Home
Menyongsong Dua Tahun UPG Tangsel
Oleh: Arif Wahyudi, ME., AK., CA. – Dosen Pendidikan Anti Korupsi PKN STAN*)
Inuriidu illal ishlah mastatho’tu
Gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.
Dalam budaya ketimuran, banyak kalangan memandang praktek saling memberi hadiah (gratifikasi) adalah wajar. Praktek itu diyakini akan menumbuhkan rasa saling sayang, saling bantu yang membuat pekerjaan lebih lancar. Namun, satu ujung gratifikasi yang dikhawatirkan adalah terjadinya kolusi untuk korupsi.
Pakar membedakan suap dan gratifikasi dari ada tidaknya kesepakatan (konsensus atau meeting of mind). Dalam suap, kesepakatan ada ketika dilakukan transaksi, sehingga niat jahat sudah ada pada saat itu. Lain halnya dengan gratifikasi; tidak ada konsensus ketika pemberian terjadi. Niat jahat baru dianggap muncul ketika penerima tidak melaporkan pemberian tersebut ke KPK dalam waktu 30 hari.
Gratifikasidikatakan sebagai akar dari korupsi. Hadiah demi hadiah yang diterima membuat hati dan ketegasan pejabat terbeli. Pada suatu saat, Sang Pemberi akan mengambil manfaat dari Sang Pejabat untuk melakukan tindak koruptif. Hukuman untuk pelaku gratifikasi lebih berat dibandingkan untuk pelaku suap.
Dalam pengendalian praktek gratifikasi, KPK membentuk Direktorat Gratifikasi, yang menampung laporan gratifikasi sekaligus memproses hingga memutuskan status gratifikasi tersebut.
KPKmendorong Kementerian, Lembaga, dan Organisasi Pemerintah untuk membentuk UPG (Unit Pengendalian Gratifikasi) untuk mensosialisasi sekaligus memproses pelaporan gratifikasi. Pemkot Tangerang Selatan sekitar dua tahun yang lalu sudah membentuk UPG (Unit Pengendalian Gratifikasi) berdasarkan Keputusan Walikota (Kepwal) Tangsel no 700/kep.188-huk/2015 Tentang Pembentukan Unit Pengendalian Gratifikasi (UPG) tanggal 13 November 2015. UPG Kota Tangerang Selatan terdiri dari 17 anggota, yang terdiri 15 dari Inspektorat 2 dari Badan Kepegawaian Pendidikan dan Pelatihan (BKPP) serta Bagian Hukum Setda Tangerang Selatan.
Pada saat itu ada kalangan yang optimis UPG akan efektif bekerja meredam gratifikasi khususnya dan korupsi secara umum, namun ada kalangan yang pesimis mengingat unsur dalam UPG seluruhnya adalah birokrat.
Di bulan Maret 2016, diberitakan bahwa belum ada satu pun laporan masyarakat dan pejabat terkait gratifikasi yang masuk ke UPG. Dua kotak pengaduan yang dipasang di Balaikota dan di kantor Inspektorat Daerah kosong. UPG menjelaskan sesuai mekanisme setiap bulan sekali surat aduan yang berasal dari masyarakat, atau laporan dari pejabat yang menerima pemberian dari seseorang dikumpulkan untuk dilaporkan ke KPK sebagai upaya pencegahan.
Kosongnya kotak pengaduan UPG menjadi sorotan LSM. Kurang sadar dan masih memandang lumrah praktek gratifikasi dituding sebagai penyebab tidak adanya Pejabat/PNS yang melaporkan gratifikasi. Sorotan yang lain adalah UPG harus mempublikasi laporan masyarakat yang masuk secara transparan, sehingga dapat diketahui progressnya.
Disamping itu, Pelapor juga harus dilindungi.
Setelah pemberitaan di atas, UPG Tangerang Selatan tidak muncul di jagad pemberitaan.
Di sisi lain, pemberitaan tentang koruptifnya Tangerang Selatan sempat beberapa kali muncul di media. Di bulan April 2017, KPK menyatakan Konspirasi Korupsi di Tangerang Selatan Gila-gilaan, dan kemudian di bulan Agustus beberapa penyidik KPK datang ke Balaikota untuk Pengumpulan Bukti dan Keterangan (Pulbuket).
Seorang pejabat Pemkot Tangerang Selatan terpantau beberapa kali mengunggah testimoninya di media sosial tentang koruptifnya Pemkot Tangerang Selatan. Yang bersangkutan adalah whistle blower yang perlu digali informasinya untuk perbaikan birokrasi, bukan malah di bully.
Simpulan dan Saran
Mencermati dinamika pemberitaan, patut diduga praktek korupsi subur di Pemkot Tangerang Selatan. Gratifikasi yang lebih halus namun lebih berbahaya dibanding suap juga patut diduga subur di birokrasi. Kotak Pengaduan yang dibuat Pemkot adalah metode yang ketinggalan zaman, dan terbukti tidak efektif. Tidak adanya pengaduan yang masuk tidak bisa diklaim bahwa gratifikasi tidak ada. Mungkin PNS/Pejabat masih memandang wajar gratifikasi, sehingga tidak melaporkannya. Toh tidak pernah ada tindakan untuk praktek menerima gratifikasi di Pemkot Tangerang Selatan.
Disisi lain, masyarakat mungkin belum mendapatan sosialisasi dan masih enggan melaporkan karena tidak adanya jaminan kerahasiaan dan keamanan.
Apabila Pemkot Tangerang Selatan serius menginginkan UPG nya efektif, Penulis menyarankan untuk menengok model whistle blower system nya Kementerian Keuangan di https://www.wise.kemenkeu.go.id/. Salah satu kekuatan dalam WISE ini adalah data pelapor anonim, dan fokus pada substansi laporan. Seorang Pejabat Kementerian Keuangan yang tinggal di Tangerang Selatan pernah menyatakan kesiapannya untuk membantu Pemkot Tangerang Selatan meng-customisasi WISE tersebut.
Sambil menunggu WISE nya Pemkot Tangerang Selatan, dengan ini Penulis mengajak Pembaca untuk melakukan eksperimen sosial. Apabila ada Pembaca yang menghadapi permintaan dan terpaksa memberikan gratifikasi, silakan kirim data yang mencakup tentang APA, DIMANA, KAPAN, SIAPA, dan BAGAIMANA ke alamat email dan nomor WA di bawah ini. Kita akan melihat seperti apa dampak eksperimen sosial ini.
*) pendapat pribadi – arifwahyudi1968@gmail.com dan 0812.888.92641
