Warga Setu berinisial R mengeluhkan adanya dugaan pungutan liar (pungli) dalam pengurusan Akte Pembagian Harta Bersama (APHB) di Kelurahan Setu, Kecamatan Setu, Kota Tangerang Selatan (Tangsel). Pasalnya, dia diminta biaya oleh oknum pejabat Kelurahan Setu.
Kabar itu juga dikonfirmasi oleh Jupri Nugroho, Wakil Koordinator TRUTH untuk menanyakan langsung ke pihak Kelurahan Setu pada Jumat (11/6).
Ia menjelaskan, keterangan warga (R) yang didampinginya tersebut, sudah mengajukan permohonan untuk ditandatangani dokumen permohonan pembuatan APHB, namun dokumen tersebut dikembalikan lantaran ada biaya yang harus dikeluarkan agar berkas tersebut ditandatangani oleh Lurah.
“Akhirnya, kami menanyakan mengenai dugaan besaran uang yang diminta oleh oknum lurah tersebut, yaitu 1 persen bahkan lebih jika kepada orang lain, karena tidak bisa gratis jika memang berkas tersebut ingin ditandatangani,” urainya.
Jupri mengatakan, saat dirinya bertemu Lurah Setu untuk menanyakan biaya tersebut yang dibebankan kepada warga (R) justru ia diminta juga untuk mengkonfirmasi ke kantor kelurahan lainnya.
“Lurah Setu mengarahkan agar menanyakan besaran biayanya tanda tangan lurah ke kantor kelurahan yang lain,” katanya.
“Tidak ada yang gratis karena semuanya sama berbayar dan sudah menjadi kebiasaan,” Tiru Jupri yang disampaikan oknum lurah kepadanya pada saat bertemu pada Jumat (11/6).
Ia pun meminta oknum lurah tersebut untuk menunjukkan dasar aturan yang atas biaya tersebut. Namun bukannya menunjukan aturan, Jupri justru mendapat hardikan.
“Kalau emang mau ngajak ribut ayo!” kata oknum lurah itu yang disampaikan oleh Jupri ke tangerangonline.id.
“Kami kesini bukan untuk ajak ribut tapi sebagai penerima layanan,” balas Jupri ke oknum itu.
Jupri juga memaparkan, jika merujuk pada Pasal 32 ayat 1 PP nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah memang ada uang jasa sebesar 1% untuk camat sebagai Pejabat Pembuat Akte Tanah Sementara (PPATS) namun pada ayat 2, 3 dan 4 dijelaskan bahwa PPATS wajib memberikan jasa tanpa memungut biaya kepada seseorang yang tidak mampu di dalam melaksanakan tugasnya, PPAT Sementara dilarang melakukan pungutan diluar ketentuan serta tanpa memungut biaya.
“Sekalipun warga yang menerima layanan mampu bukan lurah yang berhak meminta uang jasa tetapi camat sebagai PPATS, Kami tetap berkeyakinan bahwa setiap pembayaran yang diminta oleh pejabat negara harus berdasarkan aturan, jelas serta ada tempat untuk membayar disertai kwitansi pembayaran,” ujarnya.
Menurutnya, bila ada biaya yang sama di kantor kelurahan lainnya, ia menduga adanya pungli yang TSM (terstruktur, Sistematis, dan Masif) hingga melibatkan oknum di kecamatan.
“Kami kawatir jika pelayanan di tingkat kelurahan sudah semacam ini serta dibiarkan justru akan memberikan ruang untuk menyalahgunaan wewenang sampai pada tahap pemerasan dengan mengunakan jabatan tentu merugikan masyarakat,” ungkapnya.
Ia berharap, Walikota dan Wakil Walikota Tangsel Benyamin-Pilar menjelang 100 hari kepemimpinan dapat melakukan reformasi birokrasi dan evaluasi terutama pada pelayanan masyarakat.
“Perlu adanya evaluasi pelayanan di tingkat kelurahan sampai pada tingkat OPD karena jangan sampai semangat membangun pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi hanya mimpi bagi masyarakat Tangsel sama seperti periode sebelumnya,” tandasnya.
Saat dikonfirmasi Lurah Setu, Naun Gunawan mengatakan, tidak adanya pungli di Kelurahan Setu. Biaya 1 persen pun diungkapkannya untuk PPAT
“Bukan begitu, saya tidak melakukan pungli itu kan tidak terjadi. Memang untuk PPAT memang ada (biaya satu persen),” katanya saat dihubungi via telepon, Selasa (15/6).
Naun Gunawan juga menyesalkan soal dirinya yang emosi hingga mengajak berkelahi kepada Jupri.
“Iya karena kemarin saya kecapean, hari Jumat itu saya letih banyak kerjaan. Saya memang emosi tapi saya sudah minta maaf ke dia,” sesalnya. (Red)