Pelibatan TNI dalam penanganan tindak pidana terorisme dilakukan berdasarkan perspektif akademis mengenai perubahan konsep kemanan nasional setelah peristiwa 9/11 dan dinamika lingkungan strategis, khususnya hukum internasional PBB.
Maka, sebagai salah satu negara anggota PBB yang mematuhi resolusi PBB, tepat bagi Indonesia untuk mengesahkan Undang-Undang No 5 tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, khususnya Pasal 43I Ayat (1), yang menyebutkan, bahwa tugas TNI dalam mengatasi aksi terorisme merupakan bagian dari Operasi Militer Selain Perang (OMSP).
Hal itu disampaikan Rektor Universitas Pertahanan (Unhan), Laksamana Madya (Laksdya) TNI Dr Amarulla Octavian, dalam acara Webminar Seri Keempat bertajuk “Operasi Militer Selain Perang (OMSP) TNI: Kontra Terorisme Dalam Perspektif Keamanan Nasional”, Selasa (22/9/2020), yang diselenggarakan oleh Indonesia Peace & Conflict Resolution Association (IPCRA), Ikatan Alumni Unhan, dan Pusat Studi Peperangan Asimetris (PUSPA).
Laksdya TNI Amarula Octavian menjelaskan, selain dasar hukum yaitu Undang-Undang No 17 /1985, Undang-Undang No 34/2004 dan Undang-Undang No 5 tahun 2018, dalam perspektif TNI, aksi teror adalah sebagai salah satu bentuk OMSP dalam menghadapi peperangan asimetris dengan empat kriteria.
Pertama, kata Octavian, yaitu korban atau sasaran teror adalah pejabat negara, institusi sipil dan militer yang menjadi simbol negara. Kedua, senjata yang digunakan adalah senjata pemusnah massal, nuklir, gas beracun, bakteri atau virus. Ketiga, lanjutnya, terjadi di lautan dan udara yang menjadi kedaulatan atau hak berdaulat Indonesia. Keempat, terjadi di kapal atau pesawat registrasi internasional berbendera Indonesia atau negara lain.
“Jika suatu aksi teror terindikasi memenuhi salah satu atau lebih empat kriteria tersebut, maka TNI sah demi hukum, untuk bertindak mengatasinya. Lebih lanjut, sinergitas TNI dan Polri sesuai amanat Undang-Undang harus menjalin kerjasama dengan semua instansi dalam dan luar negeri,” urainya.
Selaras dengan itu, Ketua Komisi I DPR, Meutya Hafid menuturkan, pelibatan TNI dalam mengatasi aksi terorisme sesuai dengan Undang-Undang No 34 tahun 2004 tentang TNI, serta aturan-aturan lainnya yang berlaku.
“Kita pernah melihat apa yang terjadi di Marawi, Filipina, tiga tahun silam, yang menunjukkan ancaman terorisme dapat berubah menjadi ancaman yang serius bagi keamanan dan pertahanan sebuah negara jika tidak ditangani dengan tepat dan efektif,” kata Meutya Hafid.
Selain itu, lanjut Meutya, perlibatan TNI dalam mengatasi terorisme di Indonesia sesungguhnya bukan hal yang baru, kita dapat melihat suksesnya operasi Satgas Tinombala yang berhasil melumpuhkan teroris Santoso. Pelibatan tentara dalam menghadapi terorisme juga berlaku di banyak negara lainnya.
“Oleh karena itu, Komisi I DPR RI melihat pentingnya peran serta TNI sebagai salah satu elemen bangsa dalam penanggulangan terorisme secara holistik di Indonesia. Namun, kami melihat juga pelibatan tersebut harus melalui mekanisme perundang-undangan yang berlaku sehingga tidak kontra produktif dalam penanggulangan terorisme, serta dalam menjaga semangat reformasi dan iklim demokrasi di Indonesia,” bebernya didepan seribu lebih peserta webinar.
Sementara itu, Duta Besar LBBP RI untuk Selandia Baru, Tantowi Yahya, menjelaskan, faktor keberhasilan Selandia Baru dalam menangani aksi terorisme, yaitu penembakan di Christchurch, adalah kepemimpinan nasional yang kuat, karakter negara dengan orientasi bisnis, tingkat toleransi masyarakat yang tinggi, dan rasa kekitaan atau “sense of togetherness” pada masyarakat.
Tantowi menyoroti faktor rasa kekitaan (sense of togethernes) yang ditunjukkan dengan adanya perlibatan semua unsur dalam mengatasi terorisme, termasuk otoritas pemerintah, yaitu kementerian, polisi dan angkatan bersenjata. Serta parlemen, media dan tokoh informal. Parlemen berhasil menagandemen UU kepemilikan senjata.
Amandemen ini, katanya, bersejarah, karena selesai dalam waktu 28 hari. Selanjutnya, tokoh masyarakat, yaitu pemuka agama juga menghimbau umat beragama lainnya untuk bersama-sama menjaga masjid-masjid di sekitar lingkungan mereka. Hal ini dilakukan karena adanya rasa kekitaan yang kuat,” kata Tantowi.
“Rasa kekitaan (sense of togethernes) juga ditunjukkan dengan adanya perlibatan semua unsur dalam mengatasi terorisme, termasuk otoritas pemerintah, yaitu kementerian, polisi dan angkatan bersenjata. Serta parlemen, media dan tokoh informal. Parlemen berhasil menagandemen UU kepemilikan senjata. Amandemen ini bersejarah karena selesai dalam waktu 28 hari. Selanjutnya, tokoh masyarakat, yaitu pemuka agama juga menghimbau umat beragama lainnya untuk bersama-sama menjaga masjid-masjid di sekitar lingkungan mereka. Hal ini dilakukan karena adanya rasa kekitaan yang kuat,” kata Duta Besar Tantowi yang merangkap Samoa dan Kerajaan Tonga ini.
Sebagai penyelenggara Webminar, Ketua IPCRA, Bonar Nasution, mengatakan, OMSP TNI untuk mengatasi Terorisme sejalan dengan UU 34 tahun 2004 tentang TNI. Selain itu, perkembangan lingkungan strategis juga menunjukkan ancaman terorisme dapat bereskalasi mengancam kedaulatan suatu negara. Untuk itu, hal yang perlu diatur selanjutnya adalah ruang lingkup, durasi, dan akuntabilitas agar pelibatan TNI dapat efektif, efesien dan bersinergi dengan stakeholder lainnya.
Selain Rektor Unhan, Ketua Komisi I DPR RI, dan Duta Besar LBBP RI untuk Selandia Baru merangkap Samoa dan Kerajaan Tonga. Hadir pula sebagai narasumber Deputi Bidang Pencegahan, Perlindungan dan Deradikalisasi BNPT, Mayjen TNI Hendri Paruhuman Lubis. Babinkum TNI, Brigjen TNI Edi Imran, Guru Besar Studi Keamanan HI Unpad, Prof Dr, Arry Balnus. Kaprodi Kajian Terorisme SKSG UI, Muhammad Syauqillah, Ph.D. Serta sebagai moderator Mahasiswa Doktoral UNHAN, Kol.Tek B.D.O Siagian.(MRZ)