Pertemuan Ulama, Habaib dan Cendekiawan Muslim (Multaqo) diselenggarakan untuk menyikapi situasi dan kondisi bangsa, agar tetap terjaga stabilitas keamanan dan ukhuwah Islamiyah. Karena itu, Multaqo yang diiniasi oleh ulama sepuh KH Maimun Zubair dan Habib Luthfi ini mengajak para ulama, habaib dan cendekiawan muslim agar memberikan suri tauladan kepada ummat dalam menjaga situasi damai terutama menjalani bulan Ramdhan 1440 Hijriah dan perayaan Idul Fitri 2019.
Para ulama yang berkumpul, menyampaikan bahwa stabilitas keamanan sangat erat hubungannya dengan keimanan. Ketika keimanan lenyap, keamanan akan tergoncang. Dua unsur ini saling mendukung.
Sebagaimana Allah SWT dalam firmannya, mengatakan, “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan dengan kezhaliman, mereka itulah orang-orang yang mendapatkan keamanan, dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk” (Al-An’am/6: 82).
Karena itu, Umat Islam berkewajiban ikut terus aktif dan proaktif menjaga keamanan negara dengan cara kembali ke kesepakatan para pendiri negara (Founding Father), yang memiliki visi menegakkan NKRI dan negara Pancasila. Artinya, tidak ikut terlibat dalam kegiatan-kegitan yang berpotensi menciptakan keresahan, instabilitas, perpecahan dan kekacauan di masyarakat. Para ulama, habaib, dan cendekiawan muslim perlu terus menjadi garda terdepan dalam membangun baldatun tayyibatun wa rabun Ghafur.
Para ulama sepakat, bahwa hukum taat kepada ulil amri adalah wajib. Kaum muslimin tidak diperbolehkan memberontak ulil amri. Prinsip ini menjadi pegangan dalam berbangsa dan bernegara. Allah berfirman : “Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (QS. An Nisa’: 59).
Dikatakan para ulama, Ulil amri adalah orang atau lembaga yang memiliki kekuasaan karena diberi otoritas oleh Negara. Oleh karena itu jika dikaitkan dengan permasalahan pemilu, ulil amrinya adalah KPU (Komisi Pemilihan Umum), Bawaslu, dan Mahkamah Konstitusi (MK).
Para Ulama menekankan agar seluruh umat Islam hendaknya, wajib taat kepada keputusan KPU, BAWASU dan MK jika menyangkut masalah hasil pemilu, karena mereka adalah lembaga Negara yang diberi wewenang berdasarkan Undang-Undang untuk menyelenggrakan pemilu dan mengumumkan hasilnya.
Para ulama juga menegaskan, sebaiknya umat Islam menghindari tindakan yang mengarah kepada bughat. Ketaatan di sini bisa bermakna tidak keluar untuk mengangkat senjata, melakukan revolusi, meskipun tidak sesuai dengan aspirasinya. Prinsip ketaatan ini untuk menjaga kelangsungan sistem sosial agar tidak terjadi anarki.
“Kalau ingin melakukan perbaikan, dalam bahasa Imam al ghazali, disebutkan, untuk membangun sebuah bangunan, tidak perlu merobohkan sebuah kota. Bughot dilarang menurut fiqih dan pelakunya harus ditindak tegas,” ujar seorang ulama.
Hal ini berbeda dengan kritik. Kritik terhadap penguasa adalah bagian dari amar ma’ruf nahi munkar. Kritik Atau protes harus disampaikan dengan cara yang damai, bijak dan melalui jalur hukum yang sesuai konstitusional.
Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2019, harus menjadi momen penting untuk ber-fastabiqul khoirot atau berlomba-lomba dalam kebaikan dan prestasi. Karena itu, seluruh elemen masyarakat dan pemerintah dituntut untuk mengembangkan kehidupan politik yang yang demokratis berdasarkan Pancasila dan berpegang pada etika keadaban yang tinggi.
Keutuhan bangsa dalam bingkai NKRI tidak boleh rusak atau terkoyak hanya karena ada Pemilu yang berlangsung lima tahun sekali. Jangan sampai sikap kita yang tidak demokratis dan mengabaikan keadaban dalam politik sampai mengorbankan keutuhan dan persatuan bangsa.
Prinsip fastabiqul khairat, mengisyaratkan kepada umat Islam agar menjauhi sikap yang berlebih-lebihan dalam berlomba menikmati dunia. Rasulullah bersabda, “Bukanlah kefakiran (kemiskinan) yang aku takutkan atas kalian, akan tetapi yang aku takutkan atas kalian adalah akan dibentangkannya dunia atas kalian sebagaimana telah dibentangkan atas orang-orang sebelum kalian, lalu kalian berlomba-lomba padanya sebagaimana mereka berlomba-lomba maka hal itu membinasakan kalian sebagaimana telah membinasakan mereka.” (HR. Muslim No. 2961).
Maka, hendaknya setiap muslim mampu bersikap proporsional dalam meraih dunia. Dalam konteks berdemokrasi melalui proses pemilu, sikap proporsional tersebut senantiasa ditempatkan dalam konstitusi, sehingga dalam fastabiqul khoirot dalam berpolitik harus tetap melalui jalur konstitusional agar tercipta ketertiban dan keamanan bagi masyarakat.
Inilah pentingnya menjaga dan memperkuat Ukhuwah islamiyah. Ukhuwah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai “persaudaraan” terambil dari akar kata yang memiliki makna “memperhatikan atau peduli”. Makna dari akar kata ukhuwah ini memberikan pemahaman bahwa persaudaraan mengharuskan adanya sikap perhatian atau kepedulian di antara mereka yang bersaudara.
Ukhuwah islamiyah yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW ialah etika persaudaraan yang bersifat universal, toleran, terbuka, dan disemangati oleh nilai-nilai kemanusiaam. Jadi makna sejati ukhuwah islamiyah, tidak sebatas persaudaraan antar sesama Muslim.
Namun, apabila istilah ukhuwah islamiyah dipahami sebagai persaudaraan yang islami atau persaudaraan sesuai ajaran Islam, maka pasti akan menumbuhkan hubungan yang harmonis dalam umat Islam dan akan tercipta kedamaian dalam masyarakat dimana umat Islam berada.
Oleh karena itu, dalam berbangsa dan bernegara penting ditandaskan persaudaran yang sesuai ajaran Islam kepada sesama anak bangsa, tidak memaksakan diri hanya mementingkan kelompoknya saja. Bahwa masyarakat Indonesia adalah majemuk, maka dibutuhkan sikap yang arif dan bijak dalam menyampaikan pendapat maupun menggapai dan mengelola kekuasaan.
Atas dasar itu, Multaqo ingin menegaskan kembali kesepakatan pendiri bangsa dan alim ulama bahwa NKRI adalah bentuk negara yang sesuai dengan Islam yang rahmatan lil alamin di Indonesia. Pancasila adalah dasar negara dan falsafah bangsa.
Multaqo, mengajak umat Islam menyambut Ramadhan 2019 dengan meningkatkan ukhuwah Islamiyah, menjalin silaturahmi, menghindari fitnah dan tindakan melawan hukum (Inskonstitusional), sehingga kita memasuki ramadhan dalam keadaan suci dengan berharap mendapat ampunan Allah SWT dan kemenangan di Hari Raya Idul Fitri.
Para ulama menghimbau umat Islam untuk bersama-sama mewujudkan stabilitas keamanan dan situasi yang kondusif, mengedepankan persamaan di atas perbedaan selama dan sesudah ramadhan, sehingga mampu menjalankan ibadah secara khusyu dan penuh berkah.
Sementara itu, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Agil, menegaskan, pertemuan Ulama dan Habaib yang digelar kali ini adalah pertemuan yang dihadiri ulama yang benar-benar ulama.
“Pertemuan ini yang bertemu adalah yang betul-betul ulama, Habaib. Ulama yang memiliki pesantren, yang memiliki umat, yang betul-betul paham tentang agama dan ulama yang betul-betul hidup bersama umat,” kata Said Agil di Hotel Kartika Chandra, Jakarta, Jum’at malam (3/5/2019).
Menurutnya, ulama yang benar-benar ulama adalah ulama yang betul-betul paham disiplin ilmu dalam Islam. Ulama yang benar-benar ulama adalah ulama memprioritaskan dan mengedepankan persatuan.
Selain itu juga Ulama yang mengajarkan persatuan, ukhuwah persaudaraan, mengajarkan akhlak yang mulia, melarang gerakan chaos yang inkostitusional, melarang kebencian, melarang adu domba, bahkan melarang buruk sangka satu sama lain.
“Ulama yang saya tahu ya ulama ini. Ada Maemun Zubir, Muhammad Iskandar, yang punya santri, yang punya pesantren, yang paham tentang tafsir, hadist, fiqih, ilmu Khalam, peradaban. Bukan hanya pakaian. Tapi yang benar-benar paham disiplin ilmu dalam Islam,” ujarnya.
“Apa artinya kita berbangsa bila kita tidak berakhlak. Demokrasi jangan dipahami dengan sebebas-bebasnya tanpa kepentingan rakyat. Demokrasi harus menjaga kebersamaan dalam Bhinneka Tunggal Ika,” terangnya.
Ia menyampaikan, tidak ada ulama menakut-nakuti dan membuat pesimisme. Ulama harus menciptakan optimisme. Ulama harus beri contoh yang benar, tidak fitnah apalagi ujaran kebencian dan menimbulkan permusuhan.
Ia menyerukan kepada umat muslim terhadap situasi saat ini, agar semua pihak menahan diri, tidak mudah terprovokasi menyerang Ulil Amri dan bersikap lemah lembut seperti yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW dalam memimpin umat.
Hadir dalam acara tersebut KH Nur Muhammad Iskandar,SQ (Ketua Umum MSKP3I), Gus Ahmad Fahrur Rozi (Wakil Ketua PWNU Jatim), Ketua IGGI, PP Annur Malang, Shinta Wahid, Aliran Wahid, Gus Muwafiq, KH Buya Muhtadi (Pengasuh PP Roudlotul Mutaalimin, KH Said Agil (Ketua PBNU), Gus Khayat (Ketua Umum Forum Kyai Tahlil), Gus Yaqut (Ketum Ansor), KH Saeful Islam Al Payage (Ketua MUI), KH Maemun Zubair (Pengasuh PP Sarang), Gus Ipul, Habib Novel Alaidrus, Dr Najib Burhani (Ketua Cendekiawan Muslim Muhammadiyah), Dr Osama Hisyam (Ketua Parmusi) dan Prof Dr Sudarnoto Abdul Hakim serta para perwakilan ulama dari berbagai daerah.(MRZ)