Beranda Berita Pesan dari Pendamping, Jurnalis Harus Jadi Sumber Cahaya dan Turut Serta Mencerdaskan...

Pesan dari Pendamping, Jurnalis Harus Jadi Sumber Cahaya dan Turut Serta Mencerdaskan Bangsa

0

Pagi itu, 18 Mei 2022, Fellowship Jurnalisme Pendidikan (FJP) Batch IV, Gerakan Wartawan Peduli Pendidikan (GWPP) menghadirkan narasumber Penggagas Sekolah Ilmuwan Minangkabau, Ikhsyat Syukur, dalam zoom meeting. Saat itu, semua peserta sebagian sudah hadir, ada yang dalam posisi “off cam” dan ada pula yang “on cam”.

Narasumber Ikhsyat Syukur dan Mentor FJP, Mohammad Nasir, berbincang-bincang ringan, sambil menunggu sesi zoom dimulai dan kelengkapan peserta yang hadir. Tak lama, Direktur Pelakasana GWPP, Nurcholis MA Basyari, tampil dilayar diiringi peserta yang lainnya yang mulai menghidupkan kamera video (on cam).

Nurcholis berbincang-bincang ringan dengan narasumber dan menyapa para mentor (pendamping) dan peserta pelatihan. Seperti biasanya, sebelum memulai acara, Nurcholis, memimpin doa bersama sesuai agama dan kepercayaan masing-masing. Usai berdoa dan sedikit berbincang-bincang, Nurcholis, meminta Mohammad Nasir, untuk menjadi “host” dalam sesi itu. Biasanya, Nurcholis, menjadi “host” dalam setiap sesi pelatihan. Host adalah orang yang mengatur setiap aspek dalam zoom meeting termasuk participants.

Sedikit catatan, Direktur Pelaksana GWPP, Nurcholis MA Basyari, merupakan sosok yang tegas, bijaksana, berwibawa, humoris, dan pandai menyimpulkan kata-kata yang dilontarkan narasumber, sehingga para peserta memahami apa kata-kata yang berserakan atau yang tak dimengerti dari narasumber lalu dapat dituangkan dalam sebuah tulisan. Begitu pula dengan mentor-mentor yang lain, membuat peserta bertambah cerdas selama mengikuti pelatihan.

Dengan mengenakan batik bercorak coklat, berkacamata, dengan rambut disisir rapih, Nasir memulai pembicaraan dengan mengaku bahwa dirinya sudah beberapa kali mengikuti sesi zoom dengan Ikhsyat Syukur, ada penyesalan dalam dirinys ketika mendengarkan penjelasan dari Ikhsyat Syukur yang sudah-sudah, bahwa dirinya sudah terlewat, seandainya masih muda, pesan-pesan Ikhsyat Syukur tentu akan ia implementasikan.

“Saya ini sudah terlewat, seandainya saya masih muda, pesan-pesan dari Pak Ikhsyat Syukur itu akan saya laksanakan dan pasti saya akan lebih hebat dari sekarang ini. Makanya tolong disimak betul-betul, jangan ada penyesalan, segera laksanakan apa yang disarankan oleh Pak Ikhsyat Syukur, nanti bisa dilakukan dialog dan dipertajam oleh para mentor. Terimakasih, silahkan, Pak Ikhsyat, ” kata Mohammad Nasir dalam pengantarnya.

Dengan mengucapkan salam takzim dan membaca basmallah. Ikhsyat Syukur, merasa senang bisa bertemu dengan orang-orang yang peduli akan dunia pendidikan. Dengan hadirnya FJP Batch IV ini, kata dia, akan menambah lagi orang-orang yang membersamai dalam perjalanan. Ikhsyat mengaku, sejak FJP Batch I hingga Batch IV dirinay selalu mengangkat judul yang sama, yakni “Peran strategis dan tugas mulia wartawan untuk turut serta memajukan masyarakat dan mencerdaskan kehidupan bangsa melalui karya jurnalistik berkualitas”.

Dalam sesi itu, Ikhsyat, mengupas tuntas tentang dunia pendidikan di negeri ini, dimana dari hasil survei Programme for International Student Assessment (PISA) 2018 yang diterbitkan pada Maret 2019 untuk kategori kemampuan membaca, sains, dan matematika nilainya sungguh menyedihkan bahkan memprihatinkan, skor Indonesia tergolong rendah karena berada di urutan ke-74 dari 79 negara.

Dari The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) atau kerjasama pembangunan ekonomi mengumumkan hasil PISA 2018 menyebutkan, bahwa hasil skor yang diperoleh Indonesia sama dengan tahun-tahun sebelumnya, sangat rendah, dibandingkan negara-negara lain.

Selain itu, para mahasiswa lulusan luar negeri, sambung Ikhsyat, setelah kembali ke Indonesia tidak dapat berbuat banyak atas ilmu yang didapatnya di perguruan tinggi di mancanegara. Bahkan agar terlihat ada karya, para lulusan luar negeri itu sengaja membuat terobosan-terobosan sebisanya. Karenanya, peran strategis dari jurnalis pendidikan dalam upaya mencerdaskan bangsa sangatlah penting, untuk menjadi sosial kontrol dunia pendidikan.

“Ketika anda (wartawan) menulis tentang pendidikan, kita harus titipkan itu, pesan-pesan kebangsaan, ingatkan itu semua dalam setiap tulisan anda, bahwa yang saya tulis hari ini atau hari berikutnya, diharapkan akan menjadi impact untuk generasi setelah saya. Pada saat itu anda menjadi negarawan, karena anda ikut memikirkan generasi setelah anda,’’ terangnya.

Banjir Pertanyaan Pendidikan

Penyampaian Ikhsyat Syukur tentang dunia pendidikan yang sangat memprihatinkan di Indonesia, memancing banyak pertanyaan dari para peserta, ada yang menggunakan emoticon angkat tangan berwarna kuning dilayar dan ada juga yang menulis di kolom chat. Nasir, membacakan chat-chat itu setelah beberapa pertanyaan secara langsung selesai dilontarkan dari peserta dan dijawab Ikhsyat Syukur dengan singkat.

Peserta FJP, Eka Lintarman (Prabumulih Pos) menanyakan tentang rendahnya nilai PISA 2018 yang menilai pendidikan Indonesia nilainya sangat menyedihkan dan pertanyaan-pertanyaan lainnya. Makin penasaran, karena ada permintaan “off the record” dari Ikhsyat Syukur soal nilai rapor pendidikan Indonesia yang rendah.

Peserta FJP lainnya, Mirza (tangerangonline.id), mengajukan pertanyaan yang sama soal keprihatinan akan nilai pendidikan yang rendah itu tentang apa penyebabnya dan apa saran untuk pemerintah, mengingat Malaysia mengirimkan ribuan pelajarnya untuk kuliah di mancanegara dan setelah kembali ke Malaysia, dikirim lagi keluar negeri gelombang berikutnya, sehingga membuat masyarakatnya cerdas dan nilai pendidikan disana tinggi.

Satu persatu pertanyaan peserta dijawab Ikhsyat Syukur, dengan detail, membuka tabir persoalan pendidikan  yang seakan-akan ditutupi selama ini, terutama soal nilai pendidikan dari survey internasional.

Sayang sinyal telekomunikasi timbul tenggelam, sehingga ada beberapa peserta meminta ijin unutk “off cam” untuk menjaga jaringan zoom tetap terhubung  Diujung waktu, menjelang “leave zoom”, mentor FJP GWPP, Frans Surdiasis memberikan kata kunci dalam zoom saat itu.

“Ini sebetulnya, kalau yang bicara Pak Ikhsyat, saya agak susah merangkumnya, karena semua pembicaraan dari ujung sampai akhir itu menarik dan semuanya penting,” ucap Frans.

Hampir empat angkatan, Ikhsyat Syukur, selalu bicara ditengah peserta FJP yang tak henti-hentinya memberikan bekal kepada peserta pelatihan sebelum kembali ke tugas keseharian sebagai jurnalis di desk masing-masing.

Materi yang disampaikan Ikhsyat Syukur sangat fundamental, karena materi ini menyangkut DNA wartawan yang selalu dibicarakan dari waktu ke waktu. Apa DNA wartawan itu? Frans menjelaskan, para mentor seperti Nurcholis MA Basyari, Haji Mohammad Nasir, Haryo Prasetyo selalu merumuskan DNA wartawan itu sebagai intelektual dan kalau bicara tentang intelektual, maka sebetulnya fungsi pokoknya itu adalah mencerahkan kehidupan masyarakat.

Frans membeberkan tentang tugas wartawan dalam mencerahkan masyarakat, dimana wartawan harus menjadi sumber cahaya, karena dia tidak bisa mencerahkan masyarakat, kalau dia bukan sumber cahaya.

Darimana sumber cahaya wartawan itu? Sumber cahaya yang pertama, kata Frans, tentu dari karakternya. Kedua adalah dari kompetensinya yang memiliki pengetahuan dan skill atau keahlian. Sumber cahaya yang ketiga adalah komitmennya, itulah yang terus-menerus diingatkan Ikhsat Syukur.

“Selain itu, jurnalis juga harus mampu merawat sehingga kemampuan kita menghadirkan cahaya itu terus tumbuh dari waktu ke waktu. Hal yang menarik di sampaikan Pak Ikhsyat Syukur adalah wartawan jangan sampai kalah dengan narasumber,” urai Frans.

Dalam dunia yang datar, kita sulit sekali melihat hal yang tidak dilihat orang lain, sehingga kita melihat hal yang sama. Tantangannya adalah bagaimana kita melihat hal yang sama itu dengan cara yang berbeda, itu artinya kita harus punya kualitas perspektif dalam melihat.Itulah salah satu tugas dan tantangan kita sebagai wartawan.

Dalam dunia yang datar itu, sambung Frans, sebetulnya landscape (bentangan) komunikasi itu sudah berubah. Tantangan wartawan kedepan adalah bagaimana selangkah di depan audience kita, namun celakanya, salah satu problem kita adalah seringkali pembaca kita melihat lebih jauh dibandingkan dengan kita wartawan, dengan kata lain, kita ada dibelakangnya.

“Kalau kita berada dibelakang pembaca kita, kalau kita berada dibelakang narasumber kita, maka sudah hampir pasti kita tidak mampu menjalankan tugas mencerahkan itu. Mari terus belajar untuk meningkatkan kapasitas kita sebagai jurnalis,” pesan Frans.

Sedangkan mentor FJP GWPP yang lain, Haryo Prasetyo, menyampaikan, meski topiknya sama dalam setiap angkatan, Ikhsyat Syukur, dinilai selalu memberikan hal-hal yang baru dan selalu memberikan semangat, inspirasi dan memberikan pencerahan.
Karena sebagai jurnalis tentu memiliki tanggung jawab yang besar sebagai intelektual yang senang bergaul dengan pikiran-pikiran besar dalam mencerdaskan kehidupan bangsa menyajikan fakta dilapangan yang mampu mendorong inspirasi kemajuan dan membawa bangsa ini kearah yang lebih baik.

“Tetap semangat, teruskan pekerjaan kita dan share kepada publik,” ujar Haryo.

Sesi zoom ditutup dengan penyerahan sertifikat dari Gerakan Wartawan Peduli Pendidikan (GWPP) yang ditandatangani Nurcholis MA Basyari yang bekerjasama dengan PT Paragon Technology and Innovation (PTI) yang ditandatangani Salman Subakat kepada Ikhsyat Syukur, dengan diringi lagu Minang, Sumatera Barat, dimana narasumber berasal. Tepuk tangan dan tawa (karena ada lagu minang) mewarnai seluruh peserta dan narasumber dilayar kaca zoom saat itu.(MRZ)