Kegiatan bedah buku dalam rangka persiapan launching novel berjudul “BAIAT CINTA di Tanah Baduy” karya Uten Sutendy, digelar sang penulis di kantor Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kota Tangerang Selatan, komplek BSD Serpong.
Dalam kesempatan tersebut, Uten Sutendy menjelaskan sebelum melaksanakan kegiatan, pihaknya sudah bersilaturahmi dan berdiskusi terlebih dulu dengan Ketua Umum PWI Pusat Margiono.
Menurut Uten, setelah beberapa saat membaca isi novel, Margiono memberikan pandangan dan arahan bahwa novel karyanya layak untuk diekspose. “Oke, buku ini harus diekspose,” tutur Uten, menirukan pernyataan Margiono.
Dijelaskan Uten, buku yang akan dilaunching pada 18 Februari mendatang, merupakan buku kedua. Buku pertama sebagaimana dijelaskan penulis adalah Ontologi, kumpulan artikel tulisannya semasa masih aktif sebagai jurnalis tentang kearifan lokal Baduy.
“Kemudian dari buku itu, beberapa pemikiran dan nilai-nilainya, saya kemas sebagian kecilnya, dan kemudian saya eksplore sebuah roman, dalam kemasan sebuah novel. Sebahagian isi novel ini adalah kisah nyata, baik nama orang, tempat kejadian, dan kasus-kasus yang terjadi juga faktual. Namun, saya kemas menjadi sebuah cerita yang menarik supaya bisa dibaca oleh semua orang,” ungkapnya.
Uten menambahkan, dalam novel tersebut, pesan yang tersirat adalah bukan semata-mata soal bathinnya. Tetapi, Baduy hanya merupakan sebuah locus, tempat memulainya sebuah perubahan., sebuah pencerahan.
Dalam pandangannya, nilai-nilai budaya Baduy sesungguhnya sangat universal, yang bisa dipakai oleh seluruh umat manusia modern di muka bumi. “Yakni tentang bagaimana cara hidup yang benar, tentang bagaimana mencari kedamaian, tentang bagaimana menemukan kebahagiaan, dan tentang menemukan arti cinta yang sesungguhnya,” jelasnya.
Uten Sutendy melihat kenyataan semakin manusia berada di pusat-pusat keramaian, di masyarakat yang modern, maka semakin terjadi desakan dereduksi nilai-nilai, reduksi terhadap nilai-nilai kehidupan.
Ternyata yang dicari itu, menurut Uten, adalah menemukan kabahagiaan, menemukan kedamiaan melalui bagaimana hubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan Tuhan, dan manusia dengan lingkungan.
“Segi tiga itu yang diwujudkan, diimplementasikan secara konsisten oleh masyarakat Baduy. Karena itu, Baduy saya sebut sebagai Cengcelengan, tabungan, tabungan Tuhan yang masih menyisakan substansial dari pola dan cara kehidupan yang sebenarnya sedang kita cari, yakni kedamaian, kebahagiaan, dan ketenangan,” pungkas sang penulis novel. (Dwi)
Baduy sesungguhnya merupakan harta pusaka budaya dunia dalam bentukan kearifan lokal Banten. Buku tentang Baduy sangat layak untuk diperkenalkan pada dunia…selamat kepada saudara Uten Sutendy atas penerbitan buku keduanya, yang bukan saja menambah khazanah pengetahuan namun lebih dari itu bukunya dapat dijadikan rujukan bahan penelitian bagi sejarawan dunia…
Iyah Buku ini, mengingatkan kita kembali kepada siapa dan harus bagaimana untuk menyelamatkan serta menjaga bumi dari kerusakan-kerusakan yang diperbuat oleh manusia yang tak bertanggung jawab.
Mau tanya sinopsis dari novel tersebut. Mohon respon
Dimana buku tersebut dapat diperoleh?