Home Berita KADIN Nilai Vokasi dalam Pendidikan Dilakukan Serius

KADIN Nilai Vokasi dalam Pendidikan Dilakukan Serius

0

Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Ketenagakerjaan dan Hubungan Industrial, Anton J Supit, mengajak semua pihak berterimakasih kepada Presiden Joko Widodo yang secara tegas memilih vokasi dalam dunia pendidikan dan hal ini merupakan sebuah revolusi. Vokasi ini, dulu sering dikemukakan, namun tidak dilakukan seserius sekarang.

Persoalan ini, kata Anton J Supit, tidak bisa di timpakan seluruhnya kepada Kemendikbud Pusat. Sebab ada di suatu daerah yang setiap wilayah membuat SMK, akibatnya terkendala masalah transportasi. Karena, kalau bicara vokasi, vokasi itu adalah pendidikan yang diarahkan pada penguasaan keahlian terapan tertentu.

“Jadi, kalau dia masuk vokasi, lebih menjamin dia itu langsung dapat kerja, dan disinilah peranan negara memberikan minimal keterampilan kepada seseorang agar seseorang bisa survive dalam hidupnya,” terang Anton J Supit, dalam acara talkshow akhir pekan terhangat “Polemik MNC Trijaya FM” bertajuk “Vokasi dan Ironi Pendidikan di Era Milenial” di Warung Daun, Cikini, Sabtu (10/11/18) Jakarta Pusat.

Menurutnya, vokasi itu ada dua pilar utama yakni pendidikan dan industri. Jadi dikenal dengan sistem ganda yakni bekerja sambil belajar dimana 70 persen praktek di lapangan dan 30 persen praktek di sekolah. Di sekolah-pun tidak hanya belajar soal pelajaran umum, tapi belajar tentang keahlian sesuai dengan kejuruan yang dia pilih. Oleh karena itu, memang kita harus mengevaluasi kembali bagaimana kekuatan dari 13.800-an SMK yang tadinya setelah keluar dan BOS (Bantuan Operasional Sekolah) itu dapat tumbuh dan berkembang dengan pesat.

“Sekarang kita melihat, bahwa kita mesti kampanye ke daerah-daerah untuk kembali kepada inti daripada sebuah esensi dari sebuah pemerintahan, apakah itu di pusat dan di daerah adalah penghapusan kemiskinan,” katanya.

Soal kondisi industri di Indonesia di urutan 93 dari 100 negara, dikatakan, berdasarkan pengalaman, siswa yang sudah tamat SMK semestinya langsung bekerja, tanpa dilakukan tes wawancara. Tapi, kenyataannya, ada yang sebelum masuk dunia kerja diminta melakukan latihan terlebih dahulu di Balai Latihan Kerja (BLK) yang dibawah naungan SMK (dulu STM). Sehingga, ia menyarankan agar Kemendikbud dapat lebih independen dalam mengeluarkan kebijakannya dan tidak mengacu kepada orang-orang tertentu yang tidak jelas.

“Saya sakin mismatch (tidak cocok) itu ada, ketika kita cari orang yang bekerja sesuai kemampuan, susahnya luar biasa. Misalnya, ada sekolah yang didirikan sesuai potensi guru. Padahal seharusnya (sekolah) potensinya apa, baru kita cari gurunya,” ucapnya.

Sementara itu, Ketua Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI), Didi Suprijadi, mengatakan, jumlah SMK Negeri dan Swasta perbandingannya sangat jauh berbeda. SMK Negeri jumlahnya hanya 3000-an, sedangkan SMK Swasta berjumlah 10.000-an. Bandingkan dengan SMA Negeri dan Swasta yang jumlahnya sama yaitu masing-masing 6000-an.

Begitu pula dengan siswanya. Jika SMK Negeri jumlah siswanya 2 juta, sedangkan siswa SMK Swasta 2,7 juta orang. Sedangkan di SMA Negeri 3,4 juta orang sedangkan yang swasta 1,2 juta orang.Artinya, ada pengelolaan yang berbeda, kita tahu, tidak semua (SMK) swasta lebih bagus dari (SMK) negeri. Kalau sudah seperti ini, artinya di lembaga vokasi SMK ada pertentangan dari penyelenggara negeri dan swasta. Apa akibatnya? Tentu berakibat pada proses pembelajaran dimana kalau seandainya banyak sekolah swasta berarti banyak juga guru swasta, kalau banyak guru swasta, tentu secara kesejahteraan sangat berbeda dengan yang negeri.

“Nah, ini persoalan, sekolah negeri agak kurang diterima bekerja dikalangan industri, meskipun manajemen di sekolah negeri lebih baik dari swasta, “ bebernya.

Menurut Anggota DPR F-PDI-Perjuangan, Effendi MS Simbolon, kita harus melakukan evaluasi dan introspeksi diri, atas apa yang sudah dilakukan selama ini. Diakuinya, memang ada suatu masalah yang sangat serius dari sistem pendidikan kita, seperti kurikulum, industri dan stake holders lainnya yang terkait langsung dalam sistem pendidikan dengan out put dari sistem pendidikan.

Di Indonesia, katanya, ada dua Kementerian yang membidangi pendidikan yakni Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan Kementerian Riset dan Teknologi Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti).

“Dari dua instrumen ini, sebenarnya kita sangat berharap dapat memberikan regulasi dan melakukan fungsi eksekusi terhadap regulasi itu untuk memaknai bahwa pendidikan itu satu tingkat kesakralan kita dalam berkeyakinan beragama. Dalam amandemen UUD 1945, sudah dinyatakan bahwa untuk pendidikan ada kebijakan negara untuk mengalokasikan sebesar 20 persen dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

“Sehingga kalau di prosentase, (anggaran pendidikan) 20 persen dari APBN ada sekitar Rp 500 triliun.Walaupun masih terlihat (anggaran pendidikan sebarannya) tidak merata ya, untuk kita perbaiki di berbagai lini. Saya, bahkan terkadang melihat, 20 persen dana pendidikan itu apakah sudah harga mati, dibandingkan dengan kita kekurangan dana fiskal kita di dalam pengelolaan pemerintahan,” jelas Effendi MS Simbolon.

“Padahal, kalau melihat anggaran pertahanan kita (masih kurang), itu setara dengan 0,7 persen dari PDB. Jadi memang skala prioritasnya itu dari pemerintah luar biasa besarnya anggaran untuk pendidikan. Kita melihat dari sisi kementerian, masih banyak carut-marut di Kemenristek Dikti dan Kemendikbud, masih banyak yang melakukan praktek pungli dalam meraih jabatan tertentu, dan terbuka sekali praktek itu. Untuk jadi calon Rektor harus setor sekian miliar. Artinya dengan anggaran yang sangat besar ini, kita lupa melakukan kontrol,” ungkapnya.

Ia menandaskan, hal ini tidak linier dengan sistem mental dan moral. Sebaik apapun sistem, semua terpulang pada nakhodanya. Sebagai politisi, ia merasa prihatin dalam satu perahu, tapi kita ingin ada suatu keterbukaan dalam sistem pengelolaan sistem pendidikan nasional kita, baik di tingkat Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi.

“Gaji guru di Jakarta, hampir setara dengan gaji pejabat eselon di daerah, maka orang berjubel di Jakarta. Belum lagi dia dapat sampingannya dengan mengajar les yang diluar jam sekolah. Bagaimana dengan di daerah, kesejahteraannya tentu tidak merata,” ucapnya.

Semnatara itu, CEO Aku Pintar, Luvianto Febri Handoko, menyampaikan, Integrity Development Flexibililty (IDF) – Tim Psikolog Pendidikan- menyebutkan, bahwa lebih dari 87 persen pelajar atau mahasiswa banyak yang salah jurusan dalam menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Hal itu disebabkan karena ada saran dari orang tua dan merasa cocok cita-citanya disaat masih kecil serta berasumsi bahwa di jurusan yang dipilih, gampang mencari kerja.

Sehingga, banyak ditingkat mahasiswa, yang sadar, sehingga dia mengulang lagi kuliahnya, dengan pilihan jurusan lain, dan keluar dari jurusan yang dia pilih sebelumnya. Akibatnya banyak waktu dan dana yang terbuang sia-sia karena harus mengulang kuliah dari awal.
Data selanjutnya data dari ICCN 2017 (Asosiasi Pusat Karir Indonesia), menyebutkan, lebih dari 71,7 persen pekerja tidak memiliki profesi linier dengan apa yang di pelajari di kampusnya.

“Jadi permasalahannya ada di bagian perencanaan,” ujarnya.

Menurutnya, anak-anak muda sekarang dari generasi milenial sangat potensial, tinggal bagaimana kita dari regulator dan industri untuk duduk bersama mendoronga mereka agar out putnya mereka sesuai dengan harapan industri, termasuk dengan para pendidiknya.

Kasubdit Penyelarasan Kejuruan dan Kerja sama Industri Pembinaan SMKK, Kemendikbud, Saryadi, Kemendikbud telah berupaya untuk menginformasikan jauh-jauh hari manakala siswa mengikuti kegiatan di sekolah untuk masing-masing keahlian potensi karir yang nanti dapat diambil ketika lulus dari sekolah, dimana ditawarkan keahlian dalam bidang teknologi dan manajemen.

“Jadi anggaran pendidikan Rp 500 triliun itu adalah anggaran fungsi pendidikan, bukan anggaran Kemendikbud. Untuk Kemendikbud hanya Rp 40 triliun. Jadi angka Rp 500 triliun tadi, dua per tiganya ada di Pemerintah Daerah. Nah yang sepertiga, itu dibagi dalam 20 kementerian yang menjalankan fungsi pendidikan,” ujarnya.

Sementara, Anggota DPR F-PDI-Perjuangan, Effendi MS Simbolon, menimpali pernyataan dari Kemendikbud tersebut. Menurutnya, anggaran pendidikan sebesar 20 persen tersebut haris bisa dipertanggung jawabkan dengan audit terbuka, bukan audit kinerja, tapi audit tunggal dengan tujuan tertentu agar sesuai dengan linier capaian yang diharapkan. Karena masih banyak kurang pemerataan kesejahteraan dan peningkatan kualitas pendidikan.

“Sepanjang kita tidak mau melakukan koreksi, (pendidikan) kita akan berjalan seperti ini terus,” katanya.

Talkshow ini di pandu oleh moderator, Margi Syarif (MNC Trijaya FM) dengan Produser Akmal Irawan dari MNC Trijaya FM. (MRZ)