Beranda Berita Permahi Nilai Supres Revisi UU KPK Terburu-buru

Permahi Nilai Supres Revisi UU KPK Terburu-buru

0

Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (PERMAHI) M. Andrean Saefudin, menilai penandatanganan surat presiden (Supres) mengenai revisi UU KPK ini terkesan terburu-buru dan menimbulkan pertanyaan yang serius terutama kepada presiden, Revisi Singkat UU KPK: Kepentingan Siapa?.

Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Presiden memiliki waktu 60 hari untuk berpikir sebelum mengeluarkan surat atau menyatakan sepakat.

“Kenapa 60 hari? Kalau Orang di Istana buka UU 12 Tahun 2011, adalah supaya presiden berhati-hati dan paham betul substansi undang-undang yang di maksud. Jadi, kalau terburu-buru seperti sekarang, kembali menimbulkan pertanyaan pada publik siapa, sebenarnya Aktor utaman dalam Revisi UU KPK ? Ada waktu 60 hari untuk pikir-pikir,” kata M. Andrean, dalam keterangannya kepada media, di Sekertarian PERMAHI, Jakarta Selatan, Jumat (12/9/2019).

“Apalagi ada beberapa substansi dalam RUU KPK yang bisa kita perdebatkan dan menjadi perdebatan publik, kenapa presiden terkesan harus buru-buru menanda tangani surat presiden terkait RUU KPK?” sambungnya.

M. Andrean menjelaskan terdapat lima tahapan dalam pembentukan Undang-undang. Tahap itu meliputi pengajuan, pembahasan, persetujuan, pengesahan, dan pengundangan.

Tahap revisi UU KPK kemarin berada di pembahasan. Namun, dalam waktu yang sangat cepat Presiden Jokowi menandatangani dan menyetujui RUU KPK.

“Bisa Anda bayangkan dengan proses yang singkat seperti ini RUU KPK mau dibahas dan disahkan sementara masa jabatan Anggota DPR tinggal berapa hari,” tukas dia.

Dia pun mengkritik sikap Jokowi yang tutup mata dan telinga terhadap masukan publik dan KPK yang digaungkan sejak pembentukan panitia seleksi calon pimpinan KPK.

“Presiden dan DPR perlahan-lahan mencabut oksigen dari ekosistem pemberantasan korupsi,” diperparah lagi Presiden bisa dikatakan sukses membangun Infrastruktur tapi gagal membangun reformasi dan logika hukum simpul M. Andrean.

Dia menilai Pemerintah dan DPR sedang berkonspirasi, lalu mau dibawa kemana masadepan Pemberantasan Korupsi, jika kewenangan KPK dilucuti. Ini pertanya serius untuk Presiden Jokowi ?

“Ini preseden buruk dalam ketatanegaraan Indonesia yang menganut sistem Negara Hukum Yang Demokratis, dimana DPR dan Pemerintah berkonspirasi diam-diam untuk melucuti kewenangan suatu lembaga tanpa berkonsultasi, dan mendengakarkan kitik publik,” jelasnya. (Ed)