Oleh: Arif Wahyudi, ME., Ak., CA. – Dosen Pendidikan Anti Korupsi PKN STAN*)
Sebagaimana dimaklumi, per 1 Januari 2016, enam Pasar Daerah yang semula dimiliki dan dikelola Pemkab Tangerang diserahterimakan kepada Pemkot Tangerang Selatan. Keenam Pasar Daerah tersebut adalah 1) Pasar Serpong di Kelurahan Serpong dengan luas tanah 8.730 M2 dan Luas Bangunan 5.742 M2 senilai Rp 1.682.760.000; 2) Pasar Ciputat Kelurahan Ciputat dengan luas Tanah 5.670 M2 dan luas bangunan 3.342 M2 senilai Rp 8.969.549.950; 3) Pasar Ciputat Permai Kelurahan Ciputat dengan luas tanah 1.000 M2 dengan nilai sebesar Rp 1.583.089.473; 4) Pasar Jombang Kelurahan Jombang dengan luas tanah 6.095 M2 dan luas bangunan 1.469,88 M2 senilai Rp 616.814.007; 5) Pasar Bintaro Jaya Kelurahan Rengas dengan luas tanah 830 M2 dan luas bangunan 3.192 M2 dengan nilai sebesar Rp 840.620.000; dan 6) Pasar Genteng Hijau Kelurahan Paku Alam dengan luas tanah 3.396 M2 dengan nilai sebesar Rp 472.044.000. Total nilai asset Pasar Daerah yang diserahterimakan adalah Rp 14.186.379.664,00.
Dalampemberitaan yang lain, pejabat Pemkot Tangerang Selatan menaksir nilai enam pasar tersebut adalah 384 Milyar. Dua penilaian tersebut tidak perlu diperdebatkan karena mungkin satu penilaian menggunakan historical cost, dan yang lain menggunakan nilai pasar.
Setelah hampir dua tahun dikelola Pemkot Tangerang Selatan, ada setidaknya empat problem yang perlu diantisipasi. Keempatnya adalah Problem Serah Terima dari Kabupaten Tangerang; Problem Kebijakan Pengelolaan Pasar; Problem Pengenaan Retribusi Pasar; dan Problem Pembangunan (Revitalisasi) Pasar.
1. Problem Serah Terima dari Kabupaten
Penyerahan enam pasar ini relatif terlambat, apabila dilihat dari waktu yang diberikan UU 51 tahun 2008 tentang Pembentukan Kota Tangerang Selatan. Dalam satu pemberitaan di bulan Oktober 2014 Bupati Tangerang menyatakan kendala penyerahan asset pasar adalah karena PD Pasar (Niaga Kerta Rahardja – NKR) masih terikat kontrak dengan pihak swasta. Ini menyebabkan proses penyerahan aset mundur sampai perjanjian selesai. Karenanya dengan harapan tidak ada saling menggugat, penyerahan aset akan dilakukan setelah selesai kontrak tersebut.
Namun, DPRD Kota Tangerang Selatan pada bulan Mei 2016 menemukan fakta bahwa retribusi di Pasar Serpong masih diserahkan ke Kabupaten Tangerang dan Pasar tersebut masih dikelola oleh PT Bangun Prima Sarana (PT BPS). Problem serupa terjadi di Pasar Bintaro, dimana pihak swastanya adalah PT Andita Mas (AM). Hal yang patut dielaborasi adalah kapan terjadinya kontrak antara PD Pasar NKR dengan PT BPS dan PT AM. Apabila kontrak dilakukan jauh hari sebelum disahkannya UU 51 tahun 2008, maka perjanjian tersebut patut dihormati. Namun, apabila kontrak dilakukan setelah tanggal disahkannya UU 51 tahun 2008, maka penanggung jawab kontrak patut dipertanyakan dari sisi etika dan mungkin juga dari sisi hukum.
Dalam serah terima asset pasar ini, Pemkab Tangerang melakukan penghapusan asset dengan Peraturan Daerah. Ketika asset tersebut kemudian menjadi milik Pemkot Tangerang Selatan, apa bentuk kebijakan untuk pengakuannya? Penulis berpendapat bentuk kebijakannya adalah Peraturan Daerah sebagaimana ketika Pemkot Tangerang Selatan melakukan belanja modal yang kemudian menjadi asset. Bentuk kebijakan untuk belanja modal adalah Peraturan Daerah tentang APBD.
2. Problem Kebijakan Pengelolaan Pasar
Sebelum pasar-pasar diserahterimakan, Walikota Tangerang Selatan menyatakan akan menyerahkan pengelolaannya kepada BUMD – PT Pembangunan Investasi Tangerang Selatan (PT PITS). Direksi PT PITS juga sudah mewacanakan pembentukan anak perusahaan yaitu PT Pasar Tangsel. Wacana ini menghilang seiring terjadinya serah terima, dan kemudian pasar-pasar dikelola Unit Pelaksana Teknis (UPT) Dinas Perindustrian dan Perdagangan Pemkot Tangerang Selatan.
Sebelumnya, di Kabupaten Tangerang pasar-pasar tersebut dikelola oleh PD NKR berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Tangerang Nomor 5 Tahun 2004 Tentang Pengurusan Pasar. Di berbagai daerah, kebijakan pengurusan (pengelolaan) pasar daerah didasarkan pada Peraturan Daerah. Di Tangerang Selatan, belum ada Peraturan Daerah yang mengatur tentang pengelolaan pasar daerah. Hal yang perlu dielaborasi adalah apakah mencukupi Peraturan Walikota sebagai bentuk kebijakan yang memberikan kewenangan kepada UPT menjadi pengelola Pasar Daerah Tangerang Selatan? Bukankah di Tangerang Selatan sudah ada DPRD, dan serah terima asset tersebut bukan sesuatu yang mendadak?
3. Problem Pengenaan Retribusi Pasar
Problem kebijakan berikutnya adalah terkait dengan penarikan Retribusi Pasar. Kepala UPT Pasar diberitakan menaikkan retribusi dari Rp1.500,00 menjadi Rp3.000,00 per hari. Yang bersangkutan mendasarkan pada Peraturan Daerah nomor 9 tahun 2014 tentang Retribusi Daerah. Lebih detail Yang Bersangkutan menunjuk pasal tentang Retribusi Pemakaian Asset Daerah dalam golongan Retribusi Jasa Usaha. Target pendapatannya dicantumkan dalam APBD pos Pendapatan Asli Daerah, rumpun Retribusi Daerah dengan judul Retribusi Pasar.
Perda 9 tahun 2014 tidak menyebut Retribusi Pasar, baik dalam pasal mau pun dalam penjelasan pasal-pasal. Hal itu bisa dimaklumi, mengingat pada saat Perda itu disahkan, serah terima pasar belum terjadi. Masing-masing retribusi dalam Perda tersebut diberi nama secara spesifik seperti Retribusi Pelayanan Kesehatan dalam golongan Retribusi Jasa Umum, Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah dalam golongan Retribusi Jasa Usaha, dan Retribusi Izin Gangguan dalam golongan Retribusi Perizinan Tertentu.
Lalu, apakah pengenaan Retribusi Pasar yang tidak didasari Peraturan Daerah dapat dikategorikan sebagai Pungutan Liar (Pungli)? Hal serupa pernah ditanyakan kepada Prof. Sadu Wasistiono pada tahun 2010, tentang retribusi yang ditarik oleh Pemkot Tangerang Selatan yang pada saat itu belum mempunyai Peraturan Daerah. Sadu menyerahkan jawabannya kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Penulis sependapat dengan jawaban tersebut. Pemkot atau pun DPRD Kota Tangerang Selatan perlu secara proaktif menyampaikan hal ini ke BPK, untuk mendapatkan pandangan yang tepat dan solusi terbaik.
4. Problem Pembangunan (Revitalisasi) Pasar
Setelah diserahterimakan awal tahun 2016, Pemkot Tangerang Selatan menyatakan tekad untuk merevitalisasi Pasar Ciputat mulai tahun 2017 hingga rampung tahun 2018. Pemkot Tangsel bertekad menyulap pasar tersebut menjadi pasar modern. Namun hingga tahun 2017 hampir berakhir, pembangunan Pasar Ciputat belum dilakukan. Pasar Serpong masih kumuh dan semrawut, serta Pasar Jombang masih dinilai kotor. Ada kekhawatiran dari para pedagang apabila pasarnya dibangun maka akan berdampak pada kenaikan harga sewa. Kekhawatiran itu semestinya tidak perlu apabila Pemkot merevitalisasi dengan menggunakan APBD. Namun, pedagang tersebut barangkali belajar dari pengalaman pahit berhadapan dengan pembangunan pasar dari waktu ke waktu.
Di sisi lain, mangkraknya beberapa gedung yang dibangun barangkali menjadi latar belakang kegamangan Pemkot merevitalisasi pasar-pasar. Merevitalisasi pasar tentu lebih kompleks dibandingkan dengan merehab total gedung dewan, apalagi sekedar membangun gelanggang budaya yang kenyataannya masih mangkrak. Apabila pembangunan pasar berujung mangkrak, ratusan bahkan mungkin ribuan orang akan terkena dampaknya.
Problem-problem di atas hendaknya direspons oleh Pemkot dan DPRD Kota Tangerang Selatan. Membiarkan problem tanpa keseriusan mencari solusi akan menambah rumit problem dan mungkin menciptakan ‘bola liar’ yang sulit dikendalikan.
*) pendapat pribadi
Perda tentang PT.Pembangunan Investasi Tangerang Selatan (PITS) berdasarkan kajian masih blm bisa mengelola pasar,air dll ,sebaiknya harus ada Perda ttg pasar,air yg khusus