Dalam dunia siber, tantangan dari semua negara-negara Asia adalah pada tataran strategi.Tak semua harus melulu ada regulasi dan undang-undang. Bila ada hacker yang mengancam di Indonesia, yang jejaknya ternayata ada di negara lain, maka penyelesaiannya tidak dapat dilakukan dengan cara mengirim surat, karena tindakan cepat untuk meng-counter hacker harus segera dilakukan tanpa harus menunggu.
“Waktunya itu sekian mili detik, jadi kita harus bertindak cepat, ketika datang serangan (hacker) dan tentu kita membutuhkan bantuan dari negara lain yang memiliki kerjasama siber,” kata Guru Besar Ilmu Komputer AFBI Institute Perbanas, Prof Richardus Eko Indrajit, saat ditemui di Diskusi Siber MNC Trijaya Network menggelar diskusi bertajuk “RUU Kamtan Diberi Tumpang Tindih dan Rugikan Masyarakat?” di D’Consulate Resto & Lounge, di Jalan Wahid Hasyim, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu sore (21/8/2019).
Maka dari itu, kata Eko, yang selalu harus kita lakukan bila ingin membuat sesuatu harus di diskusikan secara bersama-sama dengan melibatkan banyak pihak yang memiliki kepentingan, sehingga bila Rancangan Undang-Undang Keamanan dan Ketahanan Siber (RUU Kamtansiber) yang diusulkan Badan Legislasi DPR ke Komisi I DPR dapat mengakomodir kepentingan negara sesuai perannya masing-masing, baik itu keamanan, pertahanan dan siapa melakukan apa.
“Jangan bikin sama-sama dengan semua negara dalam posisi yang sama dan jangan terlalu umum juga, tapi yang penting mereka punya prinsip yang sama dalam strategi-strategi yang berbeda antara waktu rutin dan waktu yang tidak rutin. Kalau RUU Kamtansiber segera digunakan, dia harus mengundang semua stakeholder yang selama ini belum pernah dilibatkan untuk memberi masukan dalam waktu cepat,” ujarnya.
Ia meyakini, masih ada sedikit waktu yang bisa dilakukan dengan cara mengundang berbagai pihak. Karena, menurutnya, apa gunanyan kita memiliki sesuatu, tapi tak dapat dijalankan.
“Malah kita membuang-buang banyak sumber daya, ini bagi saya dalam membuat undang-undang apapun, sebanyak mungkin pihak stakeholder harus dilibatkan untuk memberikan masukan-masukan,” jelasnya.
“Kondisi (siber) yang kita cermati yaitu kondisi rutinitas normal, nggak terjadi apa-apa dan ketika ada serangan (hacker) tindakan gesit harus dilakukan. Kalau sudah diserang, harus ada koordinatornya yang memimpin untuk mengantisipasi dan membnlas serangan siber,” tambah Eko.
Di Indonesia, sudah ada berbagai lembaga seperti Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) yang bertanggung jawab kepada Presiden, Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) yang dapat diajak berdiskusi tentang siber dan masalah literasi.
“Siapa yang paling berwenang, kalau nanti ini kejadian (serangan hacker) apa yang sudah dilakukan untuk yang berjalan dengan Standar Operating Procedur yang cerdas. Sebab kalau aturan terlalu detail, nanti gampang dibaca hacker,” demikian dikatakan Prof Richardus Eko Indrajit. (MRZ)