Bandara

Karantina Pertanian Maksimalkan Pengawasan Importasi HPR di Bandara Soetta

Published on

Balai Besar Karantina Pertanian Soekarno-Hatta memaksimalkan pengawasa lalu lintas Hewan Pembawa Rabies (HPR) yang masuk dari luar negeri melalui Bandara Internasional Soekarno-Hatta (Soetta).

Pengawasan maksimum yang dilakukan Karantina Pertanian Soekarno-Hatta berupa penerapan kebijakan uji lab 100% titer antibodi rabies dengan metode elisa terhadap sampel dari HPR yang dilalulintaskan dari luar negeri.

“Kami harus memperketat pengawasan lalu lintas HPR lintas negara, karena saat ini sekitar dua pertiga negara di dunia masih tertular rabies. Setiap 9 menit, satu orang meninggal karena rabies dan 99% kasus rabies pada manusia diakibatan karena gigitan anjing yang terinfeksi,” kata Kepala Bidang Karantina Hewan, Karantina Pertanian Soekarno-Hatta, Nuryani Zainuddin, Kamis (1/10/2020).

Menurut wanita yang akrab disapa Nunung ini, data pada sistem perkarantinaan, IQFAST menunjukkan tren peningkatan lalu lintas HPR dari luar negeri diwilayah kerjanya dari tahun ke tahun.

Ia merinci, pada tahun 2018 tercatat 1083 sertifikasi pemasukan HPR yang membawa 1.380 ekor anjing dan kucing masuk ke Indonesia.

“Kemudian ditahun 2019 meningkat menjadi 1.257 sertifikasi dengan jumlah anjing dan kucing sebanyak 1865 ekor. Sementara di semester I tahun 2020 jumlah anjing dan kucing yang masuk melalui Bandara Soekarno-Hatta telah mencapai 989 ekor, cukup signifikan peningkatannya,” jelas Nunung.

Sedangkan angka kematian akibat Rabies di Indonesia lanjut Nunung, masih cukup tinggi yakni 100-156 kematian per tahun, dengan Case Fatality Rate (tingkat kematian) hampir 100 persen.

“Hal ini menggambarkan bahwa rabies masih jadi ancaman bagi kesehatan masyarakat. Secara statistik 98% penyakit rabies ditularkan melalui gigitan anjing, dan 2% penyakit tersebut ditularkan melalui kucing dan kera,” ujarnya.

Lebih lanjut Nunung menjelaskan, adapun alasan kebijakan pengujian terhadap 100 % sampel yang dilakukannya juga karena masih ditemukan adanya upaya pemalsuan dokumen vaksin dan hasil lab dari negara asal.

Bahkan, pihaknya juga kerap melakukan perbandingan hasil uji lab dari negara asal yang diketahui vaksin sudah tidak protektif lagi sehingga perlu dilakukan vaksinasi inaktif sebelum diberikan sertifikasi pelepasannya.

“Kami harus berhati-hati, karena tidak tahu hasil pengujian apakah berasal dari laboratorium yang terakreditasi di negara asal tersebut dan menghindari kadarluarsanya hasil lab uji,” ungkap Nunung. (Rmt)

Exit mobile version