemberantasan korupsi dan penyelesaian kasus – kasus pelangaran HAM masalalu. selain itu Produktivitas Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dan komitmen Pemerintahpun patut dipertanyakan dalam agenda reformasi hukum.
Membangun budaya hukum perlu keteladanan, bagaimana bisa berharap rakyat patuh hukum kalau pejabatnya mempertontonkan aksi seenaknya tak mengindahkan hukum dan etika.
Tahun 2019, masih menjadi tahun yang penuh tantangan, agenda pemberantasan korupsi masih perlu ditingkat dan membutuhkah perhatian yang cukup serius baik dari Pemerintah maupun publik, terjadinya kriminalisasi terhadap Pimpinan, dan Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi cacatan hitam dalam agenda pemberantasan korupsi di Indonesia.
KPK pun harus berbenah bukan hanya penindakan yang dikedepankan, tapi juga sisi pencegahan. Tak hanya kasus kelas teri tapi juga kelas kakap yang harus di ungkap.
Ingat KPK punya hutang kepada publik terkait kasus korupsi Century, BLBI, Pelindo II dan yang baru-baru ini dugaan keterlibatan menteri dalam negeri dalam kasus suap mega proyek meikarta . Bukan hanya sosialisasi pencegahan ditingkat pusat, tapi juga hingga pelosok daerah sebab tidak sedikit kepala daerah yang terjaring Operasi Tangkap Tanggan (OTT) oleh KPK ditahun 2018 dan kemungkinan bertambah di 2019 mengingat banyak kepala daerah yang menjadi timses capres sekaligus juru kampaye, ini berpotensi sarius terjadinya korusi politik menjelang pilpres.
Tunggakan perkara dan yang bertumpuk baik di Kejakasaan Agung maupun di KPK perlu dikikis segera. Teruatama adalah penuntasan Kasus Pelangaran HAM, kasus korupsi BLBI, Centrury, Pelindo II dan mega proyek meikarta yang diduga dipasilitasi oleh menteri dalam negeri . Kerugian negara yang ditimbulkan cukup besar membuat luka bagi seleruh masyarakat. Sejumlah nama yang belum terungkap bisa jadi pekerjaan yang harus segera diselesaikan aparat penegak hukum agar hukum benar-benar tegak berdiri dan tidak pandangbulu.
KPK, Kepolisian, Kejaksaan wajib bersinergi, koordinasi diantara tiga institusi ini adalah kunci penegakan hukum disamping perlunya segera membasmi mafia peradilan yang makin menjadi diinstisusi kehakiman. Aparat penegak hukum harus saling mengisi, bukan malah membasmi. Semakin baik performa ketiganya, semakin baik pula agenda pemberantasan korupsi Indonesia.
Tantangan lain adalah kemudahan serta kepastian berbisnis atau ease of doing business (EODB). Pemerintah terus menggembar-gemborkan kemudahan berinvestasi di Indonesia termasuk dalam debat capres semalam yang terus diulang-ulang. disisi lain, Mahkamah Konstitusi (MK) dalam dua putusannya yang intinya memangkas kewenangan Pemerintah yakni Kementerian Dalam Negeri membatalkan Perda Kabupaten/Kota dan Provinsi bermasalah (executive review).
MK pun memberikan wewenang tersebut kepada Mahkamah Agung (MA) melalui judicial review. Tantangannya kini ada di MA. Apakah mekanisme judicial review efektif diterapkan mengingat target kemudahan berusaha di depan mata. Beban kerja MA akan semakin berat, mekanisme judicial review membutuhkan waktu yang tak sebentar.
Meskipun ribuan Perda bermasalah telah dipangkas, tetap saja masih ada ribuan lagi yang perlu diperbaiki. Tak sedikit Perda baik di tingkat Kabupaten/Kota, Provinsi hingga pusat yang belum efisien dalam hal perizinan investasi.
Persoalan legislasi dan regulasi juga menjadi catatan tersendiri, bukan hanya terkait tumpang tindih regulasi, tapi juga capaian legislasi yang dihasilkan. Ini terlihat dari target Prolegnas yang sering meleset. Bahkan, masih jauh dari target.
Untuk menata regulasi perlu konsistensi dan ketelatenan. Ada proses yang perlu dihormati dan ada substansi yang tak boleh dikecilkan. Disisi lain, parlemen juga tidak boleh kejar setoran hanya sekadar memenuhi target dengan mengkompromikan kualitas substansi materi muatan dalam suatu Rancangan Undang-Undang.
Kinerja legislasi ini membutuhkan koordinasi yang baik antara Pemerintah dan Legislator. Setiap undang-undang yang dihasilkan akan berdampak luas dan mengikat semua. Komitmen, kinerja Legislator dan Pemerintah dalam upaya mewujudkan Negara Hukum Yang Demokratis pun patut dipertanyakan, Reformasi hukum harus diorientasikan pada cita negara hukum itu sendiri, yang mampu menghadirkan kepastian hukum dan memenuhi rasa keadilan semua masyarakat, bukan sebatas mengakomodir kepentingan elit dan pengusaha, sebab keadilan itu harus hadir ditenggah-tengah gubuk simiskin.
Tahun 2019 akan penuh dengan agenda politik. Namun agenda keadilan tidak boleh dikacaukan oleh politik elektoral yang musiman. Politik elektoral boleh datang dan pergi, namun upaya menggapai keadilan adalah proses yang tak boleh berhenti. (*)