Berita
DPRD Banten Tanggapi Penerapan Sekolah Gratis
Kebijakan Pemerintah Provinsi Banten yang melarang sekolah memungut iuran dari orangtua siswa masih polemik di tengah masyarakat. Pasalnya, kebijakan sekolah gratis tersebut belum dibarengi fasilitas memadai dan pembelajaran berkualitas.
Anggota Komisi V Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Banten, Asnin Syafiuddin mengapresiasi kebijakan Gubernur Banten untuk menggratiskan biaya apapun di SMA dan SMK tersebut. Namun dalam realisasinya perlu duduk bareng antara berbagai pihak seperti kepala sekolah, komite sekolah, forum komunikasi komite sekolah dan lainnya agar kebijakan itu sesuai di lapangan dan tidak polemik.
“Saya sebagai anggota komisi 5 DPRD Provinsi Banten banyak menerima keluhan-keluhan dari pihak sekolah baik ketika berkunjung ke SMA/SMK maupun pihak sekolah yang menyampaikan langsung,” ujar Asnin terkait kekhawatiran sejumlah kalangan dengan sekolah gratis ini akan menjadikan pendidikan tidak berkualitas lantaran anggaran tidak memadai.
Sebelumnya, jajaran Forum Komunikasi Komite Sekolah se-Banten menemui pimpinan Komisi V DPRD Banten menyampaikan permasalahan kebijakan gubernur itu.
Pertemuan digelar untuk merespon kebijakan Gubernur Banten Wahidin Halim mulai 2018, SMA dan SMK tidak boleh lagi memungut biaya dari siswa. “Jangan mintain duit, komite jangan mintain duit. Itu gratis namanya, susah diganti kepala sekolahnya,” kata Wahidin Halim beberapa waktu lalu.
Dalam Pertemuan tersebut diterima Ketua Komisi V Fitron Nur Ikhsan dan anggota DPRD Ade Awaludin.
Budi Usman, juru bicara perwakilan FKKS se-Banten yang juga ketua komite SMA Negeri 12 Kabupaten Tangerang menyebutkan pihaknya berterima kasih terhadap Gubernur Banten yang berpihak pro rakyat kecil untuk pendidikan Gratis di Banten. “Tapi Gubernur juga harus merespon secara sehat akan partisipasi dan penggalangan dari masyarakat untuk pendidikan murah terjangkau dan bermutu demi tegaknya peningkatan mutu Pendidikan yang lebih baik,” tandas Budi.
Ketua Komisi V DPRD Provinsi Banten Fitron Nur Ikhsan menjelaskan, sebelum menjalankan program itu, pemerintah harus mempertimbangkan sejumlah hal.
Misalnya, anggaran yang dikucurkan pemerintah ke sekolah apakah mencapai standar pelayanan minimal (SPM) sekolah. Sehingga saat tidak ada lagi iuran, operasional sekolah tidak terganggu dan mutu sekolah bisa tetap bahkan lebih baik.
“Apa yang dikhawatirkan oleh komite sekolah sesungguhnya menjadi pemikiran di Komisi V. Saat rapat anggaran kami berpikir, apakah anggaran Rp 2,1 juta itu memenuhi delapan standar pendidikan,” kata Fitron politisi muda Golkar setelah menerima audiensi sejumlah komite sekolah di Banten.
Karena, lanjut Fitron, jika anggaran bantuan disamakan dan tidak lagi diperkenankan melakukan pungutan di seluruh kabupaten kota di Banten, dikhawatirkan berdampak pada standar kualitas sekolah di setiap daerah.
“Sedangkan, sekolah di Malingping dan di Tangerang memiliki standar kualitas yang berbeda, karena standar kualitas sekolah kan beda-beda. Mohon dikaji dengan baik,” katanya.
“Kebijakan ini tidak cukup dengan niat baik. Kan harus dihitung dulu SPM-nya. Kalau memang benar-benar gratis, berapa standar kebutuhannya agar gratis tapi tetap berkualitas,” tambahnya.
Terkait iuran sekolah, menurut Fitron, pernyataan Gubernur Banten Wahidin Halim yang melarang sekolah memungut iuran belum mempunyai regulasi jelas. Selain itu, saat ini yang masih berlaku Pergub Nomor 30 Tahun 2017 yang ditandatangani Gubernur. (sam)
