Berita

APKI Berkumpul Kuatkan Komitmen Kode Etik Kemanusiaan

Published on

Aliansi Pembangunan Kemanusiaan Indonesia (APKI) mengadakan pertemuan dan berkomitmen menjaga dan menguatkan kode etik dalam gerakan kemanusiaan.

Anggota AP-KI yang merupakan jaringan-jaringan terbesar di Indonesia, yakni MPBI, FOZ, POROZ, PFI, JMK, SEJAJAR, dan HFI, berkumpul untuk memperingati “Hari Kemanusiaan Sedunia” yang jatuh pada 19 Agustus 2022, di Jakarta. Mereka melakukan penandatanganan pernyataan komitmen terhadap kode etik kemanusiaan.

Jaringan-jaringan anggota AP-KI menyepakati menerapkan Kode Etik Kemanusiaan bersama dengan kaidah-kaidah spesifik yang sudah ada di masing-masing jaringan anggota.

AP-KI menganggap komitmen ini sebagai pilar akuntabilitas tindakan kemanusiaan diantara organisasi masyarakat sipil karena mereka berkiprah dalam suatu ekosistem yang melibatkan tanggung jawab moral, sosial, dan profesional dalam pengelolaan bantuan kemanusiaan dari para donor di satu sisi, dan penyampaian bantuan secara bermartabat kepada komunitas yang memerlukannya pada sisi yang lain.

Nelwan Harahap, Asisten Deputi Kedaruratan dan Manajemen Pasca Bencana, Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), mendukung pernyataan komitmen AP-KI tersebut.

“Memang kedermawanan dan semangat kerelawanan senantiasa diperlukan. Ini bisa berlangsung dengan baik selama para pekerja kemanusiaan mendapat kepercayaan publik dan dalam kaitan itu, diperlukan sikap, kompetensi, dan komitmen terhadap akuntabilitas,” terang Nelwan Harahap, dalam keterangan dari Human Initiative, Rabu (24/8/22) di Jakarta.

Sementara itu, perwakilan dari UNOCHA Indonesia, yang merupakan lembaga PBB urusan koordinasi kemanusiaan, Titi Moektijasih, mengatakan, bahwa saat ini di seluruh dunia terdapat lebih dari 303 juta pemerlu bantuan kemanusiaan.

“Pekerjaan besar ini memerlukan kolaborasi serta komitmen agar membawa dampak yang efektif,” kata Titi Moektijasih.

Sedangkan, Tetri Darwis, dari Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia (MPBI), mendorong para pegiat untuk mengedepankan kaidah kemanusiaan dalam melaksanakan tugasnya.

Hal senada juga diungkapkan Haris Oematan dari Jaringan Mitra Kemanusiaan (JMK), yang menyebutkan bahwa pegiat kemanusiaan mengelola sumberdaya yang dipercayakan oleh para umat dermawan, sponsor dan donor, maka diperlukan komitmen diantara jajaran kemanusiaan untuk bertanggungjawab di semua tataran.

“Ini termasuk penguatan kapasitas lokal yang berada di garda terdepan dalam menjaga martabat, membantu, dan menguatkan komunitas sebagaimana semangat pada peringatan hari kemanusiaan sedunia tahun ini,” beber Haris Oematan.

Hamid Abidin dari Perhimpunan Filantropi Indonesia (PFI) menegaskan, organisasi kemanusiaan harus secara serius memegang komitmen untuk senantiasa akuntabel dan amanah.

“Ini penting karena menyangkut upaya-upaya yang berkualitas membantu yang rentan, menguatkan yang beresiko dan memulihkan yang yang terdampak,” katanya.

Menurut Abdul Rouf (POROZ), pelaksanaan komitmen secara seksama dapat memperluas jangkauan dan meningkatkan hasil bantuan kemanusiaaan.

Mewakili Humanitarian Forum Indonesia (HFI) sekaligus sebagai konvener AP-KI, M Ali Yusuf, mengatakan, perlunya koordinasi dan kolaborasi diantara semua pemangku kepentingan yang didasarkan pada penguatan kebijakan yang mendasari, mengatur, dan memayungi aktivitas teknis para pegiat kemanusiaan di lapangan.

Lebih jauh, Ketua Umum Forum Zakat (FOZ) Bambang Suherman, menyatakan, gerakan kemanusiaan Indonesia sangat besar dan beragam dan memerlukan nafas yang panjang.

“Disamping fakta bahwa gerakan kemanusiaan di Indonesia sangat besar dan beragam, mereka juga memerlukan nafas yang panjang,” terangnya.

Ia melanjutkan, dalam proses pembangunan ada kalanya suatu komunitas, terutama mereka yang rentan dan terpinggirkan, terdampak suatu krisis baik yang disebabkan oleh bencana alam maupun konflik sehingga mengalami disrupsi hidup, kehidupan dan martabat mereka.

Siti Nikmah dari Sekretariat Jaringan antar Jaringan (SEJAJAR) menambahkan bahwa dalam situasi dimana pemerintah sebagai penanggung jawab utama, karena satu dan lain hal, tidak mampu atau tidak mau memenuhi kebutuhan dan perlindungan dasar.

“Pemerintah wajib memberikan akses, memfasilitasi dan membantu pihak -pihak lain, seperti organisasi-organisasi masyarakat sipil, untuk menyampaikan bantuan kemanusiaan. Dalam konteks itu para pegiat kemanusiaan dituntut untuk memegang teguh kaidah-kaidah kemanusaain global,” jelasnya.

Melalui penandatanganan pernyataan komitmen oleh jaringan-jaringan anggotanya, AP-KI berharap bahwa komunitas kemanusiaan di Indonesia menjadi semakin dewasa, kompeten, dan bertanggung jawab demi penguatan gerakan kemanusiaan kedepan.(MRZ).

Exit mobile version