Memasuki kehidupan yang masif kebebasan seksual (freedom sex). Tentu kultur manusia modern memandang ketelanjangan kaum perempuan salah satu bagian dari sebuah kebebasan. Oleh karena itu, masalah jilbab dalan kurun waktu yang lama sudah menjadi perdebatan sebagian kelompok yang dianggap sebagai pembicaraan yang berhubungan dengan masa lalu.
Realitasnya, kebebasan tanpa limitasi ini justru melahirkan kebobrokan dan kerusakan. Tak dapat dipungkiri, kecuali bicara soal jilbab. Sebenarnya mengenai jilbab sendiri membutuhkan target lingkungan yang mempunyai trend tradisi Islami dan negara-negara Islam seperti Iran juga mempersoalkan jilbab sebagai negara Islam yang baik.
Justru permasalahannya, urgensi mekanisme ini menjadi suatu keharusan dan tuntutan dalam evaluasi pembahasan. Imam Khomaini ra mengungkap gambelang, “Hukum asli jilbab merupakan satu dari ajaran prinsip Islam. Orang yang mengingkarinya berarti mengingkari prinsip Islam. Sedangkan oknum yang mengingkari prinsip Islam maka dihukumi kafir, kecuali bila dipastikan ia tidak mengingkari Allah dan Rasul Saw”.
Yazid bin Muawiyah berperan besar dalam upaya menghancurkan Islam dan mendzalimi umat Islam. Salah satu upayanya dalam menghancurkan Islam adalah menghapus jilbab di hari Asyura pasca kesyahidan Imam Husein as dan para sahabatnya. Tapi upaya itu berhasil digagalkan oleh Imam Sajad as dan Sayidah Zainab as melalui ucapan mereka, terutama khotbah Sayidah Zainab sa di tengah majelis Yazid yang secara terang-terang menyanggah Yazid. Beliau berkata, “Engkau telah mencabik-cabik tirai jilbab para perempuan Ahlul Bait dan mempertontonkan wajah mereka.”
Padahal masa itu para perempuan Ahlul Bait sangat hati-hati dan menjaga jilbabnya. Mereka pun ikhtiar sebisa mungkin untuk menutupi wajahnya. Bani Umayah telah melakukan penghinaan terhadap perempuan Muslim dan dicatat oleh sejarah.
Krusialitas Jilbab
Mencermati kembali pesan Imam Khomaini ra tentang hukum jilbab, maka dengan mudah dapat dipahami esensinya permasalahan ini. Jilbab dalam Islam dipandang sebagai problema prinsip dan barang siapa yang mengingkarinya berarti dianggap kafir, kecuali dipastikan ia tidak mengingkari Allah dan Rasulullah Saw.
Hukum jilbab sangat jelas dan yang menjadi topik aktual pembahasan selanjutnya terkait dengan batasan jilbab itu sendiri. Sejauh mana al-Quran menetapkan batasan jilbab seorang Muslimah. Mengenai batasan jilbab yang menutupi seluruh badan perempuan, kecuali wajah dan telapak tangan ternyata juga disepakati oleh seluruh ulama’. Jadi, tidak ada hal yang saling meragukan bahwa konseptualisasi jilbab dalam Islam menutupi seluruh badan, kecuali wajah dan telapak tangan.
Jilbab Secara Hakiki
Pada hakikatnya, jilbab bukanlah suatu persoalan apakah sebaiknya perempuan yang hadir di tengah masyarakat menggunakan jilbab atau tidak. Melainkan jilbab dalam Islam merupakan sebuah sistem nilai dan sosial masyarakat Muslim. Dengan jilbab, problematika yang berhubungan dengan kebutuhan biologis sekadar diterapkan di lingkungan rumah tangga dan dalam kerangka pernikahan yang absah. Sedangkan lingkungan sosial dan tempat kerja murni untuk beraktivitas, walhasil mencapai lebih maksimal.
Secara filosofis menggunakan jilbab dijelaskan dalam pelbagai dimensi, spiritual, kekeluargaan, masyarakat dan menjaga kehormatan seorang Muslimah itu sendiri. Maka dari itu lah, etika perempuan perlu disandingi teladan yang baik (bil uswatun hasanah) dengan menunjukkan identitasnya bahwa dengan jilbab perempuan mampu menarik perempuan yang masih belum merealisasikannya.
Sebenarnya sejak awal seputar Jilbab bukanlah hasil ciptaan Islam, tetapi konteks ini di kalangan sosial masyarakat sebelum Islam jilbab telah dikenal sebagai pakaian penutup perempuan (kehormatan). Tak terkecuali Islam sebagai satu sistem nilai memoles jilbab dan menyempurnakannya dengan nilai keislaman, baik dari sisi batasannya dan juga filosofinya.
Jilbab tidak menafikan kebanggaan umat manusia, tetapi pada saat yang sama juga bukan sporter gaya hidup kerahiban. Jilbab adalah salah satu metode Islam untuk mencegah rusaknya masyarakat. Karena dampak dari kerusakan ini tidak hanya menimpa diri, tapi akan merambah kepada keluarga, masyarakat bahkan satu bangsa.
Tentunya, segala cara dipergunakan oleh Islam dalam upaya mencegah kerusakan masyarakat. Di satu sisi, jilbab merupakan strategi efektif mencegah kerusakan tersebut. Jilbab adalah simbol hubungan sosial masyarakat Islam dan bukan sekadar aturan berpakaian. Jilbab menjadi jembatan hubungan sosial antara seorang Muslim dan Muslimah. Berarti, jilbab merupakan sebuah gaya yang paling aktual seorang muslim di tengah masyarakat Islam.
Melihat jilbab sebagai gaya kehidupan dan sistem nilai masyarakat Islam, maka sistem nilai ini akan berdampak besar sosial dan ekonomi masyarakat Islam. Satu hal yang tidak diinginkan oleh kekuatan-kekuatan besar dunia. Karena mereka juga menawarkan gaya hidup sesuai dengan ideologinya.
Ketika mereka memandang kaum perempuan sebagai produk dan bahkan alat untuk menjual produknya, Islam meletakkan posisi perempuan yang tinggi sebagai manusia yang dapat mencapai kesempurnaan sama seperti yang berhasil diraih oleh kaum pria. Dampak dari cara pandang ini, mereka justru menyebarkan budaya ketelanjangan perempuan agar dapat merealisasikan tujuannya. Sebaliknya, Islam justru memberi pakaian kehormatan kepada perempuan agar mereka dapat melakukan aktivitas dan berinteraksi dengan masyarakat dan menjadi dirinya sendiri sesuai yang diajarkan Islam.
Pada akhrinya, seputar jilbab sudah menjadi bahan dasar, dan medan perselisihan politik dimana ini menjadi sistem nilai antara Islam dan non-Muslim, tetapi bukan hanya perbedaan kultur budaya Islam dalam adab berpakaian. (*)
Penulis: Wahedatul Barokah, Mahasiswa Jurusan Komunikasi Politik Fak. FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ).