Serpong, Dipanggilnya Sekertaris Daerah Kota Tangerang Selatan oleh Badan Pengawas Pemilu setempat, terkait dugaan pelanggaran etika ASN karena berkampanye sebelum waktu yang ditetapkan KPU.
Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Islam Syeh Yusuf Tangerang Adib Miftahul Huda menyesalkan sikap orang nomor satu di tubuh Aparatur Sipil Negara atau ASN Kota Tangerang Selatan tersebut. Menurut Adib hal itu telah melanggar dan mencoreng kinerja serta etika Abdi Negera.
” Syahwat politik pribadi seorang pejabat terkadang, membuat lupa akan posisi dirinya saat ini sebagai apa, sehingga berkampanye sebelum waktunya, sangat wajar apabila Bawaslu langsung bergerak dan bertindak,” paparnya, Rabu (18/03).
Adib menjelaskan, sebagai seorang yang pejabat eselon satu, langkah Muhamad ini bisa berdampak stigma negatif bagi para ASN dibawahnya. Dimana aksi meminta dukungan dalam sebuah acara tersebut dan menyampaikan sebagai bakal calon walikota bisa meresakan baik untuk warga ataupun di tubuh ASN sendiri.
” Muhamad, saat ini sudah memposisikan dirinya sebagai Bakal Calon Walikota, serta menikmati panggung politik seorang diri, tanpa melihat regulasi dan aturan main yang berlaku, dampaknya melahirkan adanya pengkotak kotakan atau kubu-kubuan di tubuh ASN,” tegasnya.
Adib mendesak, supaya Walikota Tangerang Selatan Airin Rachmi Diany bersikap tegas akan perilaku sang Sekda, karena dampak yang ditimbulkan dalam tubuh birokrasi dikawatirkan akan bergejolak karena syahwat politik yang di gaungkan sebelum waktunya, serta adanya dugaan unsur pelanggaran kode atik ASN didalamnya.
” Walikota dan Rakyat Tangsel punya hak untuk melaporkan Muhamad Ke Kementrian Aparatur Sipil Negara dan Reformasi Birokrasi Juga Komisi ASN, supaya mencopot Muhamad dari jabatan dan status kepegawaiannya, karena diduga Muhamad telah melanggar kode etik ASN yakni UU nomor 42 tahun 2004 pasal 6 tentang mengutamakan kepentingan negara diatas kepentingan pribadi,” tegasnya.
Adib berharap Muhamad lebih gentleman dalam mengambil sikap politiknya, sehingga tidak melahirkan conflict of interesi di kemudian hari, dimana kontestasi politik Pilkada itu sudah diatur dalam undang-undang tersendiri.
” Sayangnya Undang-Undang (UU) 10/2016 tentang Pilkada, hanya mengatur, kalau sudah daftar atau ditetapkan KPU, baru mengundurkan diri. Ini kelemehan juga, harusnya ketika ada niat declaire di publik mau jadi kepala daerah, harus mundur. Politik butuh etika yang fairness,” tutupnya. (***)