Berita

Opini WTP: Skor Akuntansi, Bukan Ukuran Kesejahteraan

Published on

Oleh: Junaidi Rusli

Di tengah euforia capaian opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) yang kembali disematkan kepada sejumlah pemerintah kabupaten dan kota di Provinsi Banten, muncul satu ironi yang mengganggu nalar publik: mengapa capaian administratif setinggi itu tidak serta-merta mencerminkan peningkatan kesejahteraan masyarakat?

Setiap tahun, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Republik Indonesia mengumumkan opini atas laporan keuangan pemerintah.

Opini WTP menjadi simbol tertinggi, menandakan bahwa laporan keuangan dianggap telah disusun secara wajar sesuai standar akuntansi pemerintahan.

Namun di lapangan, banyak warga justru bertanya-tanya: mengapa kehidupan kami tak ikut membaik seiring deretan WTP yang diperoleh daerah kami?

Secara prinsip, opini WTP adalah pengakuan terhadap kewajaran penyajian laporan keuangan, bukan terhadap hasil dari penggunaan anggaran.

Artinya, WTP adalah penilaian atas kerapihan dokumen, bukan keberhasilan pembangunan Pemerintah Kabupaten Tangerang telah meraih WTP selama 17 tahun berturut-turut, Kota Tangerang Selatan selama 13 tahun, begitu juga Kabupaten Serang.

Namun di saat yang sama, masalah-masalah krusial seperti ketimpangan akses pendidikan, minimnya layanan kesehatan, tingginya angka pengangguran, hingga buruknya infrastruktur dasar masih menjadi keluhan publik sehari-hari.

Ketika Predikat Menjadi Alat Pencitraan Politik

Opini WTP kini lebih sering digunakan sebagai alat legitimasi politik ketimbang refleksi objektif kinerja pelayanan publik.

Kepala daerah mengklaimnya sebagai “bukti keberhasilan”, memajangnya di baliho, mencantumkannya dalam LPJ kinerja tahunan, dan menjadikannya jualan dalam kontestasi elektoral.

Ironisnya, dalam sejumlah laporan BPK tahun ini, meski WTP diberikan, hampir semua kabupaten/kota di Banten mendapatkan “paragraf penekanan” atas pengelolaan keuangan yang tidak optimal.

Misalnya, Kota Cilegon dinilai melakukan belanja yang tidak rasional, Kabupaten Pandeglang disebut tidak sesuai ketentuan dalam penggunaan DAK Fisik pendidikan, dan Kota Serang juga mendapat catatan terkait pengelolaan PAD dan efisiensi anggaran.

Ini menunjukkan bahwa WTP bukan tanpa catatan. Bahkan bisa dikatakan, opini itu tetap bisa diberikan meski terjadi inefisiensi atau belanja tidak prioritas, selama tidak melanggar prinsip akuntansi formal.

WTP Bisa Menyembunyikan Pemborosan

Yang lebih memprihatinkan, predikat WTP sering menutupi borosnya alokasi anggaran.

Banyak kegiatan pemerintah daerah difokuskan pada proyek mercusuar dan seremonial, seperti pembangunan gedung baru yang mewah, perjalanan dinas luar negeri yang tidak berdampak, atau pengadaan barang yang tidak dibutuhkan.

Seluruh transaksi tersebut bisa saja tercatat rapi dan sah secara prosedural, dan oleh karena itu tetap memperoleh WTP.

Tapi publik tidak melihat bagaimana kebutuhan mendasar masyarakat justru dikesampingkan.

Perlu Indikator Baru: Dari Akuntabel Menuju Berdampak

Pemerintah perlu mendorong paradigma baru dalam mengelola dan mengevaluasi keuangan negara.

Akuntabilitas administratif perlu disandingkan dengan akuntabilitas sosial. Artinya, laporan keuangan bukan hanya harus rapi dibukukan, tapi juga berdampak nyata bagi masyarakat.

Hal ini bisa dilakukan dengan menambahkan indikator kesejahteraan dalam evaluasi kinerja anggaran. Misalnya, apakah alokasi belanja berhasil menurunkan angka kemiskinan? Apakah dana pendidikan benar-benar memperbaiki mutu dan akses sekolah? Apakah layanan dasar semakin merata?

Masyarakat Berhak Menuntut Hasil, Bukan Hanya Laporan

WTP bukan akhir dari segalanya. Ia harus dianggap sebagai langkah awal menuju tata kelola keuangan yang baik, bukan sebagai sertifikat keberhasilan mutlak.

Di balik dokumen yang tersusun rapi, bisa saja tersembunyi pemborosan, proyek sia-sia, bahkan kegagalan menjawab kebutuhan masyarakat.

Karena itu, masyarakat perlu menyadari bahwa rapinya laporan keuangan bukan jaminan adanya keadilan anggaran. Kita butuh lebih dari sekadar WTP.

Kita butuh WTP yang berdampak—di mana setiap rupiah digunakan untuk mengangkat derajat hidup rakyat.

WTP Bukan Prestasi Jika Tak Ada Perubahan di Lapangan

Capaian WTP hendaknya tidak menjadi panggung selebrasi, melainkan refleksi atas tanggung jawab besar dalam pengelolaan uang rakyat.

Pemerintah pusat dan daerah harus membuktikan bahwa mereka tidak hanya pandai membukukan anggaran, tetapi juga mampu mengubahnya menjadi kesejahteraan yang nyata dan merata.

Karena pada akhirnya, tujuan akhir dari pengelolaan anggaran publik bukanlah pujian dari auditor, melainkan senyum dan rasa aman dari rakyat yang dilayani.

Exit mobile version