Berita
Jalan Sunyi Pendidikan Indonesia, Nilai Literasi, Matematika, dan Sains Memprihatinkan
Saat berjalan, mengharuskan seseorang melewati jalan yang sunyi, karena jalan itu merupakan jalan alternatif terdekat dan satu-satunya jalan yang harus dilewati. Jalan yang sunyi merupakan jalan yang kadang memunculkan suatu rasa bagi orang yang melintasinya, kadang merinding, kadang muncul rasa takut bahaya yang tiba-tiba menimpa dirinya. Begitu pula dengan dunia pendidikan yang hari ini bagaikan jalan sunyi. Tak hanya sunyi, namun juga berkerikil, menapaki tikungan-tikungan tajam, menanjak dan menurun.
“Pendidikan itu menanjak dan menurun yang merupakan jalan sunyi. Dengan hadirnya FJP Batch IV ini, maka akan menambah orang-orang yang akan membersamai kita dalam perjalanan ini,” tutur Penggagas Sekolah Ilmuwan Minangkabau, Ikhsyat Syukur, saat membuka pembicaraan dalam sesi daring Fellowship Jurnalisme Pendidikan (FJP) Batch IV, Gerakan Wartawan Peduli Pendidikan (GWPP), Rabu, (18/3/22) di Jakarta.
Dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, tidak ada kata lain, selain melewati jalur pendidikan. Dari hasil survei Programme for International Student Assessment (PISA) 2018 yang diterbitkan pada Maret 2019, memotret sekelumit masalah pendidikan Indonesia. Dalam kategori kemampuan membaca, sains, dan matematika, skor Indonesia tergolong rendah karena berada di urutan ke-74 dari 79 negara.
PISA merupakan survei evaluasi sistem pendidikan di dunia yang mengukur kinerja siswa kelas pendidikan menengah. Penilaian ini dilakukan setiap tiga tahun sekali dan dibagi menjadi tiga poin utama, yaitu literasi, matematika, dan sains. Hasil pada tahun 2018 mengukur kemampuan 600 ribu anak berusia 15 tahun dari 79 negara.
Beberapa waktu lalu The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) atau kerjasama pembangunan ekonomi mengumumkan hasil Programme for International Student Assesment (PISA) 2018. Seperti tahun-tahun sebelumnya, perolehan peringkat Indonesia tidak memuaskan alias rendah.
“Kita sebenarnya tidak masuk. Sampai hari ini kita bukan anggota OECD. Dalam hal PISA, pemerintah saat itu memutuskan, kita ikut. Sehingga ketika dilakukan penilaian terhadap negara-negara yang mau dan dilakukan penilaian setiap tiga tahun sekali untuk melihat aspek pendidikan dan melihat dalam kehidupan bangsa tersebut. Jadi PISA itu melakukan assesmen sejak tahun 2018,” beber Ikhsyat Syukur.
Tahun 2000 ketika pertama kali dinilai, dari 41 negara, Indonesia berada diposisi 39 atau nomor tiga dari bawah. Hal yang dinilai adalah menyangkut sains, matematika dan literasi. Kemudian pada tahun 2015, dari 70 negara yang mengikuti assesmen, posisi kita berada di angka 62. Tiga tahun kemudian (2018) yang merupakan PISA terakhir, dari 78 peserta, Indonesia berada diposisi 71, dimana sepuluh besar dari bawah.
“Bila dibandingkan dengan PISA 2015 dan PISA 2018 terjadi penurunan secara signifikan. Tadinya kita berharap ada kenaikan, tapi yang terjadi malah penurunan,” terangnya.
Untuk sains yang tadinya angkanya 403 menjadi 371, kemudian matematika dari 385 menjadi 379 dan literasi dari 397 menjadi 371, turun semua. Sebenarnya pada 2021 ada PISA lagi, namun karena pandemi Covid-19 maka tak bisa dilaksanakan dan akan digantikan ditahun 2022 ini.
“Prihatin, iya. Tapi inilah gambaran kondisi real pendidikan di negeri kita,” ungkapnya.
Alat Ukur Pendidikan Ala Indonesia
Dalam pendidikan, Indonesia memiliki alat ukur tersendiri, yakni Ujian Nasional (UN) yang digunakan sebagai syarat kelulusan, namun saat ini hanya dipakai untuk pemetaan. Pada 2019, UN mulai diubah menjadi assesmen nasional dan dilakukan di akhir tahun 2021 kemarin.
Dari hasil assesmen nasional 2021 ada tiga hal yang dinilai pada saat itu yakni jutaan murid, ribuan kepala sekolah dan guru. Ada yang namanya Asesmen Kompetensi Minimum (AKM), dalam hal literasi (membaca/menulis) dari dua orang peserta didik, satu orang belum mencapai kompetensi minimum, apalagi maksimum. Dalam hal numerasi, kemampuan untuk berhitung dua dari tiga peserta didik belum juga mencapai kompetensi minimum.
Kesenjangan pendidikan antara satuan pendidikan Jawa dan luar Jawa juga terjadi dan sangat ekstrem sekali. Gambaran secara umum, sekolah terbaik di luar Jawa ternyata nilainya dibawah sekolah terburuk di Jawa.
Kemudian assesmen 2021 juga melakukan Survei Karakter, karena tujuan utama pendidikan adalah pembentukan karakter. Dalam hal kreativitas dan iman meningkat, namun dalam hal kemandirian dan kebhinekaan global sangat rendah.
Ada yang menarik ditemukan, semakin baik karakter seseorang sebenarnya semakin baik pula kemampuan literasi dan numerasi yang bersangkutan. Selain itu, assesmen juga melakukan survey lingkungan belajar di sekolah, ada 24,4 persen peserta didik berpotensi mengalami perundungan (perilaku tidak menyenangkan baik secara verbal maupun fisik yang membuat seseorang merasa tidak nyaman, sakit hati dan tertekan) di satuan pendidikan. Tak hanya sampai disitu, sebanyak 22,4 persen peserta didik mengalami kekerasan seksual.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (sekarang Menteri Pendidikan Riset, dan Teknologi/Mendikbudristek), Nadiem Makarim, saat itu resmi mengganti Ujian Nasional (UN) 2021 menjadi Asesmen Nasional (AN). Hal ini disebut sebagai penanda perubahan terkait evaluasi pendidikan di Indonesia.
Asesmen Nasional 2020 merupakan pemetaan mutu pendidikan pada seluruh sekolah, madrasah, dan program keseteraan jenjang sekolah dasar dan menengah. Perubahan mendasar pada Asesmen Nasional adalah tidak lagi mengevaluasi capaian murid secara individu, tetapi mengevaluasi dan memetakan sistem pendidikan berupa input, proses, dan hasil.
Rapor Pendidikan Indonesia adalah hasil Asesmen Nasional (AN) yang menggantikan ujian nasional dan analisis data lintas sektor bagi setiap sekolah dan pemerintah daerah. Hasil tersebut selanjutnya dapat digunakan sebagai evaluasi dan perbaikan.
Ikhsan Syukur, mengutip pernyataan Mendikbudristek, Nadiem Makarim, dalam pengantar assesmen 2021, yakni anak-anak yang menghadapi tantangan numerasi dan literasi sangat mudah demotivasi (tidak memiliki motivasi lagi) dan tertinggal. Kemudian, daya saing lulusan Indonesia berbasis teknologi yang terus berubah, akan membuat daya saing yang sangat rendah, sehingga berdampak pada daya saing nasinal dan sumber daya manusia (SDM) Indonesia dimasa depan.
“Jadi beliau sudah memperkirakan bahwa hasil-hasil ini, kalau kita tidak hati-hati, akan menurunkan daya saing kita. Siswa yang tidak memiliki kemampuan literasi dan numerasi, daya kritisnya akan menurun, sehingga rentan terhadap hoax dan manipulasi. Ini pernyataan Mendikbudrsitek, 1 April 2022 kemarin,” bebernya.
Kenyataan dilapangan, peserta didik mengalami gagal paham atas pelajaran saintek (fisika, kimia, matematika). Terutama bagi yang baru naik tingkat.Minat belajar menurun drastis, terutama saat Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) saat Pandemi Covid-`19. Anak-anak memiliki prinsip yang sederhana, apapun hasil evaluasinya mereka memiliki prinsip yakni tetap akan naik kelas dan masih ada remidial.
“Sekolah tidak berani menghukum, sehingga nilai siswa yang jelek, akan tetap dinaikkan, karena khawatir nilai sekolah akan turun atau akreditasi sekolah akan buruk dan guru atau kepala sekolah dianggap tidak mampu mengajar dan mengelola sekolah,” terangnya.
Para guru juga menemukan rata-rata anak-anak jaman sekarang tidak memiliki sikap sopan santun, apalagi beradab. Sehingga, beberapa sekolah yang peduli dengan hal ini, sekarang melatih itu kembali. Satu orang guru diminta untuk mengawasi 30 orang anak untuk masalah budi pekerti sepanjang hari, dari mulai masuk sekolah hingga pulang. Guru mengingatkan kembali akan nilai-nilai luhur bangsa ini yang semestinya sudah inharen dalam diri kita sebagai bangsa Indonesia.
Tak hanya itu saja, kemampuan menganalisa informasi juga rendah, ini segaris dengan hasil assesmen nasional yakni gampang sekali termakan berita-berita bohong (hoax) yang tersedia didalam gadget mereka dan ironisnya mereka menelan berita hoax itu. Maka dibutuhkan langkah sangat kompleks untuk mengajarkan kepada mereka tentang mana berita bohong dan mana berita yang akurat.
Peran Jurnalis Pendidikan Dalam Mencerdaskan Bangsa
Peran strategis jurnalis pendidikan sangat penting, sebagai sosial kontrol dari pusat hingga daerah, mulai dari kebijakan sampai kepada tataran pelaksanaan dilapangan. Jurnalis harus mampu melakukan penyebaran berita positif yang objektif, valid dan bertanggung jawab demi terwujudnya masyarakat yang kritis, kreatif dan produktif.
“Ketika kita membantu mengurangi kesenjangan pendidikan antar wilayah, pada akhirnya seorang jurnalis ikut serta menentukan masa depan bangsa,” jelas Ikhsyat Syukur.
Tugas mulia jurnalis pendidikan adalah ikut serta mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pendidikan yang diterangkan dalam alinea keempat pembukaan UUD 1945. Jurnalis juga berperan dalam peningkatan daya saing bangsa.
“Pendidikan menjadi tanggung jawab setiap warga negara terdidik di negeri ini. Selain untuk memenuhi janji kepada pendiri republik, juga sebagai pembayaran hutang (dharma bakti) pada Ibu Pertiwi,” ujar Ikhsyat Syukur.
Nilai Rendah Karena Terlena Dengan Gadget
Survei PISA 2018 itu lagi-lagi menempatkan siswa Indonesia di jajaran nilai terendah terhadap pengukuran membaca (literasi), matematika, dan sains. Pada kategori kemampuan membaca, Indonesia menempati peringkat ke-6 dari bawah (74) dengan skor rata-rata 371.
Setiap 3 tahun, murid-murid berusia 15 tahun dari sekolah-sekolah yang dipilih secara acak, menempuh tes dalam mata pelajaran utama yaitu membaca, matematika dan sains. Tes ini bersifat diagnostik yang digunakan untuk memberikan informasi yang berguna untuk perbaikan sistem pendidikan.
Rendahnya tingkat literasi di Indonesia salah satunya karena penggunaan teknologi yang kurang bijaksana. Masyarakat Indonesia banyak yang terlena akan kecanggihan teknologi masa kini. Padahal sebenarnya kegiatan membaca juga bisa dilaksanakan melalui gadget dengan adanya teknologi e-book.
Menurut PISA, tingkat kemampuan membaca akan berdampak pada kemampuan ekonomi di masa yang akan datang. Indonesia masih digolongkan dalam negara yang belum mampu menciptakan kemampuan anak untuk berpikir kritis dan analitis sebagaimana yang seharusnya dilakukan orang dewasa dalam menghadapi tuntutan zaman yang semakin berat.
Hal ini tentunya akan berdampak pada kegiatan perekonomian Indonesia di kancah internasional. Jika Indonesia tidak dapat bersaing, maka akan membuat perekonomian Indonesia terpuruk dan dipastikan kesejahteraan warga negara akan menurun. (MRZ).
