Connect with us

Labirin Pendidikan dan Kesejahteraan Rakyat

Index

Labirin Pendidikan dan Kesejahteraan Rakyat

Oleh: Ahmad Naufal, Pegiat Forum Komunikasi dan Kajian PAI (FK2i) & Pengurus SEMA UIN Jakarta.

Di negeri permai ini
berjuta rakyat bersimbah luka
anak kurus tak sekolah
pemuda desa tak kerja
(Darah Juang)

Nyaris setiap hari saya berjumpa dengan ibu-ibu aktivis keluh. Bapak-bapak ramah menyapa saya, dengan kantung harapan dan buku catatan. Anak-anak dengan lagu-lagu parau, manis wajahnya. Dan pemuda-pemuda, beberapa seumuran saya, dengan penuh semangat menyindir keadaan lewat lagu-lagu nyinyir. Mereka meminta sisa-sisa keringat, sisa-sisa rupiah.

Di tempat lain, cara lebih kasar menjadi alternatif. Pencurian, penodongan, penjarahan, pelacuran, dan korupsi, masih jadi kerap terjadi. Dari hulu ke muara, dari perwakilan rakyat hingga rakyat. Tak acuh mana halal mana haram. Sebuah fenomena massif dan tak ada ujung. Seperti film anime dengan episode tak ada habisnya. Seperti sinetron Tukang Bubur Naik Haji yang entah sampai di mana ujung ceritanya. Bukti bahwa kemiskinan nurani telah menjangkit kemanusiaan kita.

Rakyat kecil seperti pengemis dan pengamen memiliki pandangan bahwa persoalan kaya dan miskin sepenuhnya berkaitan dengan suratan nasib. Pandangan demikian dibentuk oleh kesengsaraan dan kesulitan yang selalu melilit kehidupan mereka, dan terbukti telah menguras energi nalarnya, sehingga tidak mampu berpikir untuk mencari jalan keluar dari himpitan kemiskinannya.

Berikut dengan makin banyaknya pengangguran akibat ditutupnya banyak perusahaan yang dilanda berbagai masalah. Pendapatan yang diperoleh rakyat makin turun nilainya dengan naiknya harga-harga barang, seperti BBM dan kenaikan tarif, seperti listrik, yang menimbulkan kenaikan harga-harga secara beruntun.

Banjirnya laju investasi masuk ke kantong-kantong (enclaves) elite suburban, misalnya ke kawasan permukiman elite, berkonsekuensi kian terciptanya garis kesenjangan, terutama antara penduduk lokal yang sudah lama mendiami tanah air, vis a vis dengan penduduk baru yang lebih lincah, kreatif, dan berdaya saing.

Pendidikan dan Nation Building

Kualitas hidup manusia-diukur dari sumber daya manusia (SDM) – berakar pada kualitas pendidikan. Sebab pendidikan adalah pabrik pembentuk dan penentu mutu SDM. Dengan begitu, adanya perbuatan KKN, kekerasan dalam konflik sosial, politik, ekonomi, dan keagamaan, serta pelanggaran hukum dan HAM adalah manifestasi dari kualitas SDM yang belum baik, sebagai produk dari pendidikan kita.

SDM kita bila diukur dari Human Development Index (HDI) berada di peringkat 111 dari 188 negara yaitu sebesar 0,684 pada tahun 2014. Indikator HDI terdiri atas empat variabel, yakni angka harapan hidup, harapan tahun bersekolah, rata-rata waktu sekolah yang sudah dijalani orang berusia 25 tahun ke atas, dan pendapatan nasional bruto per kapita. (Tempo: 2015)

Sementara itu, pasar bebas yang berbasis penguasaan ilmu dan teknologi menghadapkan kita pada persaingan terbuka dengan bangsa-bangsa yang lebih maju. Sudah dapat dipastikan kita akan kalah saing dengan bangsa lain, tertinggal di belakang, sedang bangsa lain memenangkan persaingan global itu. Beban utang kita hari ini mencapai Rp 3.438 triliun dan pengangguran sekitar 7,02 juta orang (Tempo: 2016).

Akibatnya, pasar domestik kita akan menjadi pasar rebutan bangsa-bangsa lain. Andai pasar sendiri tidak bisa diselamatkan, bagaimana kita bisa menguasai pasar luar negeri, kecuali pasar tenaga kerja kasar dan murah, seperti mengekspor pembantu rumah tangga dan kuli bangunan dengan skill rendah. Bung karno menengarainya sebagai bangsa kuli.

Kondisi ini disebabkan dunia pendidikan kita masih antirealitas. Pendidikan sekolah kurang diorientasikan untuk memperhatikan realitas kehidupan secara kreatif dan visioner. Hal ini tampak pada perekonomian yang sebagian besar ada di desa dan bekerja di ladang pertanian dan peternakan, ternyata kurang tergarap baik oleh ilmu pertanian dan peternakan yang diajarkan di sekolah-sekolah, sejak SD hingga perguruan tinggi, baik dalam proses pembelajaran maupun riset. Hingga akhirnya kita masih bergantung pada impor atas komoditas pangan seperti beras, gula, kedelai, buah-buahan dan daging.

Begitu pula fakta lain di dunia usaha kecil menengah (UKM), yang besar jumlahnya dan banyak menyerap tenaga kerja, serta mempunyai andil besar dalam mempertahankan ekonomi nasional dalam menghadapi krisis, nyatanya kurang tergarap secara signifikan oleh ilmu ekonomi di sekolah hingga perguruan tinggi. Karena tidak banyak dikembangkan untuk pembinaan SDM entrepreneur sesuai lapangan UKM. Pendidikan ilmu ekonomi harusnya mencetak sarjana berjiwa entrepeneur untuk menciptakan pekerjaan, bukan untuk mencari pekerjaan.

Kesuksesan pendidikan tidak cukup hanya pada ijazah dan gelar akademik. Moralitas dan mentalitas para sarjana juga tidak kalah penting. Dalam konteks Indonesia yang sarat kemajemukan, pendidikan nilai, pendidikan karakter, dan pendidikan multikultural mengambil peran strategis dalam mengurai persoalan manusia Indonesia yang multidemensional. Hasilnya, kemajemukan dan berbagai konflik yang muncul atas transformasi dan reformasi sosial dapat dikelola secara kreatif dan membawa pada pencerahan kehidupan bangsa.

Peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan nasional perlu mendapat perhatian serius. Karena krisis bangsa pada hakikatnya adalah krisis pendidikan. Berangkat dari hal ini maka metodologi, kurikulum, dan sarpras perlu lebih dalam lagi mengubah mental, cara berpikir dan filosofi yang mendasarinya agar pendidikan menjadi jembatan emas yang mengantar kita pada kesejahteraan. Sudah saatnya kita memprioritaskan pendidikan sebagai sorotan utama dari nation building. Jika tidak, maka proses pemiskinan dan pembodohan akan terus berlanjut tanpa bisa dihentikan. (*)

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

More in Index

Advertisement
To Top