Oleh: Denny JA, LSI.
Setiap peristiwa besar selalu melahirkan hikmah. Ada mutiara. Ada makna. Ada pelajaran.
Apa yang bisa kita petik dari peristiwa pilkada 2018 yang baru saja selesai? Pilkada 2018 jelaslah peristiwa besar karena secara serentak 171 wilayah memilih pemimpin. Di antaranya, 17 provinsi bertarung 17 calon gubernur.
Hikmah apa yang bisa kita renungkan dari pilkada serentak? Empat hikmah ini semoga berguna.
Pertama, ini momen kita menguji lembaga survei. KPU secara resmi akan umumkan pemenang pilkada sekitar 9 Juli 2018. Pengumuman pemenang akan diketahui publik secara resmi, kurang lebih, 14 hari setelah hari pencoblosan.
Tapi aneka lembaga survei sudah mengumumkan pemenang pilkada hanya 3-5 jam hari itu juga, hari pencoblosan. Peradaban berdasarkan ilmu pengetahuan sudah menemukan Quick Count. Lembaga survei mendaya gunakan Quick Count.
Jika pengumuman KPU berdasarkan real count suara total populasi pemilih, Quick Count hanya bekerja berdasarkan sampel saja, yang dipilih secara metodologis. Karena itu Quick Count bisa lebih cepat.
LSI Denny JA sendiri misalnya sudah mengumumkan tak hanya siapa pemenang di 10 provinsi. Diumumkan pula persentase kemenangan sang gubernur terpilih. Bahkan diumumkan pula persentase Golput di wilayah itu.
Pengumuman quick count LSI Denny JA sudah dipublikasi lewat media konvesional, TV, koran, radio. Juga itu diumumkan lewat akun twitter dan facebook DennyJA_World. Cukup kita mengetik di mesin pencari Google, data itu ditemukan.
Lembaga survei lain juga mengerjakan hal yang sama.
Uji kesahihan lembaga survei adalah pengumuman quick count. Itu adalah uji validitas metode riset, seberapa benar sampel bisa digeneralisasi. Seberapa benar 250 TPS yang digunakan quick count biswa mewakili 70 ribu TPS misalnya. Di samping uji ilmu pengetahuan, itu juga uji manajemen. Seberapa rapih lembaga quick count mengeksekusi prinsip ilmu pengetahuan dalam dunia nyata.
LSI Denny JA sendiri sudah mengerjakan lebih dari 250 quick count. Ini jumlah terbanyak quick count yang pernah dibuat oleh lembaga survei. Dibandingkan lembaga survei lain yang kini eksis melakukan Quck Count, LSI Denny JA memang yang paling senior.
Rekor menunjukkan tak pernah sekalipun klaim kemenangan Quick Count LSI Denny JA yang meleset, yang berbeda dengan hasil KPUD. Sekali lagi, alhamdulilah, tak pernah sekalipun LSI Denny JA meleset, salah dalam mengumumkan pemenang.
Bahkan di tahun 2010, di Kabupaten Sumbawa, LSI Denny JA mencatat selisih paling kecil dalam sejarah Quick Count dibanding hasil KPUD. Selisihnya 0,00 persen. Alias sama persis. Rekor ini sudah diverifikasi pihak ketiga, melalui Rekor MURI. Rekor ini mustahil bisa dilampaui lagi karena selisih 0,00 persen adalah selisih terkecil.
Kita tunggu bersama pengumuman resmi KPUD mengenai hasil pilkada 9 Juli 2018, sekitar 9 hari dari sekarang. Silahkan dibandingkan dengan hasil Quick Count Denny JA di 10 provinsi, soal siapa yang menang, persentase kemenangan, bahkan persentase golput.
Inilah cara paling sahih menguji kredibilitas lembaga survei melalui quick count.
-000-
Bagaimana dengan akurasi pengumuman survei opini publik? Bagaimana menjelaskan hasil survei yang kadang berbeda dengan hasil resmi KPUD?
Ini hikmah yang kedua. Perlu kita pahami realitas survei opini publik dalam hubungannya dengan hukum besi perilaku pemilih.
Survei di Indonesia umumnya dilakukan paling baru adalah seminggu hingga dua minggu sebelum hari pencoblosan. Tak ada survei yang dilakukan di hari pencoblosan kecuali Exit Pool.
Selalu ada waktu yang tak lagi terpantau oleh lembaga survei. Itu adalah perubahan suara di tiga hari tenang plus hari setelah survei terakhir selesai. Padahal itulah hari yang masih memungkinkan mobilisasi dukungan secara nyata (lewat sosial media) ataupun gerilya bawah tanah (door to door, lewat jaringan, mulut ke mulut), dan sebagainya.
Bahkan dalam survei terakhir tetap tersisa jumlah pemilih yang belum menentukan pilihan. Jumlah mereka acapkali sekitar 10 persen hingga 30 persen, tergantung situasi. Mereka yang belum menentukan pilihan itu kadang baru menentukan pilihan di hari tenang, atau bahkan di menit ketika masuk TPS. Ini pula yang yang tak terpantau lagi oleh hasil survei.
Jumlah Golput dan siapa yang golput itu variabel lain yang tak terpantau oleh survei. Karena keterbatasan ilmu pengetahuan, survei selalu berangkat dengan mengandaikan 100 persen pemilih datang ke TPS.
Jika Golput terjadi secara proposional: persentase yang Golput dari setiap kandidat itu sama banyak secara proporsional, golput tak akan mempengaruhi hasil akhir. Tapi selalu mungkin persentase golput dari calon tertentu jauh lebih banyak.
Pastilah golput yang tak proporsional itu akan mengubah hasil. Misalnya apa artinya si A menang di survei, tapi ternyata 30 persen pendukungnya golput? 30 persen pendukung A yang terekam dalam survei pasti tidak masuk dalam perhitungan suara yang sah di TPS.
Jumlah Golput dalam pemilu Indonesia sekitar 25 persen hingga 50 persen. Ini jumlah yang sangat banyak yang bisa mengubah hasil.
Hal lain yang bisa membedakan survei dan hasil KPUD adalah pendukung yang goyah. Dalam komunitas pendukung, ada pendukung yang militan, ada pendukung yang goyah. Jumlah pendukung yang goyah ini umumnya sekitar 30 persen.
Di menit terakhir karena banyak kemungkinan, pendukung yang goyah bisa berubah haluan. Tentu itu mengubah pula hasil survei.
Ringkasnya ini 4 penyebab hasil survei, kapanpun dan dimanapun bisa berbeda dengan hasil KPUD: ada waktu akhir yang tak lagi terpantau oleh survei, hadirnya pemilih yang belum tentukan dukungan bahkan ketika disurvei paling akhir, pendukung yang golput sehingga tak terhitung, dan berubahnya dukungan pemilih yang ragu.
Empat variabel itu membedakan survei dengan quick count. Dalam quick count, 4 hal di atas tak ada karena quick count mengambil perhitungan resmi yang sudah sah di TPS.
Namun sekali lagi dari 100 persen survei lembaga kredibel (yang bisa diuji dari hasil quick count lembaga itu), survei akhir yang berbeda dengan hasil KPUD atau KPU mungkin hanya 10 persen kasus saja. Hasil survei akhir lembaga kredibel soal pemenang (survei paling lama berjarak 10 hari dari hari pencoblosan), umumnya 90 persen berlaku, sama dengan hasil KPUD/KPU.
Dan ini yang penting. Kita tak punya metode ilmiah yang lain. Survei (tentu yang berasal dari lembaga kredibel) tetap menjadi “educated guess” yang paling bisa dipercaya. Lawan dari survei hanyalah feeling, perasaan, dugaan, yang jauh lebih besar kemungkinan salahnya.
-000-
Hikmah ketiga: Kemenangan Partai di Pilkada/ Pemilu, benarkah?
Ini hikmah ketiga yang perlu kita pahami. Yang menang dalam pilkada itu adalah kandidat atau tokoh yang bertarung, bukan partai pengusungnya. Kemenangan pemimpin itu tak bisa diterjemahkan sebagai kemenangan partai pengusungnya.
Mengapa? Jawabnya: hukum perilaku pemilih. Mereka berbondong bondong datang ke TPS dan mencoblos itu 70-90 persen karena ingin memenangkan tokoh favorit, bukan partai pengusung sang tokoh. Jikapun ada sebab utama mendukung calon karena mendukung partai pengusung, persentasenya sangat tidak signifikan.
Kita bandingkan data saja. Cukup ambil kasus 17 pilkada provinsi 2018, yang baru selesai. Lihat saja data quick count lembaga survei, atau data real count KPUD yang hasilnya sudah di atas 90 persen.
Partai yang paling banyak calon diusungnya yang menang, justru partai kecil seperi Nasdem dan PAN. Termasuk partai yang paling sedikit calon diusungnya menang adalah PDIP.
Tapi coba cek data lain. Partai mana yang akan dipilih dalam Pileg 2019? PAN atau Nasdem termasuk partai yang “ngeri-ngeri sedap.” Dukungan sementara partai itu tetap di persentase kritis antara lolos threshold 4 persen atau tidak. Partai yang paling banyak dipilih untuk pileg 2019, tetap PDIP yang justru termasuk paling sedikit kemenangan cagub yang diusung.
Hikmah ketiga ini penting agar kita tak salah mengembangkan fantasi dan fiksi. Bahwa pemenang pilkada adalah sang calon yang bertarung itu sendiri. Pemenang pilkada bukan, bukan, bukan (tiga kali bukan), partai pengusungnya.
-000-
Hikmah keempat: kemenangan pilkada tak pula berhubungan signifikan bahwa capres tertentu menguat atau melemah.
Menang atau tidaknya capres tak pernah tergantung dari seberapa banyak kepala daerah yang mendukungnya. Jumlah kepala daerah (gubernur plus walikota plus bupati) paling banyak 600 orang saja. Sementara total pemilih ada 180 juta.
Pemilih cukup independen soal capres. Ia tak serta merta ikut instruksi kepala daerahnya!
Cukup kita mengujinya dengan data. Di tahun 2004, saya mendampingi SBY melawan Megawati yang saat itu sudah menjadi presiden, dan partainya PDIP adalah partai besar.
Saat itu partai yang dikendalikan SBY, partai demokrat, itu partai baru yang perolehan dukungannya dalam pemilu 2004 hanya 7, 45 persen saja. Sebagai capres pun, SBY didukung hanya oleh koalisi partai kecil partai bulan bintang dan PKPI.
Karena demokrat partai baru, di tahun 2004, tak ada satupun gubernur yang menjabat sebelumnya yang menang karena diusung oleh demokrat. Tak ada satu walikota atau satu bupati pun saat itu yang menjabat karena diusung oleh partai demokrat. Pilkada langsung juga baru dilaksanakan di tahun 2005.
Yang dilawan SBY adalah Megawati, putri Bung Karno pendiri Indonesia. Megawati juga tengah menjadi presiden. PDIP juga partai besar.
Ketika LSI memprediksi SBY akan mengalahkan Megawati, LSI menjadi bahan guyonan. Tak ada yang percaya kecuali SBY dan team serta sekelompok kecil masyarakat saja.
Yang terjadi, di tahun 2004, SBY mengalahkan Megawati, bahkan dengan selisih 20 persen. SBY tak hanya menang, tapi menang telak!!
Mengapa? Ini hikmah keempat soal pikada. Pemilu presiden juga berbeda dengan pilkada. Menang atau kalahnya calon presiden, berkaca dari kasus tahun 2004, tidak ditentukan oleh seberapa besar partai pendukungnya. Tidak juga ia ditentukan oleh seberapa banyak gubernur atau walikota atau bupati yang mendukungnya.
Di tahun 2004, pastilah lebih banyak gubernur dan bupati yang mendukung Megawati (dan partai koalisinya: PDIP plus Golkar selaku pemenang pemilu saat itu) ketimbang mendukung SBY (dan partai koalisinya: Demokrat, PBB, PKPI).
Menang atau tidaknya capres ditentukan oleh hal lain yang lebih besar. Karena itu kita jangan pula mengembangkan fantasi dan fiksi, bahwa capres yang didukung oleh jumlah kepala daerah terbanyak akan menang.
Menang atau tidaknya capres memiliki hukum besi sendiri. Beruntunglah saya mengetahui hukum besi itu. Pengetahuan itu menjadi modal saya selalu konsultan politik ikut memenangkan semua pemilih presiden langsung yang pernah terjadi di Indonesia (2004, 2009, 2014).
Apa saja hukum besi yang menentukan menang tidaknya capres? Nantikan tulisan selanjutnya. (*)
Link: https://www.facebook.com/322283467867809/posts/1682969525132523/