Berita
Dukungan Orang Terdekat dan Doa Jadi Perekat Pasien Covid-19 Untuk Sembuh
Hari itu adalah hari bahagia yang dirasakan Dian Islamiati. Tak seperti biasanya, perawat rumah sakit berkunjung ke kamarnya dengan riang gembira. Ditangan sang perawat terselip hasil uji swab miliknya. Hasilnya negatif. Ini adalah kali kedua Swab PCR dengan hasil negatif. Namun, Dokter Spesialis Penyakit Dalam, Dokter Ferliani, memintanya untuk bersabar sejenak untuk menunggu hasil pemeriksaan dari Spesialis Paru dan Spesialis Syaraf.
“Pemeriksaan yang paripurna, meski saya menggunakan fasilitas rumah sakit pemerintah di RSU Adhyaksa, we can’t underestimate their works, dedication and service to protect our society. Impressive!,” cerita Dian Islamiati.
Kepalanya terasa masih sakit, ketika Dokter Merry Krimanto (Spesialis Syaraf) memintanya menekuk leher ke kanan dan ke kiri, depan dan ke belakang. Ia tak merasakan apa-apa kecuali rasa sakit dikepalanya.
“Saya tidak merasakan apa-apa, kecuali ubun-ubun yang cekot-cekot,” kata Dian yang merupakan puteri seorang pejabat ternama negeri ini.
“Tidak apa-apa sepertinya. Ibu bisa pulang hari ini. Saya akan berikan obat, untuk mengurangi rasa sakit. Selamat ya bu,” ujar sang Dokter sambil tersenyum kepadanya.
“Yay, feels like a victory! Dua minggu di rumah-sakit, betul-betul riding the emotional roller coaster setiap hari,” tutur Dian gembira.
Sejak terpapar Covid-19, ia delapan hari pertama di rumah sakit khusus Covid-19 (RSD Wisma Atlet) dan kemudian pindah ke rumah sakit lain untuk isolasi. Takut, cemas, ketidakpastian, dan marah adalah sebagian perasaan yang Dian alami. Belum lagi sakit fisiknya (sesak nafas, batuk tak berhenti, sakit kepala). Pada saat yang sama ia mendengar dan melihat ada keluarga, kawan, kolega, rekanan bisnis terkena Covid-19, overhelming.
“Apalagi bila ada yang meninggal dunia, sedih banget,” tuturnya.
Kesedihan itu amatlah wajar baginya, karena terpapar Covid-19 bukanlah hal yang menyenangkan dan bahkan boleh dibilang sangat berat dan ia telah membuktikan ganasnya Covid-19 itu. Gejala umum muncul saat terkena Covid-19 pada minggu pertama biasanya ada demam diatas 380 derajat celcius, kelelahan atau lemas, batuk tidak berdahak, pegal-pegal, tidak nafsu makan dan hilangnya indera pengecap rasa atau mencium. Tentu masing-masing orang memiliki respons yang berbeda bila terpapar Covid-19. Sebagian besar orang yang terpapar virus ini akan mengalami gejala ringan hingga sedang dan akan pulih tanpa perlu dirawat di rumah sakit.
“The good news are these feelings are valid and normal. Sangat-sangat wajar. Gile lu, masak kena Covid-19 kita loncat indah, lalu bergoyang samba? Nah, kabar yang lebih baik lagi adalah we all have qualities to be resilient. Saya sudah membuktikannya,” bebernya.
Baginya, tidak ada strategis khusus untuk sembuh dari serbuan virus Covid-19 itu. Menurutnya, resilience (ketahanan) lahir dari sebuah proses bagaimana setiap orang dapat mengatasi stress, menyesuaikan dengan berpikir positif dan optimistik, serta dukungan moral dari orang-orang terdekat yang menyayangi kita.
Karena itu, sambung dia, rasanya tak cukup kata “terima-kasih” atas pesan, doa dan dukungan moral dari kawan-kawan saat dirinya berada di rumah sakit.
“Sometimes the simplest thing mean the most. Mbrebes mili dan terharu saat menerima kiriman foto, video klip apalagi makanan atau suplemen yang membuat nafsu makan bertambah pada saat appetite hilang sama sekali. Benar-benar memberikan motivasi untuk segera sembuh. Bukan soal berapa banyak atau besar yang dikirimkan, it’s about how much love they put into giving. You guys are a blessing!,” terangnya.
“Saya percaya pada kekuatan doa yang dikirimkan untuk saya. It’s really and truly works. Membandingkan cerita dari kawan lain yang terkena covid, betapa cepat saya bangkit dan kemudian pulang ke rumah, bukan ‘pulang’ menghadap-Nya,” kata Dian.
“Tentu ada kekuatan maha dahsyat mendorong kesembuhan saya, yaitu doa. Sungguh, tak henti saya bersyukur kepada Tuhan betapa beruntungnya hidup dalam masyarakat yang saling membantu dan memberi dukungan. It’s truly a great gift,” tambahnya.
Sejatinya, ia melanjutkan kisahnya, menatap angka pertambahan jumlah korban Covid-19 setiap hari kian meningkat dan kini sudah mencapai lebih dari ratusan ribu kasus, “I can not cry for victory yet”. Namun ia tetap menyimpan optimisme. Dukungan moral dan doa yang begitu besar dari kawan-kawannya adalah sebuah contoh, bahwa ada harapan di masa krisis pandemi Covid-19 untuk bangkit dan sembuh.
Ini mengingatkannya bahwa social capital (Barrios et al. 2020; Bartscher et al. 2020), hubungan sosial dan kepercayaan diantara masyarakat (Wu et al. 2020) tidak kalah pentingnya dengan human capital dan sarana fisik lainnya (logistik dan fasilitas medis) dalam perang melawan Covid-19.
Ini menarik, kata dia, ketika menjaga jarak, memakai masker dan mencuci tangan (3M) dan isolasi mandiri (bagi yang sudah terpapar covid) diterapkan, sehingga interaksi tetap dapat dilakukan sehingga hubungan sosial tetap terjaga.
Di balik jalanan dan toko-toko dan mall yang sepi, lanjut dia, masyarakat sebenarnya tetap bisa “stay connected” melalui virtual (zoom meeting atau webinar), tanpa harus merasa terisolasi secara sosial. Inilah sebenarnya yang membuat hubungan sosial dan social capital (jaringan kerja) menjadi robust (kuat) tak mudah digoyahkan.
Professor Daniel Aldrich dari Universitas Northeastern yang banyak melakukan penelitian tentang bencana alam meyakinkan bahwa masyarakat dengan hubungan sosial yang cukup kuat dan rasa percaya yang tinggi (trust) lebih tangguh dalam menghadapi goncangan dan biasanya jumlah korban yang jatuh lebih sedikit.
Nah, apa yang ia alami ketika berada di rumah-sakit darurat covid-19, misalnya, secara fisik memang terisolasi. Ia bahkan hampir tak mengenali tenaga medis dengan baju hasmat yang digunakan. Mana dokter, mana perawat dan mana cleaning service, tidak dapat dibedakan, karena semuanya menggunakan “baju astronot”. Hanya nampak mata saja. Itupun masih harus menjaga jarak agar tidak terinfeksi.
“Kecuali ketika perawat harus mengganti jarum infus, terpaksa mereka harus menyentuh tangan saya,” ungkapnya.
Saat besuk di RS Darurat Covid Siloam, teman-temannya hanya bisa menatapnya dari jarak jauh, dibalik tembok kaca. Baginya ketika itu bagaikan dalam penjara. Namun ia mentaati aturan jaga jarak dan isolasi untuk menghindari kontaminasi and to keep everyone safe.
Namun demikian secara emosi, ia tidak merasa terisolasi. Ia tetap merasa dekat dengan keluarga, sahabat dan orang-orang yang menyayanginya. Ia bahkan merasakan solidaritas yang cukup tinggi dari berbagai networking. Lintas partai, ideologi dan golongan. Seperti mendapat aliran energi yang mengucur deras, inilah yang membuat ia kuat dan cepat bangkit untuk segera sembuh dari ganasnya virus corona atau Covid-19.
“So guys, solidaritas, network, hubungan sosial serta social capital yang kuat dapat menjadi perekat bagi masyarakat melawan serta membangun sikap tangguh atau resilience menghadapi virus covid-19. Walaupun fasilitas medis, ventilator, APD, dokter dan tenaga medis yang profesional masih sangat dibutuhkan,’’ ujar Dian.
“Sejatinya setiap dari kita, saya dan anda dapat memainkan peran mengokohkan solidaritas dan social capital (jaringan kerja). Memberi dukungan moral dan turun tangan dalam solidaritas untuk membawa ‘pulang’ kawan dan saudara yang kini tengah menjalani perawatan covid. After all, tak ada perjalanan hidup yang lebih indah, kecuali pulang ke rumah,” demikian dikisahkan Dian Islamiyati, pasien Covid-19 yang saat ini sembuh.(MRZ)