Fenomena hari raya lebaran di kalangan masyarakat nusantara adalah merupakan suatu ritual agama yang banyak orang punya cara berbeda dalam merayakannya.
Bagi Muslim khususnya Indonesia, setelah selama sebulan penuh bergelut dengan nafsu, hari raya lebaran adalah menjadi ritual khusus yang wajib di meriahkan dengan suka cita.Namun sayangnya, banyak yang salah dalam memahami, memaknai, serta memeriahkan lebaran/Idul Fitri.
Celakanya, lebaran justru dijadikan perayaan suatu hal yang serba baru misalnya baju baru, celana baru, kendaraan baru, rumah baru, dll. Bahkan saat lebaran tingkat konsumsi semakin meninggi dan menggila. Manusia kemudian mengukur pendapatan pahala berdasar indikator transaksional. Bahkan lebaran pun juga dirayakan sebagai ritus pameran kemewahan dan kesuksesan.
Sebeginikah Idul Fitri kita?
Pertanyaannya adalah perayaan lebaran yang terjadi di Indonesia, apakah sudah sesuai yang disyariatkan dalam Islam?
Apakah ini ada kaitannya dengan kekeliruan kita dalam memaknai arti Idul Fitri?
Mari sama-sama kita kaji makna Idul Fitri.
“Ied” itu maknanya bukan ‘kembali’.
Kata ‘Ied’ (عيد) dalam Idul Fitri sama sekali bukan kembali. Dalam bahasa Arab, Ied (عيد) itu berarti hari raya. Yang bentuk jamaknya adalah a’yad (أعياد). Maka setiap agama punya Ied atau hari raya sendiri-sendiri.
Misalnya dalam bahasa arab, hari Natal yang dirayakan umat Nasrani disebut juga dengan “Idul Milad” (عيد الميلاد), yang artinya hari raya kelahiran. Yang dimaksudkan adalah hari kelahiran Nabi Isa AS.
Mereka merayakan hari itu sebagai hari raya resmi agama mereka. Atau misalnya pada hari-hari kemerdekaan suatu negeri dalam bahasa arab pun sering disebut dengan Iedul Wathan (عيد الوطن).
Memang tidak harus selalu hari kemerdekaan, tetapi maksudnya itu adalah hari besar atau hari raya kemerdekaan untuk negara tersebut.
Lalu kenapa banyak orang yang mengartikan Ied itu sebagai ‘kembali’ ?
Nah, itulah akar masalahnya. Banyak orang yang kurang dalam mengerti bahasa arab, sehingga bentuk shorof dari suatu kata sering terpelintir dan terbolak-balik tidak karuan.
Dalam bahasa arab, kata “kembali” adalah asal katanya “aada – ya’uudu -‘audatan” (عاد – يعود – عودة)
Kalau dibaca dan didengar memang sekilas hurufnya rada mirip, tetapi bahwa yang mirip itu kan belum tentu samq dan tentu saja berbeda bahkan sangat jauh maknanya dari “ied”. Jadi ketika lebaran dan maksudnya mau bilang kembali, maka tidak dengan kata-kata “ied” tetapi sebutlah “audah.”
Namun sayangnya, banyak masyarakat Indonesia, yang terlalu gegabah dalam masalah ini. Sudah salah dan keliru, dengan percaya dirinya, kemudian bicara di layar kaca pula, bahkan ditonton jutaan pasang mata orang awam. Maka kekeliruan itu pun terjadi secara masif, terstruktur dan sistematis.
Bahkan, makna kata “Fitri” juga bukan suci. Dalam bahasa arab kita mengenal dua kata yang nyaris mirip tetapi berbeda alias tidak sama, yaitu Fitrah (فطرة) dan Fithr (فطر).
1. Makna Fithrah
Adalah kata fithrah (فطرة). Jumlah hurufnya ada empat yaitu fa’, tha’, ra’ dan ta’ marbuthah.
Umumnya fithrah diartikan oleh kebanyakan para ulama sebagai kesucian atau juga bermakna agama Islam. Seperti contoh hadits berikut ini :
عَشْرٌ مِنَ الْفِطْرَةِ قَصُّ الشَّارِبِ وَإِعْفَاءُ اللِّحْيَةِ وَالسِّوَاكُ وَاسْتِنْشَاقُ الْمَاءِ وَقَصُّ الأْظْفَارِ وَغَسْل الْبَرَاجِمِ وَنَتْفُ الإْبْطِ وَحَلْقُ الْعَانَةِ وَانْتِقَاصُ الْمَاءِ
Artinya : Ada sepuluh hal dari fitrah (kesucian), yaitu memangkas kumis, memelihara jenggot, bersiwak, istinsyaq (menghirup air ke dalam hidung), potong kuku, membersihkan ruas jari-jemari, mencabut bulu ketiak, mencukup bulu kemaluan dan istinjak (cebok) dengan air. (HR. Muslim).
Dan ada juga yang bermakna sebagai agama Islam, seperti dalam contoh hadits berikut ini :
مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلاَّ وُلِدَ عَلىَ الفِطْرَةِ أَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ وَيُنَصِّرَانِهِ وَيُمَجِّسَانِهِهِ
Artinya : Tidak ada kelahiran bayi kecuali lahir dalam keadaan fitrah (muslim). Lalu kedua orang tuanya yang akan menjadikannya yahudi, nasrani atau majusi. (HR. Muslim)
2. Makna Fithr
Sedangkan kata fithr (فطر), yaitu jelas sangat berbeda maknanya dengan kata fithrah. Sekilas memang keduanya punya kemiripan, tetapi bahwa yang mirip itu belum tentu sama. Bahkan coba perhatikan baik-baik, ternyata kata fithr itu hurufnya cuma ada tiga saja, yaitu fa’, tha’ dan ra’, tanpa ada tambahan huruf ta’ marbuthah di belakangnya.
Apakah perbedaan huruf ini bisa mempengaruhi makna?
Jawabnya tentu saja sangat bisa mempengaruhi makna. Keduanya punya makna yang berbeda dan amat sangat jauh perbedaannya.
Dalam bahasa arab, kata fitrh (فطر) bermakna makan atau makanan dan bukan suci ataupun keislaman. Bentukan dari kata dasar ini bisa menjadi makan pagi, yaitu fathur (فطور), dan juga bisa bermakna berbuka puasa, yaitu ifthar (إفطار).
Disinilah banyak orang yang rancu dan kurang bisa membedakan makna. Dikiranya fithr itu sama saja dengan fithrah. Sehingga dengan ceroboh diartikan seenaknya saja sehingga banyak orang mengartikan Idul Fitri itu menjadi “kembali kepada fitrah.”
Makna Idul Fitri, kalau kita mau jujur dengan istilah aslinya, sesungguhnya kata ” ‘Idul Fitri ” itu bukan bermakna kembali kepada kesucian. Tetapi yang benar dalam artinya adalah Hari Raya Makanan.
Dan satu lagi yaitu hari raya “Idul Adha,” tentu maknanya bukan kembali kepada Adha, sebab artinya akan sangat kacau balau. Masak kembali kepada hewan qurban ?
Maka “Idul Adha” artinya adalah hari raya qurban (hewan sembelihan).
Bahwa setelah sebulan berpuasa kita harus kembali menjadi suci, mencusikan hati, mensucikan pikiran dan mensucikan semuanya, tentu memang harus. Cuma, jangan kemudian main paksa istilah yang kurang tepat. Mentang-mentang kita harus kembali suci, lalu ungkapan ‘Idul Fitri’ dipaksakan berubah makna menjadi ‘kembali suci’.
Hari Raya Makan?
Ya memang sejatinya pada hari itu umat Islam diwajibkan untuk makan dan haram untuk berpuasa. Berpuasa pada tanggal 1 Syawal justru haram dan berdosa bisa dilakukan.
Dan sunnahnya, makan yang menjadi ritual itu dilakukan justru sebelum kita melaksanakan shalat Idul Fitri.
Dan oleh karena itulah kita mengenal syariat memberi zakat al-fithr, yang maknanya adalah zakat dalam bentuk makanan. Tujuannya sudah jelas, agar tidak ada yang tersisa dari orang miskin yang berpuasa hari itu dengan alasan tidak punya makanan. Dengan adanya zakat al-fithr, maka semua orang bisa makan di hari itu.
Dan hari raya umat Islam disebut dengan Idul Fitri, yang secara harfiyah bermakna hari raya untuk makan. (*)
Oleh: Ahmad Fauzi. HG. S.Pd.I Attingsily