Barisan Advokat Bersatu (BARADATU) melaporkan tiga Hakim Pengadilan Negeri (PN) Medan, Sumatera Utara ke Komisi Yudisial pada Rabu, 13 November 2024.
Mereka adalah hakim yang menyidangkan perkara dengan nomor 1367/Pid.B/2024/PN Mdn. Yakni, M. Nazir selaku Hakim Ketua, Efrata Happy Tarigan dan Khairulludin sebagai Hakim Anggota.
Hakim tersebut dilaporkan setelah memvonis lepas (Onslag) pasangan suami istri (pasutri) terdakwa pemalsu surat kuasa sehingga merugikan perusahaan senilai Rp583 Miliar.
Terdakwa dalam perkara pemalsuan tanda tangan direktur perusahaan itu adalah Yansen (66) dan Meliana Jusman (66) divonis lepas oleh Majelis Hakim PN Medan pada Selasa, 6 November 2024.
“Ketiga Hakim ini kita laporkan dalam dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman prilaku Hakim,” kata Ketua Umum BARADATU, Herwanto Nurmansyah di Kantor Komisi Yudisial, Jalan Kramat Raya, Senen, Jakarta Pusat, Rabu (13/11/2024).
“Sesuai dengan yang tertera dalam putusan, majelis atau 3 hakim yang kita laporkan agar segera Komisi Yudisial memeriksa,” tambahnya.
Herwanto menilai keputusan ketiga hakim yang memvonis terdakwa onslag dalam perkara pemalsuan surat tersebut adalah keliru.
“Terkait dengan pemalsuan surat, menurut analisa hukum kami, ada dugaan yang pertama majelis hakim telah salah, keliru dalam menentukan putusan. Karena yang dilaporkan ini adalah pemalsuan surat, tapi dalam putusan itu diputus onslag. Ini sangat membingungkan,” ujarnya.
“Karena dalam keputusan onslag, perbuatan itu terbukti namun bukan merupakan suatu peristiwa tindak pidana. Ini yang menurut kami sangat bertentangan,” tutur Herwanto.
Tiga Hakim PN Medan Diminta Diperiksa
Oleh karena itu, Herwanto meminta Komisi Yudisial memanggil dan memeriksa ketiga Hakim tersebut. Ia menduga, ketiga Hakim tersebut menerima sesuatu untuk memengaruhi keputusan dalam perkara itu.
“Ada dua kemungkinan, kekeliruan atau kesalahan. Tapi menurut kami, kekeliruan dan kesalahan ini sangat jauh, fatal sekali. Ada dugaan mungkin ada transaksi, mungkin di belakang atau di bawah meja. Ini dugaan-dugaan kita,” kata dia.
Lebih lanjut, Herwanto mengatakan, perkara yang divonis onslag di PN Medan tersebut bukan tidak mungkin menjadi perkara jilid 2 seperti Ronald Tannur di PN Surabaya.
“Baru kemarin kita saksikan bagaimana (perkara) ada pelakunya, ada korbannya ada barang buktinya, ada cctv-nya, perbuatannya ada, tapi diputus bebas, luar biasa. Kami menduga, ada dugaan bisa jadi ini adalah perkara jilid 2 seperti Ronald Tannur di Surabaya. Bisa jadi seperti itu, itu dugaan kami,” bebernya.
Sekarang, kata Herwanto, terjadi lagi di Sumatera Utara, ada barang yang diduga palsu tetapi tidak dibahas barang itu palsu atau tidak, justru yang dibahas adalah petistiwanya.
“Apalagi di sini terbukti katanya peristiwanya ada, cuma tidak termasuk dalam tindak pidana. Ini yang menurut kami kekeliruan yang luar biasa. Artinya bisa disimpulkan bahwa perkara ini pidana atau perdata. Sementara laporannya pemalsuan, tetapi majelis hakim memutuskan bahwa peristiwa ini bukan tindak pidana,” jelasnya.
Melapor ke KPK dan Komis III DPR RI
Herwanto mengatakan, dalam waktu ini pihaknya akan melaporkan kasus tersebut ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI).
“Kami mulai dari Komisi Yudisial, mungkin dalam hitungan beberapa hari ke depan, kami juga akan mendatangi Komisi 3 DPR RI dan ke KPK juga,” ujarnya.
Dia juga meminta lembaga pengawas dan penegak hukum terkait dugaan tindak pidana korupsi segera bergerak. Hal ini agar tidak ada lagi kasus-kasus seperti di PN Surabaya.
“Idealnya Komisi Yudisial sejak awal mengawasi agar tidak terjadi lagi. Sekarang ini kita hanya mengobati, mengobati, terus. Kalau bisa ada upaya pencegahan, itu harapan kami,” pungkas Herwanto. (Rmt)