Oleh : Jumaedi Ahcmad Abdullah (Bendahara PWI Tangsel Periode 2017-2020)
Sejak penyelenggaraan pemilu pertama di Indonesia, upaya menghadirkan demokrasi yang berkualitas dan berintegritas telah dimulai. Secara normatif prinsip-prinsip penyelenggaraan pemilu yang berlandaskan pada kejujuran, kerahasian, ketenangan dan langsung telah dijamin. Hal ini menujukkan bahwa Negara sejak awal telah memiliki keinginan yang kuat untuk memfasilitasi rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi agar dapat menggunakan hak politiknya dalam suasana yang kondusif.
Dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, sejak awal kemerdekaan hingga masa sekarang, Indonesia telah mengalami beberapa kali periodisasi mulai dari demokrasi liberal hingga demokrasi reformasi. Indonesia sendiri mengalami pembaharuan politik mendasar sejak tahun 1998, menandai berakhirnya dua bentuk sistem pemerintahan yang otoriter sebelumnya yaitu Orde Lama dan Orde Baru. Komitmen bangsa Indonesia untuk mewujudkan demokratisasi sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945, dalam pelaksanaannya mengalami berbagai tantangan. Meskipun berdasarkan UndangUndang Dasar 1945, kehidupan politik Indonesia menganut asas kedaulatan rakyat, tetapi pelaksanaan sistem yang otoriter pada masa Orde Lama dan Orde Baru telah mengubur prinsip kedaulatan rakyat secara substantif.
Demokrasi menempati posisi vital dalam kaitannya pembagian kekuasaan dalam suatu negara (umumnya berdasarkan konsep dan prinsip trias politica) dengan kekuasaan negara yang diperoleh dari rakyat juga harus digunakan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.Prinsip semacam trias politica ini menjadi sangat penting untuk diperhitungkan ketika fakta-fakta sejarah mencatat kekuasaan pemerintah (eksekutif) yang begitu besar ternyata tidak mampu untuk membentuk masyarakat yang adil dan beradab, bahkan kekuasaan pemerintah yang absolut seringkali menimbulkan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia. Selain itu ada beberapa sistem- sistem politik yang pernah diterapkan di Indonesia ternyata tidak mencerminkan sistem politik yang demokratis seperti sentralisasi politik. Sehinnga tidak dapat terciptanya pemilu yang bermakna dan berkualitas
Makna pemilu berkualitas dan berintegritas pada dasarnya telah terangkum dalam pengertian pemilu demokratis yang mensyaratkan minimal dua hal yakni bebas dan adil atau free and fair election. Namun perkembangan demokrasi yang sangat dinamis, membuat banyak pihak tidak puas dengan dua kriteria demokrasi tersebut.
Indonesia sebagai salah satu Negara demokrasi terbesar di dunia telah menetapkan enam ukuran pemilu yang demokratis yakni langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Hal itu termuat dalam pasal 22E ayat 1 Undang Undang Dasar 1945. Undang Undang Pemilu dan Penyelenggara Pemilu yang menjadi turunannya kemudian menambah beberapa keriteria lagi seperti transparan, akuntabel, tertib dan profesional.
Dalam mengimplementasikan enam asas penyelenggaraan pemilu tersebut, Indonesia pascareformasi telah melakukan sejumlah perbaikan mulai dari perbaikan sistem pemilu (electoral system), tata kelola pemilu (electoral process) dan penegakan hukum pemilu (electoral law).
Perbaikan Sistem
Perbaikan diawali dengan menghapus unsur TNI/Polri dari parlemen. Hal ini sejalan dengan prinsip keterwakilan yang harus diperoleh melalui proses pemilihan. Berbeda dengan TNI/Polri yang sejak orde baru diberikan kuota kursi di parlemen tanpa melalui proses pemilu.
Sistem dwi partai yang berlaku selama orde baru berganti menjadi sistem multipartai. Setiap warga Negara diberikan kesempatan untuk mendirikan partai politik. Untuk mendapatkan status badan hukum, setiap parpol wajib mengikuti verifikasi di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Sementara untuk menjadi peserta pemilu wajib mengikuti verifikasi di Komisi Pemilihan Umum. Parpol yang lolos verifikasi di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dan KPU otomatis dapat menjadi peserta pemilu.
Masih dalam aspek sistem, Indonesia juga melakukan koreksi terhadap sistem proporsional dengan daftar tertutup atau closed list yang telah berlaku di Indonesia sejak pemilu 1955 sampai pemilu 2004. Sejak pemilu 2009 diberlakukan sistem proporsional daftar terbuka atau open list, sistem tersebut masih diterapkan hinga kini. Dengan demikian otoritas partai untuk menentukan kandidat terpilih berdasarkan nomor urut digeser menjadi otoritas rakyat berdasarkan suara terbanyak.
Tata Keloal Pemilu
Peningkatan kualitas tata kelola pemilu merupakan tugas berkelanjutan para penyelenggara pemilu. Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu lebih khusus menegaskan KPU menjalankan tugasnya secara berkesinambungan. Artinya, pergantian kepemimpinan KPU tidak memutus rangkaian pelaksanaan tugas kelembagaan mereka. Keberlanjutan tersebut menjamin bukan semata pemilu diselenggarakan secara periodik setiap lima tahun sekali, melainkan juga menjaga secara simultan perbaikan proses dan hasil pemilu. Hanya dengan begitu, administrasi kepemiluan tidak diletakkan secara terpisah dari persoalan kualitas demokrasi yang diharapkan terkonsolidasi setelah penyelenggaraan lima pemilu terakhir. Patut menjadi sorotan bahwa terdapat relasi antara semakin rumit dan mahal pemilu jika dibandingkan dengan semakin rentan demokrasi Indonesia.
Menyimak bertahannya korupsi politik dan polarisasi sosial, misalnya, kita paham bahwa selain isu efisiensi administrasi, pemilu kita mengidap masalah lebih kompleks. Suatu reformasi elektoral kiranya menjadi langkah lanjut penyembuhan yang dibutuhkan. Kita coba membayangkan bahwa reformasi elektoral akan merupakan suatu jalan panjang perbaikan berbagai aspek dalam pemilu yang berkontribusi pembangunan demokrasi. Langkah awal reformasi tersebut dapat dimulai dari perbaikan tata kelola pemilu. Selain turut menentukan legitimasi pemilu, aspek manajerial itu juga memengaruhi dampak yang dihasilkan pilihan politik masyarakat.
Penegakan Hukum Pemilu
Pemilihan umum merupakan instrumen penting untuk menuju negara yang demokratis. Mengukur demokratis atau tidaknya penyelenggaraan pemilu, harus mengacu pada standar Internasional pemilu demokratis yang berjumlah 15 point. Standar tersebut merupakan batasan minimal yang harus terpenuhi agar sebuah penyelenggaraan Pemilu disuatu negara termasuk Indonesia bisa dianggap demokratis.
Salah satu prinsip utama dari demokrasi adalah partisipasi masyarakat dalam demokrasi. Masyarakat pada nyatanya memiliki kekuatan besar dalam melakukan perubahan sosial, dengan syarat ditopang pada kesadaran kritis akan permasalah sosial yang terjadi. Pemilu bukanlah proses lima tahunan yang hanya datang ke TPS dan memberikan hak suara, namun pemilu harus dipandang lebih jauh untuk melakukan intervensi sosial yang dilakukan masyarakat untuk mengubah permasalahan sosial yang terjadi. Salah satu bentuk intervensi sosial yang dilakukan masyarakat adalah melakukan proses penegakan hukum pemilu terhadap pelanggaran yang terjadi demi terwujudnya keadilan pemilu
Sejatinya pemilu merupakan rangkaian empiris dari partisipasi politik publik secara lebih luas. Sejatinya pula pemilu menjadi penanda penting apakah sebuah negara sudah mampu dijalankan secara demokratis atau tidak. Pemilu adalah takdir penentu bagi institusionalisasi hak-hak rakyat secara konstitusional. Bahwa pemilu adalah bagian dari dinamika politik berorientasi kekuasaan, halter sebut tidak lantas menjadikan pemilu hanya menjadi alat demi mencapai kekuasaan. Karena itu, meski secara praksis pemilu menjadi jalan bagi siapa pun dan kelompok politik manapun berkuasa, tetapi secara prinsip implementatif pemilu membutuhkan reorientasi, secara struktural maupun fungsional.
Di dalam proses penyelenggaraan pemilu, tidak selamanya proses penyelenggaraan pemilu berjalan dengan lancer. Berbagai masalah dan hambatan dalam penyelenggaraan pemilu baik yang terjadi saat pemilu berlangsung maupun sebelumnya merupakan permasalahan yang tentunya akan berdampak luas jika tidak segera diselesaikan dengan baik. Adanya permasalahan dalam penyelenggaran pemilu yang berkaitan dengan ketidakpuasan terhadap keputusan penyelenggara pemilu atau pelanggaran pidana maupun administratif yang mempengaruhi hasil, itulah yang lazim disebut dengan sengketa pemilu.
Sengketa dalam penyelenggaraan pemilu sesungguhnya merupakan pelanggaran administrasi pemilu atau ketidakpuasan terhadap keputusan penyelenggara pemilu (Topo Santoso, 2011). Agar sengketa pemilu tersebut tidak menggangu jalannya sistem ketatanegaraan atau sistem pemerintahan dari suatu negara atau wilayah tertentu, peristiwa maraknya pelanggaran pemilu baik yang belum berlangsung maupun yang sudah cukup banyak ditemukan, namun dalam prakteknya mereka kebanykan masih berlindung dibawah naungan peraturan yang mengatur objek yang sama. Maka dari itu diperlukan suatu mekanisme penyelesaian sengketa pemilu yang efektif serta dapat memberikan keputusan yang adil bagi pihak yang berkepentingan. Kerangka hukum pemilu harus mengatur mekanisme dan penyelesaian permasalahan hukum penyelenggaraan pemilu lebih efektif. Tujuannya memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaan pemilu, sehingga keadilan bagi seluruh pihak dapat terpenuhi.