Beranda Berita Kiat Menulis Feature Bersih dari Hoax Dari Mentor Fellowship Jurnalisme Pendidikan

Kiat Menulis Feature Bersih dari Hoax Dari Mentor Fellowship Jurnalisme Pendidikan

0

 

Feature bisa dikatakan sebagai gaya menulis bebas, menggunakan gaya bahasa bertutur penulis sendiri. Meskipun bebas, penulis tidak boleh menyelipkan hoax atau informasi palsu. Biarkan keindahan feature itu alami, jangan dipoles dengan kata-kata yang tidak mengandung kebenaran. Feature bukan karya fiksi meski penulisannya boleh menggunakan gaya fiksi seperti novel.  Feature adalah non-fiksi, berdasarkan fakta dan data.

“Meski bertutur dengan bahasa sendiri, penulis feature tetap harus menjelaskan dari mana sumber informasi berasal. Sebutkan, kalau mengutip referensi, berita media, buku, atau catatan percakapan. Teknik penulisan feature merupakan cara khusus untuk menulis ragam jurnalistik di luar berita langsung (straight news),” tutur Mohammad Nasir, Mentor Fellowship Jurnalisme Pendidikan (FJP) Batch IV, Gerakan Wartawan Peduli Pendidikan (GWPP) dalam arahannya kepada peserta, Selasa (24/5/22) di Jakarta.

Ragam berita di luar straight news itu apa saja? Sebut saja tulisan mendalam (indepth report) yang mengungkapkan kedalaman persoalan, laporan investigasi (investigative reporting), berita ringan (soft news), dan profile tentang orang, ataupun lembaga.

Karena menulis feature adalah bagian dari jurnalistik, maka materi yang digunakan berasal dari berita yang diperoleh melalui kegiatan jurnalistik. Ramuannya adalah hasil wawancara, pengamatan, dan perpustakaan atau referensi.

Unsur pertanyaan yang harus dijawab dalam feature sama dengan straight news, yaitu apa (what), kapan (when), siapa (who), dimana (where), mengapa (why), dan bagaimana (how). Rumusan pertanyaan yang terkenal dengan singkatan 5 W dan 1H.

Tetapi seringkali tidak berhenti pada pertanyaan-pertanyaan tersebut. Apa yang harus dilakukan ke depan (what’s next) juga seringkali dituliskan supaya pembaca mengikutinya.

Format feature tidak mengenal piramida terbalik. Terserah penulis mana yang dinilai menarik untuk dijadikan lead (paragraph pertama), mana untuk bagian body (isi, uraian), dan mana bagian penutup. Jadi susunannya: judul, lead, body, penutup.

Lead yang ditulis setelah judul, merupakan paragrap pertama tulisan sangat menentukan apakan pembaca akan terus membaca sampai akhir atau cukup di lead saja. Karena itu, lead sebisa mungkin dibuat semenarik mungkin.

“Cermati di antara 5W dan 1H, kalau di antaranya ada yang paling menarik dan penting tulislah untuk lead.Biasanya feature mengambil why atau how untuk lead. Akan tetapi tidak selalu demikian, tergantung unsur mana yang paling extraordinary,” terang Sekjen Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Pusat ini.

Kalau unsur “where” dinilai paling luar biasa menarik dan terkenal atau luar biasa (extraordinary), bisa diambil sebagai lead. Misalnya, sambung Nasir, bom bunuh diri yang terjadi di Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan pada  Rabu, 31 Maret 2021.

Markas besar polisi sebagai unsur “tempat/where” sangat menarik untuk dijadikan lead, maupun judul. Dikatakan menarik karena yang kebobolan tersangka teroris ini markas polisi, bukan tempat kerumunan massa di jalan.

Jadi cerita ini dimulai dari mana saja tetap menarik, terutama dari unsur tempat kejadiannya.  Misalnya saja, “Perempuan itu sebelum terkapar akibat bom yang diledakkan sendiri di halaman Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia, Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan, ia menembaki pos penjagaan yang dijaga polisi bersenjata. Ketika itu orang-orang yang berada di dekat kejadian berlarian menghindar”.

Ringan dan Enak Dibaca

Menggunakan gaya bertutur dalam feature diperlukan kepandaian bercerita, dan memformuluasikan kata-kata untuk menyampaikan esensi pesan berita, bukan hanya memindahkan kalimat-kalimat yang diucapkan sumber atau orang yang diwawancarai. Bila dalam tulisan diperlukan kutipan langsung dari orang yang diwawancarai penulis, diperbolehkan, kalau itu dirasakan bisa mengihidupkan cerita dan tempatkan  pada alur cerita yang tepat.

“Dengan cara seperti itu, penulis seperti sedang bercerita langsung pada pembaca. Ceritanya akan mengalir, dramatic, enak dibaca, renyah, dan ringan. Di kalangan wartawan feature dianalogikan makanan ringan, sebagai selingan. Karena itu gunakan bahasa sederhana, kalimatnya tidak beranak-pinak,” ujar mantan wartawan senior Harian Kompas ini.

Dalam penulisan paragrap hendaknya tidak terlalu panjang, cukup dua alenia, terutama ketika tulisan untuk media online yang kemudian dibaca di layar sempit pada gadget atau smartphone. Gunakan kata kerja aktif, dengan awalan “me” supaya tulisan terasa hidup. Ini kebalikan dengan yang digunakan dalam penulisan ilmiah yang banyak menggunakan kata kerja pasif (berawalan “di”).

Hindarkan penggunaan kata sifat kecuali kita menunjukkan fakta-faktanya secara memadai. Lebih baik mengganti kata sifat dengan kata kerja dan kata benda yang jelas. Misalnya, kata sifat “kaya”, diganti dengan kata “memiliki 10 rumah, dan memiliki tiga mobil masing-masing seharga di atas Rp 5 miliar”, kata “cantik”, diganti dengan kata-kata yang sudah umum dipahami masyarakat, misalnya “hidung mancung, rambutnya berombak”, dan seterusnya. Ini untuk menghindari opini dari penulis.

Sejumlah kata sifat yang perlu dihindari antara lain, baik, luar biasa, cantik, indah, ramah, mudah, sulit, kotor, segar, buruk, murah, mahal, besar, kecil.

“Ketika kamu menggunakan kata sifat, kamu akan berisiko menyelipkan opinimu ke dalam cerita,” kata Carole Rich dalam bukunya Writing and Reporting News, A Coaching Methode, Wadsworth Chengage Learning, 2010.

Wartawan tidak boleh menulis opininya sendiri. Wartawan hanya melaporkan kejadian, dengan keadaan apa adanya dengan sudut pandang yang menarik.

Gaya Narrative Writing

Penulis feature dituntut mempunyai kemampuan menarasikan suatu kejadian atau keadaan yang dilihatnya sendiri atau berdasarkan interview yang sangat detil. Carole Rich dalam bukunya memberi contoh feature berseri tulisan Tom French dari St. Peterburg (Fla.) Times. French menulis feature berseri tentang kasus pembunuhan yang sudah diadili di pengadilan.

Feature berseri hingga 10 tulisan itu ternyata mendapat sambutan luar biasa dari pembaca dan terkenal dengan sebutan “A Cry in the Night”. Dia memberi pengantar feature-nya sebagai berikut: Korban itu bukan orang kaya. Dia bukan anak perempuan dari seseorang yang sedang berkuasa. Ia hanya perempuan berusia 36 tahun yang berusaha menghidupi dirinya sendiri. Namanya Karen Gregory. Malam itu dia tewas terbunuh. Karen menjadi bagian dari angka statistic ini adalah apa yang dalam keseharian kadang-kadang dikatakan sebagai “pembunuhan kecil”.

French kemudian mengawali ceritanya dengan gaya naratif yang diambil dari keterangan sidang pengadilan dengan tersangka  George Lewis yang sehari-hari bekerja sebagai pemadam kebakaran. Ia tinggal di seberang jalan rumah Karen Gregory yang tewas terbunuh. French mengawali feature-nya seperti dibawah ini.

Pengacaranya memanggil namanya. Ia berdiri dan meletakkan tangannya di atas Bible dan bersumpah akan mengatakan yang benar. Ia duduk di tempat para saksi dan menghadap ke arah anggota juri sehingga mereka bisa melihat wajahnya, serta mempelajari pria macam apa dia sesungguhnya sebagai bahan pertimbangan untuk membantu pengambilan keputusan.“Apakah kamu memperkosa Karen Gregory?” tanya pengacaranya. “Tidak Pak. Saya tidak melakukan itu,”. “Kamu membunuh Karen Gregory?”. “Tidak Pak”.

Dia mendengar jeritan malam itu, kata dia. Ia mendengarnya, lalu keluar rumah menuju jalan, melihat sekeliling.Ia melihat orang yang tidak dikenal berdiri di halaman rumah Karen. Orang itu mengatakan akan pergi, dan meminta jangan menceritakan pada orang lain apa yang dia lihat. Ia menunggu orang itu pergi-mengawasi dia pergi jauh kedalam kegelapan—dan kemudian ia pergi ke rumah Karen. Ada pecahan kaca di depannya. Ia mengetuk pintu depan. Tidak ada jawaban. Ia mendapati jendela dalam keadaan terbuka.

Ia berteriak apakah ada yang memerlukan bantuan! Masih juga tidak ada jawaban. Ia melihat dari jendela yang terbuka melihat orang tergolek di lantai. Ia memutuskan untuk masuk, ia memanjat kedalam dan menemukan Karen. Darahnya sudah mengalir kemana-mana.Ia takut. Ia lari ke kamar mandi dan muntah. Ia tahu tidak akan ada orang yang percaya bahwa dia bisa sampai masuk dalam rumah itu dengan ada mayat Karen. Ia harus keluar dari sana. Dia lari ke depan menuju jendela dan memanjat keluar ketika ia melihat sesuatu bergerak dalam kegelapan.

Ia mengira ada seseorang melompat ke arah dia. Kemudian ia tersadar bahwa ia sedang melihat kaca, dan hanya dirinya lah yang ada dalam kaca itu. Itu ternyata hanya bayangannya sendiri yang mengejutkan dirinya. Dialah George.   – Tom French, St Petersburg (Fla.) Times.

Tulisan tersebut terasa seperti sebuah novel misteri, namun ini cerita semuanya benar, berdasarkan hasil wawancara kurang lebih 50 orang dan 6000 halaman dokumen pengadilan. Gaya penulisan itu disebut tulisan narasi (narrative writing). Narrative writing, suatu tulisan bertutur yang dramatic, merekonstruksi kejadian, untuk mengajak pembaca seakan-akan menjadi saksi atau menyaksikan kejadian yang sedang dituturkan penulis.

Gaya Descriptive Writing

Penulisan dengan gaya diskripsi juga digunakan untuk menulis berita feature. Walaupun feature menggunakan diskripsi dan terasa seperti novel, bahan utamanya tetap serangkaian fakta (non-fiction), bukan fiction seperti novel. Contoh ini diambil dari feature berseri karya Tom French yang meraih hadiah Pulitzer 1998. Cerita berjudul “Angels and Demons” mengungkapkan penemuan mayat perempuan dengan gaya diskripsi: Perempuan, mengapung, wajahnya menghadap ke bawah. Kedua tangannya terikat ke belakang punggung dan kakinya terikat. Tali warna kuning mengikat lehernya. Ia telanjang dari pinggang ke bawah.

Seorang pria dari Amber Waves (perahu layar) telah memberi tahu Penjaga Pantai melalui alat komunikasi, dan perahu penyelamat sudah diberangkatkan, dari tempat pangkalannya di Pelabuhan Bayboro Harbor di St Petersburg. Awak Penjaga Pantai segera mengambil mayat, tetapi sulit mengangkatnya dari air. Tali yang mengikat lehernya, terikat sesuatu yang berat di bawah permukaan, sehingga sulit diangkat.

Mencatat koordinat dimana mayat ditemukan. Awak Penjaga Pantai memotong jalur, memasukkan mayat ke dalam kantung jenazah, menaikkannya ke dalam perahu, dan menuju kembali ke pangkalan.. -Tom French, St Petersburg (Fla.) Times.

Demikian lah gaya diskripsi yang menggambarkan suasana, keadaan, warna, bau,  rasa, cuaca, arah angin dan lainnya sehingga pembaca merasa diajak menyaksikan sendiri apa yang sedang kita tuturkan.

“Gunakan diskripsi yang relevan dengan konten feature. Diskripsi juga jangan digunakan terlalu banyak, karena akan mengacaukan cerita. Jika terlalu sedikit diskripsi, pembaca juga tidak punya bayangan untuk masuk ke dalam cerita. Diskripsi biasanya untuk menggambarkan lokasi dan orang,” beber Penguji Uji Kompetensi Wartawan (UKW) Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat ini.

Penulisan gaya diskripsi biasanya juga dikombinasikan dengan narasi, dialog-dialog, analogi-analogi, plot, dan rekonstruksi kejadian seperti yang telah terjadi.

“Tetapi perlu diingat, walaupun penulis diberi kebebasan dalam menulis feature, ada rambu-rambu yang harus diperhatikan, antara lain menjunjung tinggi nilai kesopanan dalam berbahasa, tidak mengumbar kata-kata yang mengandung kebencian,  tidak mengandung pornografi, dan tidak menyinggung suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA). Dan, tentu saja kita menggunakan bahasa yang baik dan benar,” tutup Nasir. (MRZ)