Berita
PWI Anugerahi BJ Habibie sebagai Bapak Kemerekaan Pers Indonesia
Kemerdekaan Pers adalah keniscayaan mutlak berdasar prinsip hak asasi warga negara. Namun dalam perjalanan sejarah Indonesia sebelum reformasi 1998, kemerdekaan pers mengalami masa-masa kelam, bahkan gelap.
Pada masa Orde Lama, pers pernah behadapan dengan kekuasaan. Kritik pers kepada pemerintah dianggap sebagai permusuhan dan karena itu harus dilarang.
Menurut Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat, Atal S Depari, pada masa orde baru sejumlah surat kabar yang dianggap tidak sejalan dengan kehendak pemerintah, dihentikan dengan paksa. Surat Izin Terbit (SIT) dicabut.
“Pada masa itu, surat kabar yang ditutup, di antaranya Indonesia Raya. Bapak Mochtar Lubis, pemimpin Indonesia Raya bahkan dipenjarakan selama sembilan tahun tanpa proses peradilan,” kata Atal pada Senin (16/9/2019).
Dia menyebut, pada masa Orde Baru, harapan untuk kemerdekaan pers, kembali redup. Indonesia Raya yang sempat terbit, kembali dibreidel setelah peristiwa Malari, Januari 1974.
“Media lain yang dibredel antara lain Harian KAMI, Abadi, The Jakarta Times, Pedoman, dan Ekspres. Setelah Pemilu 1977, pembredelan menimpa antara lain Kompas, Merdeka, Sinar Harapan, dan Pelita. Alasan yang digunakan, antara lain pers membahayakan keamanan negara dan mengadu-domba,” ujarnya.
Atal menjelaskan, pengekangan kebebasan pers kemudian dihalalkan Orde Baru, melalui Undang-undang No.21 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers. Kemudian, UU21/1982 ini melahirkan Peraturan Menteri Penerangan Nomor 1 tahun 1984, yang mengharuskan setiap penerbitan pers memerlukan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Menyusul UU 21/1982 dan Permen 1/84, pencabutan SIUPP menimpa Majalah Tempo, Majalah Editor, dan Tabloid Detik, dicabut SIUPP-nya pada 21 Juni 1994.
“Masa Orde Lama dan Orde Baru tersebut, mulut pers ditutup. Pers hanya dapat melihat dan mendengar, tapi tidak boleh berteriak. Hasil liputan tidak untuk diumumkan, disimpan di laci editor, dibuang, atau hanya jadi catatan pribadi,” tutur Atal.
Kemerdekaan Pers
Reformasi 1998 telah mengubah segalanya. Presiden BJ Habibie dalam masa pemerintahan yang singkat atau selama 512 hari, telah mengubah ketakutan menjadi keberanian.
Sejumlah undang-undang yang sebelumnya mengekang, dicabut. Kebebasan bersyarikat, hak asasi manusia, kebebasan menyatakan pendapat dibuka luas.
Satu yang sangat fenomenal, adalah terbitnya Undang-undang
Nomor 40/1999 tentang Pers. Apabila masa sebelumnya, penerbitan pers harus seizin pemerintah melalui Surat Izin Penerbitan Pers (SIUPP) yang dikeluarkan Kementerian Penerangan dengan berbagai syarat, Habibie pun membebaskannya.
“Tentu kami yakin, Pak Habibie tahu bahwa kemerdekaan pers yang dihalalkannya melalui UU 40/1999 tersebut, akan mengkritisi dan bahkan menyerang dirinya di saat kondisi ekonomi dan politik tidak stabil ketika itu, namun Pak Habibie tetap konsisten atas kemerdekaan pers,” terang Atal.
Bagi Habibie lanjut Atal, kemerdekaan pers adalah bagian dari upaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa yang menjadi salah satu tujuan pembentukan negara Indonesia.
Atas alasan tersebut, Persatuan Wartawan Indnesia (PWI) pada Hari Pers Nasional (HPN) di Manado, 9 Februari 2013 lalu memberikan penghargaan medali emas kemerdekaan pers.
Hari ini, PWI Pusat menyerahkan anugerah ‘Bapak Kemerekaan Pers Indonesia kepada Ilham Habibie, putra sulung BJ Habibie.
“Bagi kami, kalangan pers, anugerah ini untuk mengingatkan bangsa Indonesia, juga pemerintah, bahwa kemerdekaan pers tersebut adalah kemutlakan untuk Indonesia yang demokratis, kuat, dan untuk kepentingan rakyat seluas-luasnya,” jelasnya.
“Habibie telah membuka kemerdekaan pers, tepat 20 tahun lalu. Bagi kita semua, tidak ada jalan untuk mundur –bahkan kita harus semakin memperkuatnya dalam situasi apapun,” tegas Atal. (Ed)
