Jurnalisme data bisa dianggap sebagai suatu arah untuk membangun apa yang di cita-citakan, yakni jurnalisme berkualitas. Tugas pokok sebagai wartawan adalah mendudukkan persoalan membantu pembaca kita mengerti secara baik duduk persoalan tentang sesuatu.
Dalam hal itu, jurnalis memiliki banyak alat bantu, selain dibantu narasumber (ahli) juga banyak dibantu oleh data.
Jurnalisme data sedikit banyak telah membantu wartawan untuk menggali ruang yang lebih luas. Tidak semata-mata bergantung pada narasumber untuk memotret satu situasi sosial, tapi juga bisa mengandalkan kemampuannya untuk membaca data.
Hal itu disampaikan, Frans Surdiasis, Dosen Jurnalisme, Unika Atmajaya Jakarta, dalam ajang pelatihan Fellowship Jurnalisme Pendidikan (FJP) yang digelar secara daring, Rabu, (2/3/22) di Jakarta.
“Instrumen teknis tentu tidak bisa kita pelajari dalam waktu satu setengah jam, tapi kalau kita sudah bisa membangun mind set nya, maka saya selalu percaya bahwa kita punya alasan untuk eksplorasi individual kedepannya,” terang Mentor FJP, Frans Surdiasis.
Saat ini, menurut Frans, kita masuk dalam perkembangan, bahwa jurnalisme sedang tidak baik-baik saja dan memang ada perhatian serius soal kualitas jurnalisme saat ini. Berkaitan dengan kualitas itu, ada dua fenomena yang menonjol.
Pertama, kata Frans, apa yang dinamakan “clikbait jurnalism”, yakni cara kerja jurnalisme untuk mendorong orang melakukan “click” atas apa yang kita tulis, terkadang dibuat judul yang bombastis dan ada juga judul yang tak muncul dalam isi berita.
Kedua, lanjutnya, sejalan dengan fenomena “clickbait” itu, muncul juga satu fenomena, apa yang disebut dengan “dumbing down”, dimana ada semacam kerusakan pada jurnalisme itu.
“Sehingga citarasa jurnalisme itu menjadi rusak secara keseluruhan dan ini yang kita sebut sebagai dumbing down. Sekarang itu yang sering terjadi adalah satu narasumber menjadi sekian banyak berita, tapi (berbeda) kalau dulu satu berita melibatkan sekian banyak narasumber. Inilah yang disebut fenomena dumbing down,” beber mantan Kepala Litbang The Jakarta Post ini.
Selain kualitas, persoalan juga ada pada dimensi trust yang menjadi satu tali-temali persoalan, dimana kepercayaan publik terhadap media massa itu berkurang.
Frans membeberkan, laporan Digital News Report 2021 yang dilansir Reuters Instirute, yang melakukan survey di Indonesia. Dalam laporan itu, ditemukan bahwa tingkat kepecayaan publik kepada berita sebesar 39 persen. Angka ini lebih rendah dari angka kepercayaan pada media ditingkat global yang sebesar 44 persen .
“Tapi terlepas dari angkanya, secara keseluruhan kita melihat baik di Indonesia maupun di tingkat global, itu trust (kepercayaan) terhadap media itu relatif rendah. Bila kita analogikan (survey) ini dengan tingkat kepercayaan publik terhadap pejabat, maka dipastikan tidak akan terpilih lagi dalam pemilu, bila melihat angka-angka ini, itu 90 persen kemungkinannya dia gagal. Hal ini hanya gambaran bahwa memang ada persoalan serius,” urai wartawan senior yang kini aktif sebagai pengajar.
Karenanya, kita perlu menyegarkan kembali jurnalisme dengan memperkuat perannya dalam menyediakan informasi yang bermakna bagi khalayaknya. Dengan penggunaa data, fokus pekerjaan wartawan bergeser dari orang pertama yang melaporkan kejadian menjadi orang yang menyampaikan apa makna dari sebuah kejadian bagi pembaca atau pemirsanya.
“Kapasitas yang diperlukan dari wartawan bukan lagi mencari informasi, yang utama, melainkan mengelola informasi. Jurnalisme data, berarti menyampaikan cerita dengan data dan menemukan makna didalamnya,” ucapnya.
“Di era sekarang, showing data telah menjadi satu kemampuan yang generik sifatnya. Kemampuan yang harusnya dimiliki semua orang. Seseorang perlu bergerak ke level kemampuan yang lebih tinggi yakni telling story with data, dan didalam data terdapat ceritanya, there is a story in your data, ” demikian dikatakan Mentor Fellowship Jurnalis Pendidikan (FJP) Gerakan Wartawan Peduli Pendidikan (GWPP), Frans Surdiasis.(MRZ)