Connect with us

Larangan Berunjukrasa di Bandara Soetta di Tengah Gelombang PHK Akibat Pandemi COVID-19

Bandara

Larangan Berunjukrasa di Bandara Soetta di Tengah Gelombang PHK Akibat Pandemi COVID-19

BANDARA SOETTA – Wabah Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) tidak hanya berdampak kepada pendapatan masyarakat, namun juga berdampak di dunia pekerjaan. Gelombang PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) pun tak terhindarkan.

Akibat pandemi COVID-19 ini, tidak sedikit pekerja yang harus dirumahkan atau PHK oleh perusahaan tempat mereka bekerja.

Salah satunya adalah Aerofood ACS atau PT ACS, perusahaan yang bergerak di bidang inflight catering di Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Minimnya permintaan pasokan makanan dari maskapai penerbangan, Aerofood ACS terpaksa mem-PHK ratusan pekerjanya.

Melihat keadaan tersebut, Polresta Bandara Soekarno-Hatta merangkul pekerja yang di-PHK. Polresta Bandara Soekarno-Hatta memberikan pemahaman terhadap mereka yang terdampak COVID-19 dengan menggandeng pembicara dari Kantor Hukum Sulasmo Sakuri, S.H.,M.H yakni Sapar Sujud, S.H untuk berdiskusi dengan pekerja yang di-PHK.

Dalam diskusi dan sosialisasi yang digelar di Hotel Kryad di Jalan Marsekal Suryadarma, Neglasari, Kota Tangerang pada Senin (27/4/2020) ini dihadiri sejumlah pekerja dan perwakilan Serikat Pekerja dibawah PT NHU (Outsourcing PT ACS).

Dalam kesempatan tersebut, Sapar Sujud, S.H menyampaikan bahwa ditinjau dari UU Ketenagakerjaan ada ruang bagi pengusaha untuk melakukan PHK di masa Pandemik COVID-19.

“Berdasarkan Undang-undang No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUK), Pasal 164 ayat (1) UU 13/2003 antara lain, “Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun, atau keadaan memaksa (force majeur),” ungkapnya.

Disampaikan Sapar, adapun yang dimaksud dengan Force majeure adalah kejadian atau keadaan yang terjadi diluar kuasa dari para pihak yang bersangkutan, dalam hal ini perusahaan dan pekerja/buruh. Istilah yang digunakan dalam UUK untuk force majeur adalah keadaan memaksa.

“Namun UUK tidak menjelaskan lebih lanjut pengertian keadaan memaksa. Sepanjang yang kami ketahui, force majeure biasanya merujuk pada tindakan alam (act of God), seperti bencana alam (banjir, gempa bumi), epidemik, kerusuhan, pernyataan perang, perang dan sebagainya,” jelasnya.

Lebih jauh ia menjelaskan, terdapat dua hal yang harus diperhatikan perusahaan saat melakukan PHK. Yakni, Status Pekerja dan Kompensasi yang diberikan.

“Status pekerja baik Pekerja dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) adalah hal pertama yang harus diperhatikan jika Perusahaan akan melakukan PHK,” ujarnya.

Jika Perusahaan memutus hubungan kerja lanjut Sapar, pekerja yang berstatus PKWT sebelum masa kerja berakhir maka Perusahaan wajib membayar ganti rugi kepada pihak pekerja sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.

Apabila perusahaan melakukan PHK kepada Pekerja yang berstatus PKWTT maka Perusahaan wajib membayar kompensasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 UU Ketenagakerjaan.

“Saya rasa kebijakan dari PT ACS untuk memberikan kompensasi juga sudah bagus didasarkan pada masa kerja,” terangnya.

Sementara itu, perwakilan dari Serikat Pekerja, Ahmad mengatakan bahwa Total karyawan PT NHU (Outsourching PT ACS) yang telah menerima kompensasi sebanyak 890 orang yang mulai dibayarkan sejak tanggal 1 April 2020.

Ahmad juga mengaku pihaknya menerima keputusan dari perusahaan yang tidak dapat mempekerjakan mereka.

“Karyawan (pekerja) yang diberhentikan sementara mendapat uang santunan yang nilainya bervariasi sesuai kebijakan dari Perusahaan, karena menganggap pemberhentian sementara ini terjadi akibat adanya Bencana Alam / Force Majeur,” ungkapnya.

Dijelaskan Ahmad, adapun besaran santunan yang diberikan pekerja yang di-PHK antara lain;

1. Masa Kerja kurang dari 1 Tahun : Rp. 0 ,-
2. Masa Kerja lebih 1 Tahun : Rp. 3.184.249,-
3. Masa Kerja 2 Tahun – 4 Tahun : Rp4.199.029,-
4. Masa Kerja 4 – 5 Tahun : Rp 6.298.544,-
5. Masa Kerja diatas 5 Thn : Rp 8.398.058

“Kami menerima keputusan dari perusahaan dengan kondisi pandemik yg mengakibatkan tidak ada order dari maskapai untuk ACS,” tutur Ahmad.

Hadir juga dalam diskusi tersebut, Kasubag Humas Polresta Bandara Soekarno-Hatta IPDA Riyanto menyampaikan bahwa Bandara Soekarno-Hatta merupakan obyek vital nasional yang tidak boleh ada unjuk rasa.

“Seperti kita ketahui, larangan berdemonstrasi di pelabuhan udara Bandara Soekarno-Hatta merupakan objek vital dan tertuang di Undang-undang Nomor 9 tahun 1998, Pasal 9 ayat 2,”

Di dalam Pasal 9 ayat 2 dijelaskan bahwa Penyampaian pendapat dimuka umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan ditempat-tempat terbuka untuk umum, kecuali :
a. Di lingkungan Istana Kepresidenan Tempat Ibadah, Instalasi Militer, Pelabuhan udara atau laut, Rumah sakit, Stasiun kereta api.
b. Obyek-objek vital nasional;
c. Pada hari besar nasional.

“Di Bandara Soekarno-Hatta ini dilarang melakukan aksi unjuk rasa atau berdemonstrasi. Selain sebagai obyek vital nasional, Bandara ini juga merupakan pintu gerbang negara kita. Aksi unjuk rasa dilarang di seluruh kawasan Bandara ini,”

Dijelaskan Riyanto, di tengah wabah COVID-19 ini Polresta Bandara Soekarno-Hatta memiliki program Empaty building dan social bonding kepada orang-orang yang terkena dampak.

“Salah satunya, kami mendata karyawan yang terkena PHK dengan memberikan himbauan agar menerima kondisi perusahaan yang kesulitan dan menyampaikan ke Dinas Tenaga Kerja supaya mendapat prioritas bantuan dari Pemerintah,” tuntasnya. (Rmt)

More in Bandara

Advertisement
To Top