Perusahaan properti ternama PT Paramount Land Development dituntut oleh konsumennya senilai Rp 3 miliar. Tuntutan tersebut diketahui dalam persidangan sengketa konsumen yang digelar di ruang sidang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Kota Tangerang Selatan (Tangsel) Balai Kota Tangsel, Kelurahan Serua, Kecamatan Ciputat, Kamis (5/10/2017).
Dalam persidangan tersebut, Nancy Susianna selaku konsumen mengatakan, dirinya merasa dirugikan oleh pihak pelaku usaha (PT Paramount Land Development). Pasalnya, diduga pelaku usaha telah melakukan wanprestasi terhadap dirinya dalam jual beli unit rumah Karelia Village di Jalan Onega No. 16, Gading Serpong, RT 01, RW 29, Kelurahan Medang, Kecamatan Pagedangan, kabupaten Tangerang.
Menurut pengakuan Nancy, unit rumah yang dibelinya tidak sesuai keterangan awal yang didapatnya dari pihak pelaku usaha. Seperti dalam laporan tertulisnya ke BPSK Kota Tangsel diantaranya, kawasan untuk bersosialisasi dan olahraga untuk warga tidak sesuai ukuran luas lahannya dan fisik unit rumah yang tidak sesuai seperti pemasangan teralis dan penangkal bebas nyamuk. Padahal, hal itu telah diterangkan didalam brosur milik pelaku usaha yang dijadikan alat menarik konsumen.
Dengan demikian, lanjutnya, tindakan pelaku usaha melanggar Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen sebagaimana disebutkan dalam pasal 8 ayat 1 huruf (f): pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang/jasa yang tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut.
“Saya menggugat pengembang tersebut karena tindakan pelaku usaha yang merugikan saya sebagai konsumen. Dan juga pelaku usaha tidak menepati janji yang diberikan saat memberikan brosur. Buktinya (brosur) sudah saya lampirkan dalam laporan saya,” ungkap Nancy.
Dirinya pun juga merasa dirugikan dengan adanya kenaikan biaya IPKL (Iuran Pemeliharaan Kebersihan Lingkungan) yang dilakukan secara sepihak oleh PT Paramount Land Development dengan dalih Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB). Menurutnya, PPJB adalah perjanjian sebelum terjadinya jual beli. Selain itu, dirinya pun belum mendapat informasi terkait tanah makam yang merupakan fasilitas yang wajib diadakan pelaku usaha.
Saat ditanyai tuntutan senilai Rp 3 M kepada pelaku usaha, Nancy mengatakan sesuai dengan laporan tertulisnya, bahwa tuntutan yang diajukannya sudah sesuai dengan aturan yang ada dan haknya sebagai konsumen.
Sementara, diketahui surat jawaban dari pihak PT Paramount Land Development dengan nomor 001/LMS/X/2017 yang diberikan ke BPSK Tangsel melalui kuasa hukumnya, membantah setiap dalih yang diajukan konsumen. Seperti brosur penjualan, bagi pihak pelaku usaha dapat mengalamih perubahan tanpa pemberitahuan. Lalu, pemasangan teralis, kasa nyamuk, dalam laporan jawaban tersebut pihak konsumen yang menolak pemasangannya. Terkait tudingan tanah makam, pihak termohon (pelaku usaha) juga membantahnya.
Disisi lain, Fajri Safi’i, Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tangerang menyayangkan masih banyaknya kasus sengketa konsumen terutama di bidang properti. Menurutnya, kasus yang dialami Nancy sering terjadi, hal ini dikarenakan lemahnya pengawasan pemerintah terhadap pemasaran properti, mulai dari pengajuan izin lokasi, IMB, dan lainnya.
“Seharusnya diperketat dan jangan ada permainan dalam pemberian izin. Misalnya syarat untuk IMB dan izin lokasi harus 40% fasos fasum dan 2% tanah makam, ini yang dirasa tidak dilakukan pengawasan secara ketat oleh pemerintah,” ungkap saat dihubungi tangerangonline.id via telepon, Jumat (6/10/2017).
Soal tanah makam yang disoalkan Nancy, Ketua YLKI Tangerang ini pun geram, pasalnya kerap kali keberadaan tanah makam yang diberikan pengembang kepada pemerintah tidak jelas.
Ia pun juga mengatakan, dalam hal pemasaran pengawasan terhadap perjanjian baku itu harus dilakukan secara ketat dan berkesinambungan. Namun, hal ini tidak pernah dilakukan pemerintah dan malah membiarkan sehingga mengakibatkan perjanjian baku yang melanggar Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
“Apa yang dilakukan pemerintah terhadap pengawasan perjanjian baku ini nggak ada sama sekali, akhirnya begini akibatnya masyarakat konsumen yang menjadi korban. Pelaku usaha hanya mengacu kepada perikatan perdata yang dibuat sepihak oleh mereka semuanya merugikan konsumen, konsumen selalu saja dalam posisi yang lemah,” ujarnya.
Baginya, saat ini pemerintah pusat maupun daerah belum memaknai Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) sebagai jiwa pembangunan ekonomi bangsa, demikian juga pelaku usaha, masih memaknai UUPK itu sebatas legalformal yang selalu dicari celah menyelamatkan diri bukan berusaha utk meningkatkan kualitas barang dan jasa.
“Saya harap dari kasus ini pelaku usaha harus ditindak tegas, karena mereka itu bisa dipidana dengan UUPK,” pungkasnya. (abi)