Berita

Buku “Kolintang The Sound of Heaven”, Tiga Bilah Dari Waleposan, Dukungan PINKAN Indonesia di Luncurkan Dari Balai Pustaka

Published on

Dari gedung Balai Pustaka, Buku “Kolintang The Sound of Heaven” diluncurkan.Sejumlah pejabat militer dan sipil, yayasan dan sanggar-sanggar kolintang memenuhi acara launching tersebut, termasuk dri pengurus Jalasenatri TNI Angkatan Laut. Acara yang dimulai sejak pagi hingga siang hari itu, diisi dengan sambutan dan diskusi bedah buku.

Ketua Umum Persatuan Insan Kolintang Nasional (PINKAN) Indonesia, Penny Marsetio, menyebutkan, peluncuran buku ini dilakukan untuk melengkapi syarat-syarat kolintang agar diakui dunia (Unesco). Dimana rencananya pada akhir tahun ini Unesco akan memgumumkan hasilnya, mengingat naskah akademik yang diajukan sudah dua kali mengalami perbaikan.

“Dengan diakui dunia, maka dampaknya musik kolintang mendapatkan ter-protek. Musik kolintang ini adalah suatu musik ansambel (main musik bersama-sama), alat musik kayu yang mewakili musik kekinian yang tidak bisa dimainkan sendirian,” ujar Penny, di Balai Pustaka, Kamis kemarin (10/10/24) di Jakarta.

Penny Marsetio, mengatakan, dalam penulisan buku tersebut pihaknya terus berkomunikasi dengan kedua penulis buku ini, terutama saat tengah malam dalam menjalankan ibadah shalat malam, agar dilancarkan hingga buku itu selesai dicetak dan diterbitkan.

“Semoga buku ini dapat menambah pengayaan ilmu dalam cerita, darimana asal datangnya kolintang. Mudah-mudahan nilai sejarah dapat kita persembahkan untuk NKRI. Kenapa diluncurkan di Balai Pustaka? Karena Balai Pustaka menyimpan banyak cerita masa lalu, karena itu dipilihlah disini, walau sebelumnya berdebat tentang dimana buku ini akan diluncurkan,” ucapnya.

“Semoga (buku) persembahan insan kolintang nasional Indonesia ini akan terus mengiringi langkah kami dalam menjaga dan memelihara marwah musik kolintang” tutur Penny yang sudah bertahun-tahun berjuang agar kolintang diakui dunia.

Penulis buku ini adalah Luddy Wullur dan Lidya Katuuk. Luddy, adalah pecinta kolintang sejak kecil. Lebih dari separuh usianya, ia dedikasikan untuk kolintang, baik sebagai pemain, pelatih, pembuat dan pemerhati kolintang. Sejak 2006 hingga kini, Luddy bekerja di Music and Arts Dept Manado Independent School sebagai Guru Musik Kolintang.

Sedangkan Lidya Katuuk, yang tinggal di Desa Lambean, Minahasa Utara, juga pecinta kolintang dan pendiri dari berbagai sanggar budaya. Wanita lulusan Far Eastern Uniersity Manila, Filipina ini mencintai dan berdedikasi terhadap daerah asal dengan garis hidup yang ia pilih.

Kepada tangerangonline.id, Luddy Wullur dan Lidya Katuuk menceritakan kisah penulisan buku ini yang mendapat dukungan penuh dari Ketua Umum PINKAN Indonesia, Penny Iriana Marsetio.

Luddy Wullur menyampaikan, bahwa dirinya merupakan pelaku kolintang dan penulisan buku ini didasari oleh keinginannya untuk melestarikan budaya leluhur yakni musik kolintang yang dikenal sejak jaman dahulu kala, dimana orang tua, kakek dan nenek mereka sampai garis keturunan ke atas sudah menjadi pelaku musik kolintang.

“Dari Minahasa, mereka memilki kesenian adat, tapi tidak ditulis, hanya disampaikan secara lisan. Karena itu, kita mempunyai kerinduan dan dibuatkanlah dalam bentuk suatu tulisan berbentuk buku, dan buku ini sudah menceritakan secara lengkap tentang musik kolintang dan bagaimana kolintang itu sampai di titik sekarang ini. Nah, perjalanan itu ada tertuang dalam buku ini,” beber Luddy Wullur kepada tangerangonline.id di dampingi Lidya Fiece Katuuk.

Buku ini juga menjelaskan sisi teknis tentang tata cara memainkan musik kolintang, cara mempelajarinya dan menerangkan juga secara utuh tentang musik kolintang. Ide awal penulisan buku ini, berawal dari webinar nasional yang diiniasi dari Sanggar Limeka yang dipimpin Mayjen TNI Purn) Lodewijk Pusung.

Kemudian muncul ide untuk membuatkan sebuah buku yang diilhami tiga bilah dari Waleposan. Kedua penulis bersyukur, mendapat dukungan dari Ketua Umum PINKAN Indonesia, Penny Iriana Marsetio yang merealisasikan penulisan tentang musik kolintang dalam bentuk buku.

“Memang ada kolaborasi yang hebat dan kuat antara Pinkan Indonesia dan Sanggar Limeka sampai buku ini terbit dan sampai ditangan kita semua” ujar Luddy dan Lidya yang merupakan penduduk asli Waleposan, tempat asal kolintang.

Musik kolintang awalnya berasal dari daerah Waleposan, yang awalnya berupa tiga bilah kayu (tiga tone/nada) yang kemudian berkembang menjadi beberapa bilah kayu. Puncak Waleposan (gunung/bukit) adalah sebuah bukit tempat ritual para “dotu-dotu” (orang tua/leluhur) sebagai ucapan syukur atas kemenangan di medan perang, keberhasilan panen, tempat memanjatkan doa atas kesembuhan penyakit dan acara ritual lainnya.

Namun, dalam perkembangannya, Waleposan diartikan sebagai tempat beribadah. Waleposan termasuk dalam wilayah Wanua Dembean, Kecamatan Kauditan, Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara.

“Dalam kepercayaan kuno, orang ‘kan selalu ke gunung, mungkin waktu itu orang selalu menganggap bahwa gunung itu adalah tempat tertinggi dari suatu daerah yang dekat dengan langit. Jadi, Waleposan itu merupakan puncak yang agak tinggi ditempat kami. Disitu banyak ditumbuhi pohon endemik namanya bandaran, itulah kayu yang dibuat untuk alat musik yang jadi cikal bakal musik kolintang,” terang Lidya.

Lidya Katuuk, menuturkan, buku ini bukan merupakan buku yang pertama meski dalam buku tertulis cetakan pertama, Oktober 2024, namun yang menulis atau mengulas tentang kolintang sudah banyak. Karena buku-buku sebelumnya sudah banyak diterbitkan oleh beberapa orang.

Namun, yang menjadi pembeda adalah buku ini muatan dari berbagai bidang disipin ilmu, seperti antropologi, sosiologi, sejarah dan musik kolintang itu sendiri. Sehingga, buku ini sangat unik, karena akar budaya atau budaya dari kolintang suku Minahasa bisa direfleksikan dalam bentuk buku.

“Jadi, orang sekarang tidak perlu lagi mencari-cari, bagaimana itu musik kolintang, bagaimana kolintang bisa ada di Minahasa itu, jalannya bagaimana? Nah, melalui buku ini, kita bisa mengetahui akarnya dan lahirnya bagaimana, sampai dia bertranformasi menjadi musik kolintang yang sangat universal seperti sekarang ini,” terang Lidya.

Buku setebal 152 halaman yang diterbitkan Indo Maritim Media dan dicetak oleh Balai Pustaka ini, dibuat dalam kurun waktu empat tahun melakukan riset, kemudian pada 2021 digelar webinar nasional dan dicetak pada Oktober 2024. Sehingga total pengerjaan buku ini selama tujuh tahun. Buku karya anak bangsa ini dicetak 1000 eksemplar dan didistribusikan di Perpustakaan Nasional, Perpustakaan di seluruh Perguruan Tinggi dan dikirim ke luar negeri sebagai buku diplomasi.

Ketua Dewan Pembina PINKAN Indonesia, Laksamana TNI (Purn) Prof Dr Marsetio menyoroti buku ini. Menurutnya, dalam menjadikan kolintang sebagai warisan budaya takbenda di United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO), menjadi penting dijadikan sebagai sarana diplomasi kebudayaan Indonesia di berbagai forum internasional, khususnya pada Kerjasama Selatan Selatan (KSS) yang merupakan forum kerjasama pembangunan antara negara-negara berkembang di bagian belahan bumi selatan melalui berbagai hubungan bilateral dan multilateral.

“Hal ini relevan, karena alat musik sejenis kolintang juga ada di sejumlah negara KSS seperti di Mali, Burkina Faso, Pantai Gading, Senegal,, Kenya dan berbagai negara lainnya. Peluncuran buku ini adalah momen rangkaian dalam rangka Kolintang Goes to Unesco, dimana PINKAN tidak pernah berhenti mempromosikan kolintang, dimana warisan takbenda milik Indonesia ini sudah diakui pemerintah,” ujar Marsetio.

Ketua Tim Penulis Buku, Mayjen TNI (Purn) Lodewik Pusung, menjelaskan, bahwa buku ini perlu dibaca, karena isinya mudah dipahami, padat dan jelas. Tim penulis menggunakan parafrase untuk memudahkan pembaca memahami makna yang tertuang dalam materi, tradisi lisan maupun teori dan filosofi.

“Tim penulis berusaha menyuguhkan kilas balik sebuah alat musik tradisional sejak lahir dan menjadi cikal bakal musik ideophonik di negeri ini. Buku ini menceritakan kolintang tentang apa yang terjadi pada masa jauh dibelakang kita dan memungkinkan kita menarik benang merah ke kehidupan di masa sekarang dan masa mendatang,” terang Lodewijk Pusung

Menurut Bupati Minahasa Utara yang juga Ketua DPD Pinkan Sulawesi Utara, Joune JE Ganda, buku ini memberikan wawasan mendalam tentang sejarah kolintang yang telah berkembang dari sebuah alat musik tradisional menjadi alat musik universal dengan nada-nada yang lengkap.

Melalui buku ini pembaca diajak untuk mengenal lebih dekat perjalanan kolintang, mulai dari akar sejarahnya hingga bagaimana alat musik ini kini bisa dimainkan dalam berbagai genre musik.

“Tidak hanya itu, buku ini juga memperkenalkan tokoh-tokoh penting yang berjasa dalam perkembangan kolintang serta penjelasan teknis tentang cara memainkannya,” ungkap Joune Ganda.(MRZ)

Exit mobile version