Berita

Steve Mara : Mari Melihat Secara Utuh Kasus George Floyd

Published on

Tokoh Muda Papua dan Alumni Universitas Pertahanan, Steve Mara, menyampaikan, sebuah babak baru tentang rasisme di Amerika Serikat kembali menjadi sorotan dunia, kasus ini disebut sebagai salah satu kasus yang berhasil menarik perhatian dunia.

“Hal ini dibuktikan dengan pergerakan demonstrasi yang dilakukan di Amerika bahkan dibeberapa negara lain di Dunia,” ujar Tokoh Muda Papua dan Alumni Universitas Pertahanan, Steve Mara, dalam keterangan tertulisnya, di Jakarta, Rabu (10/6/2020).

Menurut Steve, dalam pandangan teori dominasi sosial maka ini terlihat bahwa ada dua kelompok yang menempatkan diri mereka sesuai dengan penelitian kelompok mereka sendiri.

Pertama, kata Steve, Kelompok Dominan dan kedua adalah Kelompok suborninat.

Dalam penjelasannya, Steve mengatakan, kelompok dominan merupakan kelompok yang ada diatas dan disebut sebagai kelompok menang yang memiliki kekuasaan dan seluruh nilai positif. Sedangkan kelompok subordinat adalah kelompok di sisi bawah yang tidak menang, tidak memiliki kekuasaan, dan dianggap minoritas.

Dari kedua kelompok tersebut, kata Steve, maka dapat dianalisis bahwa kelompok yang menentang rasisme adalah kelompok subordinat atau kelompok yang tidak memiliki kekuasaan, sedangkan kelompok dominan adalah pemerintah yang memiliki kekuasaan untuk menindas kelompok minoritas.

“Dalam kasua George Floyd yang terjadi di Amerika ini bukanlah konflik yang terjadi antara kelompok dominan dan kelompok subordinat namun konflik ini bermula setelah pria kulit hitam ini diduga menggunakan uang palsu di salah satu swalayan dan di kunci oleh kepolisian sedang lehernya ditekan pakai lutut hingga George Floyd kehabisan nafas dan meninggal,” terang Steve.

Jika kita cermati secara baik, kata dia, tidak tercium bau rasisme dari kasus ini melainkan kelalaian petugas yang mengakibatkan kematian terduga pengguna uang palsu.

“Petugas yang melakukannya sudah dihukum dengan hukum pembunuhan tingkat dua serta beberapa petugas lain yang bertugas bersama pada saat itu dihukum dengan hukuman pembunuhan tingkat tiga,” ujarnya.

Pergerakan masa yang melakukan demostrasi besar-besaran serta perlawanan di Amerika, lanjutnya, merupakan hasil dari propaganda media yang mengaitkan isu kematian George Floyd dengan Rasisme. Padahal, jika kita lihat kembali ke belakang, orang kulit hitam Barack Obama merupakan Presiden kulit hitam yang sangat disegani masyarakat diseluruh dunia bahkan Barack sering dikatakan sebagai Presiden Dunia.

“Maka kasus George Floyd tidak bisa kita katakan sebagai rasisme melainkan kelalaian petugas atau dengan bahasa kasarnya kita sebut pembunuhan terhadap warna negara,” tandas Steve.

“Kasus rasisme atau perbedaan warna kulit perlu untuk kita refleksikan kembali. Saya melihat bahwa sampai saat ini masih banyak warga Indonesia yang termakan propaganda yang dimainkan lewat media untuk menciptakan konflik di Papua, sehingga perlu saya ingatkan kembali bahwa dalam membaca dan melihat sebuah berita perlu kita lihat secara utuh agar kita tidak menjadi korban kejahatan teknologi masa kini,” ucapnya.

Selain itu, Ia melanjutkan lagi, perlu kita catat bahwa kecenderungan manusia yang tidak mau mencari pembanding sehingga dengan sangat mudah menelan informasi yang diterima kemudian dibagikan. Banyaknya informasi yang beredar juga telah menjadi alasan pembenar bagi sebuah kasus sehingga sebagai masyarakat kita harus pandai melihat pemberitaan dan menganalisis sebelum kita bagikan dan mempengaruhi orang lain.

“Jangan sampai kecenderungan kita menelan informasi secara dangkal akan berakibat menjadi konflik yang lebih besar,” tegasnya.

“Narasi positif harus terus kita bangun, seperti kita tidak sama tetapi bisa bekerja sama, kita tidak satu tetapi bisa bersatu,” demikian dikatakan Tokoh Muda Papua dan Alumni Universitas Pertahanan, Steve Mara.(MRZ)

Exit mobile version