Oleh: Deni Iskandar, Mahasiswa Jurusan Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Sebagai bangsa yang majemuk, Indonesia sejatinya memiliki banyak sekali keberagaman, baik keberagaman suku, etnis, ras, bahasa, budaya bahkan agama. Saat ini, dinamika kehidupan berbangsa, sudah mengarah pada dinamika anti kemajemukan. Munculnya semangat antar etnis, suku bahkan santer kembali, konflik antar umat beragama juga kembali terjadi.
Sepekan lalu, (30/07/2016) pembakaran rumah ibadah kembali terjadi di Tanjung Balai, Medan Sumatera Utara. Rupanya fenomena pembakaran rumah ibadah dimasa kepemimpinan Jokowi sudah mulai menjadi tradisi, tentu ini adalah persoalan yang harus dibenahi secara serius oleh pemerintah.
Sepanjang pemerintahan Jokowi, kasus pembakaran rumah ibadah sudah banyak terjadi, dari mulai kasus Tolikara di Papua, Sabang, Singkil Aceh, bahkan dalam waktu dekat ini, pembakaran rumah ibadah pun kembali terjadi. Semangat persatuan, dan dinamika kemajemukan perlahan telah terkikis oleh satu arus yakni, arus absennya negara dalam melihat fenomena kemanusiaan ini.
Konsep Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika sebagai pemersatu bangsa, saat ini sudah tidak berbanding lurus, terdapat kesenjangan yang jauh antara konsep yang semestinya, dengan tindakan yang senyatanya. Konsep Pancasila yang dicetuskan oleh Founding Father sejatinya merupakan konsep yang paling ideal, jika diejawantahkan dalam kehidupan berbangsa.
Mau bagaimana pun dan dalam kondisi apa pun, tindakan pembakaran rumah ibadah, yang mengarah pada tindakan intoleran dan disintegrasi bangsa, tidak dibenarkan oleh hukum mana pun, baik oleh Hukum Negara (UU), maupun Hukum Agama (Hukum Tuhan). Peristiwa yang terjadi di Indonesia belakang ini, menurut hemat penulis, disebabkan karena beberapa faktor.
Pertama, bangsa Indonesia saat ini sudah mulai menjauhi dan tidak megamalkan nilai-nilai luhur Pancasila, dan tidak mengkaji agama secara hikmat. Kedua, minimnya pemahaman toleransi antar umat beragama di Indonesia. Ketiga, cara berpikir sempit, yang pada akhirnya mengarah pada tindakan Intoleran. Keempat, kurang membuminya, transformasi nilai toleransi yang dikampanyekan oleh pemerintah pada masyarakat, terutama pada masyarakat ditingkat bawah, seperti kaum muda.
Empat faktor yang telah disebutkan diatas, merupakan persoalan penting dikaji oleh pemerintah. Apalagi “Revolusi Mental”, menjadi Platfrom pemerintahan Jokowi, dan menjadi konsep besar pemerintahan Jokowi untuk membangun kehidupan bangsa kearah yang lebih baik dan progresif. Apa yang menjadi Platfrom Pemerintah, seharusnya membumi dan bisa tertaman dalam cara berpikir masyarakat luas.
Sebagai bangsa yang majemuk, seharusnya, kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, dapat berjalan dengan baik, stabil dan damai. Apa yang tercetus dalam Pancasila seharusnya menjadi acuan dasar bagi kita semua, dalam mengaktualisasikan persatuan, bagaimana pun, persoalan disintegrasi, Intoleransi, sentimen ras, suku harus kita hindari. Karena bagaimana pun, kedepan kita harus menjadi bangsa yang kuat.
Salah satu upaya, mewujudkan bangsa yang kuat dan kokoh, yaitu, mengaktualisasikan nilai-nilai luhur Pancasila dan Agama. Karena bagaimana pun, dalam setiap agama, baik agama formal versi Negara, maupun Aliran kepercayaan, memiliki konsep persatuan, dan konsep saling menghargai satu sama lainnya.
Dalam hal ini, secara umum terdapat dua kategori, klasifikasi agama di Indonesia, pertama, Agama Formal (Islam, Kristen, Hindu, Buddha, dan Khonghucu) yang telah ditetapkan oleh pemerintah, kedua, aliran kepercayaan, yang secara administratif dijadikan sebagai sub culture, bagian dari budaya. Padahal kehadiran aliran kepercayaan di Indonesia hampir terletak disemua daerah dan sudah menjadi kearifan lokal, salah satunya, aliran kepercayaan sunda wiwitan di Banten.
Ketika upaya yang telah disebutkan diatas, sudah dijalankan oleh bangsa ini, saya bisa memastikan bahwa, bangsa ini akan bisa hidup berdampingan, damai, menghargai sesama, dan tidak menjadikan perbedaan sebagai musuh yang harus diperangi. Apa yang telah tercetus dalam Pancasila selaras dengan yang tertera dalam nilai-nilai agama secara umum.
Karena bagaimana pun, butiran yang terdapat dalam pancasila sejatinya mengarah pada kemaslahatan bangsa, dan nilai-nilai yang tertera dalam agama sejatinya membawa kemaslahatan (Kesejahteraan) bagi umat. Ini artinya, apa yang terkandung dalam nilai-nilai pancasila secara umum juga terkandung dalam ajaran agama, dan dalam hal ini, pancasila dengan agama memiliki titik temu dan selaras.
Sebagai bangsa yang bertuhan, kita harus mewujudkan semangat yang tertera dalam nilai-nilai pancasila dan ajaran agama, jangan sampai, sebaliknya, kehidupan berbangsa dan bernegara kita, mengarah pada tindakan tak bertuhan. (*)