Beranda Index ​Aksi Bela Islam dan Jati Diri Bangsa

​Aksi Bela Islam dan Jati Diri Bangsa

0

Oleh: Rian Wahyudin, Ketua Umum Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) Fakultas Adab Dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah

Genting, tegang, mencekam begitulah kira-kira stigma masyarakat Indonesia belakangan ini terhitung sejak munculnya kasus penistaan agama oleh elit pemerintahan yaitu saudara Basuki Tjahaya Purnama. Berbondong-bondong  umat Islam dari pelosok negri  berangkat ke Jakarta untuk berunjuk rasa dalam kasus tersebut. Tanggal 25 Oktober, 4 November  Dan  2 Desember menjadi agenda konkrit dalam upaya membela agama Islam dan hal inilah yang menjadi indikasi ketegangan itu.

Ketegangan itu bisa dilihat dari isu-isu yang berkembang di media massa yang satu sama lain disangkut-pautkan, misalnya  elit politik saling tuding-menuding siapakah yang sesungguhnya menunggangi aksi bela Islam demi kepentingan pilkada dki Jakarta, penangkapan 9 aktivis yang dituduh akan melakukan makar terhadap pemerintahan bapak Jokowi, unjuk rasa tandingan (parade bhineka tunggal ika 19 november dan aksi kita Indonesia tanggal 4 Desember). 

Hal itu sejatinya merupakan implikasi dari aksi bela Islam dalam kasus penistaan agama di mana masyarakat menganggap ada tokoh besar yang mengalotkan proses hukum tersebut. Hal ini segera ditepis oleh presiden dan jajarannya bahwasanya tidak ada upaya perlindungan  hukum terhadap si penista agama oleh siapa pun dan sepenuhnya kasus tersebut diserahkan kepada pihak yang berwenang. Setelah pihak kepolisian menangani kasus itu, agenda selanjutnya diserahkan kepada pihak kejaksaan agung begitu pun seterusnya sesuai alur hukum yang berlaku (mahasiswa hukum atau para pakar hukum pasti lebih faham). 

Pengguliran alur hukum itu di sisi lain justeru menebalkan kecurigaan masyarakat terhadap pemangku kebijakan hukum yang seakan-akan bertele-tele dalam menangani kasus yang bukan kasus baru ini. Kasus serupa pun sebetulnya pernah terjadi (yurisprudensi) seperti Lia Aminudin atau Lia Eden yang mengaku sebagai Imam Mahdi dan mendapat wahyu dari Malaikat Jibril tahun 2006, kasus Arswendo Amowiloto penulis yang dipenjarakan karena survei tabloid monitor pada tahun 1990 terkait tokoh pilihan pembaca yang menempatkan presiden soeharto kala itu diposisi pertama sedangkan Nabi Muhammad di posisi ke 11, kasus Hb Jassin dalam cerpennya langit makin mendung yang memuat penggambaran Allah, Nabi Muhammad dan Malaikat Jibril dan masih banyak lagi. 

Namun apa boleh buat, kasus penistaan agama yang dilakukan oleh bapak ahok tidak serta-merta disamakan dengan kasus-kasus sebelumnya terlepas teknis penistaannya yang berbeda namun secara substantifnya kata penistaan itu benar adanya. Hemat saya inilah alasan rasional mengapa aksi bela Islam  terus berkelanjutan terhitung sejak tanggal 25 oktober, 4 november dan 2 desember. Harapannya adalah menuntut keadilan hukum yang tidak tebang pilih, jangan tajam ke bawah tumpul ke atas. 

Persoalan tebang pilih hukum di negara Indonesia memang sudah menjadi topik klasik. Pakar hukum, mahasiswa hukum, elit politik, pejabat pemerintahan, pemangku kebijakan, organisasi mahasiswa (termasuk BEM), tukang nasi uduk sampai tukang sayur pun paham betul bagaimana perkembangan hukum di Indonesia yang masih pandang bulu mengingat topik itu senantiasa dikaji, diperbincangkan bahkan dipublikasikan melalui seperangkat media massa yang kian hari kian canggih adanya. Inti dari persoalan itu sebetulnya sangatlah sederhana, yaitu Penegakan hukum yang adil yang harus secepatnya dilaksanakan oleh pemerintahan demi terjaganya keutuhan NKRI dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika, dasarnya Pancasila dan payungnya UUD 1945. 

Fenomena aksi bela Islam yang berjilid-jilid merupakan konsekuensi logis dari komitmen berbangsa dan bernegara yang mengacu kepada empat pilar berbangsa dan bernegara itu sendiri yang harus dijunjung tinggi nilai-nilai falsafahnya sebagai bentuk identitas jati diri bangsa. Islam merupakan bagian dari NKRI dan Islam merupakan bagian dari perbedaan masyarakat Indonesia yang majemuk sehingga wajar saja bila Islam yang merupakan bagian dari Indonesia itu ketika ajarannya telah terciderai akan melakukan hak pembelaannya dengan cara berunjuk rasa berjamaah tanpa mengesampingkan koridor hukum yang berlaku. Dan wajar saja bila animo unjuk rasa itu terasa dari kota sampai ke pelosok desa karena mayoritas bangsa Indonesia adalah beragama Islam. 

Mengenai animo peserta aksi dengan jumlah massa yang cukup banyak dan tertib akan menjadi catatan sejarah baru dan merupakan bukti kongkret dari teori sejarah itu sendiri. Teori yang dimaksud adalah teori yang digagas oleh sejarwan muslim yaitu Ibnu Khladun (1322-1406 M) yaitu Ashabiah. Dalam pengertiannya, ashabiah merupakan suatu usaha dalam membela keluarga dari garis ayahnya sekuat dan semampunya. Namun ashabiah yang dimaksud Ibnu Khaldun dalam konteks filsafat sejarah adalah usaha pembelaan tidak hanya meliputi unsur pertalian keluarga saja melainkan jauh melampaui itu, yaitu meliputi hubungan-hubungan  yang timbul akibat terjadinya persekutuan atas dasar agama. 

Maka terlihat kontras ketika ada peristiwa penistaan agama Islam dan umatnya menggelar unjuk rasa maka  massa aksi berdatangan dari tiap pelosok desa meskipun ada beberapa usaha pencegahan dari aparat keamanan.  Ini dikarenakan adanya rasa keterikatan rasa persaudaraan yang dihubungkan atas dasar agama sebagaimana halnya dalam membela suatu keluarga yang oleh Ibnu Khaldun disebut dengan ashabiah.

Kemerdekaan sebagai Modal Awal

Sejauh analisis saya seiring beredarnya informasi pasca aksi bela Islam, urgnesinya adalah kekhawatiran pemerintah akan terancamnya keutuhan NKRI. Praduga itu sebetulnya sah-sah saja dan wajar saja toh pemerintah mempunyai kebijakan perogratif dalam menangani dan mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi melalui seperangkat institusi-institusi yang bersangkutan. 

Kekhawatiran itu sah-sah saja bahkan wajib hukumnya apabila sudah mengancam keutuhan NKRI. Mengingat untuk menjadi Indonesia itu hesé (susah) karena kita dihadirkan dengan berbagai macam tantangan, seperti tantangan geografis, aneka rupa budaya, suku bahkan rupa agama, maka tak heran apabila seorang sejarawan abad 20 Benedict Anderson menyatakan bahwa Indonesia itu merupakan komunitas yang diimajinasikan (imagined comunity). 

Tak hanya itu, tantangan memperjuangkan keutuhan NKRI pun tertuang dalam rentetan catatan sejarah pada peristiwa berdarah ketika masa-masa awal Indonesia merdeka. Pertempuran 5 hari di Semarang (15-20 Oktober 1945), pertempuran 15 Oktober 1945 di Padang, pertempuran 7 Oktober 1945 di Kota Baru, Yogyakarta, dan puncaknya adalah pertempuran 10 November 1945 Di Surabaya semuanya itu dalam rangka memepertahankan kembali kemerdekaan Indonesia dari kuasa Belanda.

Selain itu, usaha dalam mempertahankan kemerdekaan NKRI pun ditempuh melalui jalan diplomatif seperti perundingan Linggar Jati tanggal 25 Maret 1947, Renville dan KMB (Konferensi Meja Bundar) tanggal 23 Agustus-2 November 1949 di Den Haag Belanda. Dalam perundingan KMB, diputuskanlah bahwa kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 diakui oleh pihak belanda yang dimediasi oleh PBB pada tanggal 10 Desember 1949. 

Baik melalui adu fisik maupun diplomatik, usaha mempertahankan NKRI itu perlu pengorbanan yang tidak mudah. Oleh karenanya tidaklah heran jika bung karno pernah menyatakan bahwa jangan pernah sekali-kali melupakan sejarah (jas merah) karena memang setiap rentetan peristiwa masa lalu khususnya masa-masa awal merdeka itu sangatlah berharga. Oleh karenanya, Kemerdekaan itu sebetulnya bukanlah tujuan melainkan modal awal dalam menempuh dan menciptakan masyarakat adil, makmur dan sejahtera yang diridhai oleh tuhan yang maha esa. Dengan selalu komitmen dan menjunjung tinggi nilai-nilai luhur bhineka tunggal ika, pancasila, UUD45 dan NKRI. 

Mengawal Jati Diri Bangsa

Cukup jelas rasanya dengan adanya aksi bela Islam 1-3 (28 Oktober, 4 November Dan 2 Desember 2016) bahkan disusul dengan parade bhineka tunggal ika tanggal 19 November, dan aksi kita Indonesia pada tanggal 4 Desember merupakan kegelisahan masyarakat Indonesia atas keadaan yang ada dan mengharapkan tujuan yang sebetulnya sama yaitu jangan sampai keutuhan NKRI diobrak-abrik oleh segelintir golongan dengan kepentingan tertentu. 

 Fenomena-fenomena itu sesungguhnya merupakan konsekuensi logis dari setiap elemen masyarakat untuk mengawal dan mempertahankan jati diri bangsa yang terakumulasi dalam empat pilar berbangsa dan bernegara (bhineka tunggal ika, pancasila, uud45 dan nkri). Aksi bela Islam representasi dari kalangan agamis dan parade kita Indonesia dari kalangan nasionalis yang kesemuanya sama-sama yakin dan semangat untuk menjaga jati diri bangsa. 

Kalangan agamis bagian dari NKRI, kalangan nasionalis dan lainnya pun bagian dari NKRI, satu sama lain mempunyai hak dan kewajiban yang sama tinggal bagaimana hak-hak itu tidak saling berbenturan. Maka yang harus disegerakan adalah upaya rekonsiliasi dari pihak pemerintah dalam mengoptimalkan kinerja sesuai amanat konstitusi supaya jati diri bangsa tidak sampai terciderai. 

Saya kira fakta sejarah bisa menjadi acuan bahwasanya baik kalangan agamis maupun nasionalis sama-sama menjunjung tinggi nilai-nilai luhur falsafah negara dan senantiasa mengawal keutuhan jati diri bangsa. (*)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini