Connect with us

Implikasi Reklamasi Pesisir dan Rencana Pulau Palsu Rusak Tata Ruang

Home

Implikasi Reklamasi Pesisir dan Rencana Pulau Palsu Rusak Tata Ruang

Oleh: Budi Usman, Aktivis Tangerang Utara
Direktur Komunike Tangerang Utara.

Peraturan Daerah Propinsi Banten Nomor 5 Tahun 2017 Tentang Rencana Rata Ruang Banten telah di ratifkasi Pemerintah Pusat dan Jelas mengatur Pola ruang dan konsideran yang memberi perlindungan maksimal terhadap ketahanan pangan pertanian serta Kelestarian Pengelolaan Kawasan Pesisir termasuk tidak di masukan nya Pola ruang dan “Peta Baru” Pulau Palsu versi Koorporat PT Tangerang Internasional City ( TIC) dan Pemkab Tangerang.

Ternyata kiprah TIC merambah kawasan Pesisir Lewat upaya mereka mampu memperoleh Kajian Dokumen Analisa dampak lingkungan hidup rencana kegiatan pembangunan pariwisata komersil dan perumahan kecamatan kosambi dan Kecamatan Teluknaga Kabupaten Tangerang Banten oleh pemerakarsa PT Kukuh Mandiri Lestari yang merupakan tentlakel Agung Sedayu Group yang di keluarkan Oleh Gubernur Banten melalui persetujuan SK Kadis Lingkungan hidup dan Kehutanan Banten Nomor 902/kep.255-DLHK/2017.

Terbitnya SK tersebut memberi implikasi ke publik bahwa Gubernur melalui Kadis LHK telah gagal menyelamatkan perlindungan kawasan Pesisir dan Pertanian dari dugaan Pelanggaran RTRW Kabupaten Tangerang dan Banten serta adanya proteksi kejahatan Pengeloaan Lingkungan Hidup di pesisir Tangerang Utara.

Padahal tertulis jelas dalam dokumen pengajuan koorporat tersebut bahwa Wilayah tersebut masuk Kawasan Strategis Nasional karena ada Hutan Lindung dan Objek Vital Nasional yang perlu kajian komprehensif dari Pemerintah pusat.
Belum lagi fakta di lapangan, bahwa kawasan yang mempunyai Brand komersil PIK 2 ini sudah melakukan aktivitas pembangunan secara Illegal sebelum terbit ijin Lingkungan Hidup dari Gubernur Banten dan IMB dari Bupati Tangerang.

Bumi Air dan Kandungan Alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,” demikian bunyi pasal 33 ayat 3 UUD 1945.

Pasal ini sudah demikian jelas, demikian terang benderang, tidak ber-wayuh arti dan interpretasi bahwa seluruh kekayaan alam (natural resources) yang berada dalam perut bumi, di berbagai bukit dan gunung-gunung, di atas tanah yang berupa hutan dan di dalam air yang berupa hasil-hasil sungai, danau, dan lautan di seluruh Indonesia harus dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Penjelasan atas pasal 33 itu, antara lain, menyatakan “kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang-seorang”. Kata-kata “bukan kemakmuran orang-seorang” itu ditulis dengan huruf tebal. Juga diuraikan dalam penjelasan UUD 1945 itu bahwa negara harus menguasai cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menentukan hidup orang banyak. “Kalau tidak, tampuk produksi jatuh ke tangan orang-seorang yang berkuasa dan rakyat yang banyak ditindasnya.”

Definisi reklamasi atau pengurukan adalah kegiatan yang dilakukan oleh orang dalam rangka meningkatkan manfaat sumber daya lahan ditinjau dari sudut lingkungan dan sosial ekonomi dengan cara pengurugan, pengeringan lahan atau drainase. Reklamasi dapat juga didefinisikan sebagai aktivitas penimbunan suatu areal dalam skala relatif luas hingga sangat luas di daratan maupun di areal perairan untuk suatu keperluan rencana tertentu.

Berdasarkan investigasi lapangan, Kamis (17/1/2015) hingga (6/1/2018), pengurukan dan reklamasi kawasan Pesisir Perikanan Tambak telah menyebabkan persoalan baru terkait lahan perikanan dan pesisir pantai Kecamatan Kosambi dan Teluknaga sepanjang pantai Kabupaten Tangerang, terutama di sepanjang pantai dan pesisir Kelurahan Dadap, Kosambi Timur, Desa Salembaran Jaya, Salembaran Jati , Desa Lemo dan Pantai Muara Teluknaga hingga rencananya memanjang hingga pantai Tanjung Pasir Kabupaten Tangerang Propinsi Banten yang nota bene masuk kawasan pengelolaan Wilayah pesisir yang merupakan termaktub dalam Rencana Zonasi Wilayah Pesisir (RZWP) Kewenangan Gubernur Banten dan Pemerintah Pusat .

Belum lagi pencurian Pasir
Reklamasi Jakarta maupun Tangerang ini tak hanya berdampak pada nelayan di wilayah sekitar pulau Palsu. Para nelayan di Pantai Serang Utara, Banten, juga terkena dampaknya.

Sebelumnya, di Era Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Sumber Daya Manusia Rizal Ramli mengatakan, proyek reklamasi Teluk Jakarta dihentikan, sehingga perusahaan pengembang masih bandel untuk melanjutkan pengerjaan. Terutama, di daerah Pontang, Tanara, dan Tirtayasa.

Aktivis KIARA (2017), mencatat bahwa rencana proyek reklamasi 17 pulau dan pencemaran di Teluk Jakarta terbukti menurunkan hasil tangkapan ikan nelayan di Sepanjang pesisir pantai Tangerang dan Pulau Pulau di gugusan Kepulauan Seribu. Sebelum proyek Reklamasi dijalankan, nelayan tangerang Utara dapat membawa pulang hasil tangkapan ikan sebanyak 3-5 ton per bulan. Namun jumlah itu, turun drastis sebanyak 30-40 persen setelah adanya proyek reklamasi dan laut semakin tercemar.

Reklamasi dan Pengurukan Kawasan Tangerang utara dianggap bertentangan dengan sejumlah peraturan perundangan yang berlaku, yaitu: 1) UU No 27/2007 dan UU No 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; dan 2) UU No 32/2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

UU No 27/2007 Pasal 60 ayat 1 mengamanatkan bahwa masyarakat pesisir memiliki hak dalam pengeloaan pesisir dan pulau-pulau kecil, yaitu:
a. memperoleh akses terhadap bagian Perairan Pesisir yang sudah diberi Izin Lokasi dan Izin Pengelolaan;
b. mengusulkan wilayah penangkapan ikan secara tradisional ke dalam RZWP-3-K;
c. mengusulkan wilayah Masyarakat Hukum Adat ke dalam RZWP-3-K;
d. melakukan kegiatan pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
e. memperoleh manfaat atas pelaksanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
f. memperoleh informasi berkenaan dengan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
g. mengajukan laporan dan pengaduan kepada pihak yang berwenang atas kerugian yang menimpa dirinya yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
h. menyatakan keberatan terhadap rencana pengelolaan yang sudah diumumkan dalam jangka waktu tertentu;
i. melaporkan kepada penegak hukum akibat dugaan pencemaran, pencemaran, dan/atau perusakan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang merugikan kehidupannya;
j. mengajukan gugatan kepada pengadilan terhadap berbagai masalah Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang merugikan kehidupannya;
k. memperoleh ganti rugi; dan
l. mendapat pendampingan dan bantuan hukum terhadap permasalahan yang dihadapi dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Selanjutnya, Pasal 65 UU No 32/2009 menyatakan: 1) Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia; 2) Setiap orang berhak mendapatkan pendidikan lingkungan hidup, akses informasi, akses partisipasi, dan akses keadilan dalam memenuhi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat; 3) Setiap orang berhak mengajukan usul dan/atau keberatan terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan yang diperkirakan dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup; 4) Setiap orang berhak untuk berperan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan 5) Setiap orang berhak melakukan pengaduan akibat dugaan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.

Aktivis dan warga sektar lokasi pengurukan lahan perikanan dan pantai mengatakan, masalah reklamasi pesisir Pantai Utara Tangerang selama ini tidak transparan. Baik dari pemerintah pusat, pemerintah daerah Koorporat. Tau taunya sudah berjalan, Kawasan pesisir pantai dan lahan konservasi diurug, lingkungan dan biota laut menjadi rusak. Di duga rangkaian perizinan yang kini dikantongi pengembang Raksasa Tangerang Internasional City ( TIC ) dan PT Agung Sedayu Group ini harus dikaji ulang. Karena diduga tidak memenuhi aspek prosedural dan berdampak buruk pada rusaknya kelestarian lingkungan hidup.

Saatnya sekarang publik meminta kepada Presiden, Gubernur Banten , Bupati Tangerang dan di awasi Legislator untuk menghentikan dan menindak tegas kegiatan Pembangunan Fisik
seperti kegiatan penimbunan lahan Pesisir dan Lahan pertanian yang di proteksi UU sehingga wibawa dan martabat Negara bisa tegak di mata Koorporat. (*)

Continue Reading
You may also like...
1 Comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

More in Home

To Top