Home Index Busana Muslim, antara Budaya dan Syariat

Busana Muslim, antara Budaya dan Syariat

0

Penulis: Ahmad Naufal

(Pegiat Forum Komunikasi dan Kajian Mahasiswa PAI (FK2i), Anggota SEMA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)

Beberapa pesantren sejak 90-an sudah mulai menambah konten pengajaran dengan ilmu umum. Melihat pentingnya integrasi antara ilmu agama dengan ilmu umum, pesantren yang lahir belakangan memuat pendidikan berbasis sekolah atau madrasah. Sehingga santri-santri tak perlu belajar di dua tempat. Cukup di pesantren saja sudah mendapat keduanya, ilmu agama dan ilmu pengetahuan umum.

Intergrasi antara ilmu agama dan ilmu umum tidak datang sendiri. Ia hadir bersamaan dengan integrasi kebudayaan lokal dan kebudayaan asing. Hal ini paling mudah dilihat dari pakaian yang dikenakan oleh asatid dan santri. Dasi, kemeja dan celana panjang menjadi pakaian sehari-hari. Pakaian yang lahir dari peradaban Barat ini diwajibkan kepada seluruh warga pesantren khususnya dalam kegiatan belajar-mengajar (KBM). Bahkan saat sholat lima waktu berjamaah, santri dianjurkan mengenakan kemeja dengan bawahan sarung.

Proses reduksi beberapa kebudayaan asing dengan kebudayaan lokal mengindikasi bahwa budaya – sejatinya – tidaklah mutlak mengakar secara geografis. Perlu usaha keras dan berkesinambungan bagi Jepang untuk mempertahankan tradisi berbahasa dengan tulisan kanji. Lain kejadiannya dengan Soekarno. Hingga kup terjadi, pewaris idealisme dalam menolak pemodal asing di tanah air tak berhasil ditemukan. Dan sampai hari ini, sambil berdamai dengan penetrasi budaya asing, Indonesia mau tidak mau harus bersabar menjadi penonton suburnya investor asing di tanah sendiri. Berpakaian ala Fikih, Trend, dan Tradisi

Bentuk dan gaya busana lahir dari karya tangan dan terwariskan menjadi tradisi bagi etnis tertentu. Tidak menutup kemungkinan tradisi atau budaya itu meluas dan mempengaruhi gaya berpakaian orang kebanyakan di tempat lain. Sarung misalnya, tidak hanya eksis dan trend di kalangan santri tetapi juga lazim dipakai muslim kebanyakan saat hendak menunaikan ibadah shalat dan acara ritual keagamaan. Dan jauh sebelum itu sejak bertahun-tahun lamanya sarung sudah menjadi pakaian orang Yaman.

Penetrasi budaya barat dalam bentuk busana atau pakaian memang terasa cukup masif. Sejak era kolonial di Dunia Ketiga, budaya kaum penjajah secara berangsur-angsur menjadi salah satu dari khazanah budaya di tanah pribumi. Terjadilah proses asimilasi kebudayaan lokal yang sudah mapan dengan budaya penjajah (baca: Barat). Sebelum datangnya koloni eropa ke tanah air, Islam sudah masuk dengan proses yang lebih humanis. Melalui dunia perniagaan budaya muslim pendatang dari Timur Tengah perlahan bercampur tanpa menghilangkan budaya yang sudah ada. Media dakwah yang digunakan merupakan modifikasi dari seni dan tradisi lokal yang diisi dengan muatan nilai-nilai Islam.

Pada akhirnya ditambah dengan kemajuan teknologi – khususnya dalam hal media informasi – peleburan budaya di Indonesia mengalami proses yang pesat. Dan secara praktis sudah mengakar dalam kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara.

Busana sebagai kebutuhan primer manusia tidak luput dari perhatian agama. Islam dalam nash sudah mengatur sedemikian rupa bagaimana seorang laki-laki atau perempuan berpakaian, kapan pun dan di mana pun. Batasan-batasan berlaku untuk laki-laki dan perempuan yang disebut aurat. (Mulia, 2014: 127)

Berbicara soal batasan, penulis tertarik memakai istilah standar. Standar berpakaian bagi umat muslim dalam beraktivitas baik di dalam maupun di luar rumah. Sebuah Standar yang membedakan antara cara berpakaian yang sesuai pedoman syariat dengan yang tidak. Sehingga kemudian mudah dibedakan mana syariat dan mana budaya lokal – meski awalnya sulit dan perlu pengamatan historis yang cermat.

Beberapa standar berpakaian – dalam dunia pendidikan menengah lazim disebut adab berpakaian – yang diatur syariat sekurang-kurangnya ada lima: Menutup aurat; tidak menampakkan tubuh; pakaian tidak ketat untuk mencegah terlihatnya bentuk tubuh (Sholeh, 2008: 140); tidak menimbulkan riya; dan pakaian laki-laki dan perempuan harus berbeda. (al-Shabuny, 2007: 103)

Selain standar tersebut, ada banyak rincian praktis berpakaian seperti soal aurat saat berada di lingkungan mahram, dilarang bagi laki-laki memakai bawahan melebihi mata kaki – atau lazim disebut isbal – karena sombong, warna dan bahan pakaian yang disarankan dan dibolehkan dan masih banyak lagi. (Bahreisj, 1987: 617-622)

Berangkat dari standar-standar di atas, seorang muslim dapat berpakaian sesuai syariat tanpa perlu meninggalkan gaya busana yang lahir dari budaya, baik itu lahir dari tempat ia hidup sebagai budaya lokal, atau pun budaya asing yang sudah tereduksi melalui proses sosio-historis yang panjang. Yang tidak tepat adalah berpakaian mengikuti trend tanpa penyesuaian dengan syariat. Selama trend dan tradisi bisa dikawinkan dengan syariat, why not? Tapi selangkah lebih maju jika kita bisa menjadikan gaya busana yang syar’i sebagai trend yang up to date atau tradisi yang mendarah-daging.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here