Beranda Home Pemilu Berkualitas, Proporsional Terbuka atau Tertutup?

Pemilu Berkualitas, Proporsional Terbuka atau Tertutup?

0

Oleh: Luthfi Hasanal Bolqiah

(Direktur Lembaga Kajian Strategis Sarekat Demokrasi Indonesia)

Jakarta- “MK (Mahkamah Konstitusi) akan memutuskan pemilu legislatif kembali ke sistem proporsional tertutup” Kata Pakar Hukum Denny Indrayana setelah mendapatkan informasi penting di Minggu Pagi 28 Mei 2023. Sebelumnya Yusri Ihza Mahendra sempat mengungkapkan persoalan sistem proporsional terbuka pada Sidang Uji Materi di MK. Pada bulan Februari lalu saya juga merespon klaim demokrasi mundur jika sistem kembali menjadi sistem proporsional tertutup di kolom IDNTimes.

Desain proporsional baik terbuka maupun tertutup pada dasarnya adalah varian dari sistem pemilu yang demokratis. Selain itu ada banyak rekayasa pemilu (electoral engineering) lainnya yang berkontribusi pada kualitas demokrasi seperti threshold, balloting, perhitungan suara dan yang lainnya. Tujuan dari seluruh rekayasa desain pemilu bertujuan mewujudkan rezim demokratis yang memuat nilai partisipasi, persaingan dan kebebasan. Sedangkan sistem proporsional dimaksudkan untuk menghindari hasil-hasil anomali dalam sistem pluralitas/mayoritas dan menghasilkan badan legislatif yang representatif. Kekurangan sistem ini umumnya karena fragmentasi yang terjadi mendestabilisasi sistem partai.

Adapun proporsional tertutup kendati dapat menguatkan posisi partai untuk memastikan anggota yang terpilih dapat berkualitas namun cenderung mengarah pada hubungan yang lemah antara anggota legislatif terpilih dengan konstituen. Sedangkan proporsional terbuka dimaksudkan untuk mendekatkan anggota terpilih dengan konstituennya. Namun alih-alih membalas jasa konstituen, anggota legislatif terpilih justru bertransaksi jangka pendek atau “sekali-putus”. Riset klientelisme di Indonesia banyak menggambarkan transaksi politik uang maupun praktik pork barrel. Masalahnya semakin kompleks karena sejak awal kandidasi justru melibatkan mahar politik (lihat buku Democracy For Sale yang ditulis Aspinall & Berenschot). Hasilnya, anggota terpilih tidak berhutang pada konstituen maupun pada partai politik dengan begitu orientasinya adalah pemenuhan hasrat pribadi.

Oleh karenanya untuk mencapai pemilu yang berkualitas dan menghasilkan anggota dewan yang proporsional harus keluar dari perdebatan proporsional tertutup dan terbuka. Sejauh aturan pendirian partai yang memberatkan dan adanya threshold yang menyulitkan, maka tidak ada bedanya proporsional tertutup ataupun terbuka. Syarat pendirian partai dalam UU No. 2/2011 jelas-jelas menguntungkan partai lama untuk memonopoli alternatif pilihan bagi masyarakat. Dengan sistem tersebut, proporsional tertutup sekalipun tidak dapat memenuhi prinsip representatif dan persaingan. Selain beratnya pendirian partai baru, kesulitan lainnya adalah masuk parlemen mensyaratkan ambang batas minimal. Hal ini membuat partai lama sekalipun mengambil keuntungan dari proporsional terbuka dengan mengajukan kandidat yang memiliki popularitas terutama petahana.

Misalnya menjelang pemilu 2024 kita melihat banyak petahana dan calon kepala daerah ikut serta lebih dahulu pada pencalonan legislatif untuk mendapatkan kenaikan suara partai politik, selain mengamankan posisinya jika tidak diusung partai dalam pencalonan kepala daerah. Pada saat yang sama pendirian partai memerlukan biaya yang sangat besar untuk memenuhi syarat struktural di 100% provinsi, 75% Kabupaten/Kota dan 50% di kecamatan. Agak aneh jika tujuan pemilu adalah representasi tetapi setiap partai mesti ada di semua provinsi atau di ¾ provinsi.

Alih-alih berdebat tentang proporsional terbuka dan tertutup dengan klaim demokrasi, elit politik justru diam-diam menikmati keuntungan dari ambang batas, sistem kepartaian dan aturan lainnya. Publik sekedar dipaksa untuk mengidentifikasi politisi pro demokrasi dan politisi anti demokrasi hanya untuk kepentingan elektoral saja bukan pendidikan politik.