Home Home Debat Capres dan Plus-Minusnya

Debat Capres dan Plus-Minusnya

0

Oleh: Prof Dr Indria Samego MA, Pengamat Politik.

Tak dapat disangkal bahwa kita sudah mampu mengimplementasikan prosedur demokrasi yang benar. Bila partisipasi dan kontestasi dijadikan rujukannya, kita sudah sangat layak untuk disebut sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, setelah India dan Amerika Serikat.

Proses transformasi politik tersebut sekaligus menolak anggapan Indonesianis yang meragukan suksesi kepemimpinan Indonesia dapat dilakukan secara gradual dan damai. Hanya dalam waktu yang relatif cepat sejak awal reformasi politik dilakukan, 1998, arah demokratisasi kita makin jelas dan terlembagakan.

Salah satu landmark dari proses transformasi politik itu adalah pilpres dan pilwapres (selanjutnya disebut pilpres) secara langsung. Di dalamnya, terkait pula prosesi yang sebelumnya tak pernah dilakukan di sini, yakni Debat Capres.

Bila Praktik Debat Capres di AS menjadi ukurannya, apalagi yang belum diterapkan di sini. Walau suasananya tidak persis seperti di negara asalnya, namun kita sudah berhasil “mengadu” gagasan antara calon pemimpin di depan publik dan disiarkan secara langsung oleh media massa nasional ke seluruh penjuru tanah air.

Hasilnya, memang belum optimal. Namun jika debat tsb dijadikan ukuran untuk memperkenalkan capres dan cawapres pada calon pemilihnya, tak dapat dipungkiri bahwa tujuan itu sudah tercapai.

Sadar akan kelemahan di satu pihak dan harapan perbaikan, di pihak lain, KPU senantiasa membuka diri terhadap usul perbaikannya. Mulai dari format, content, waktu, moderator dan panelis debat sampai evaluasinya, semuanya dinilai secara kritis bersama Timses Paslon Capres.

Di era pilpres yang dilaksanakan secara serempak dengan pemilu DPD, DPR dan DPRD sekarang, Debat tsb dilaksanakan sebanyak 5 kali, mulai pada 17 Febriati dan terakhir 13 April 2019 alias 4 hari sebelum hari H pencoblosan Pemilu.

Jika tujuan Debat adalah untuk mendekatkan hubungan emosional dan profesional antara calon pemimpin dengan yang akan dipimpinnya, mestinya soal waktu harus dipandang penting. Jangan sampai hanya demi memenuhi prosedur, acara itu harus disusun sedemikian rupa, mengabaikan aspek fungsi dan efektivitasnya.

Apalagi bila dikaitkan dengan sistem pemilu serempak sekarang, dimana nasib caleg seolah ditentukan oleh kemenangan capres yg diusungnya. Hanya berharap dari efek ekor jas (coattail effect) caleg kelihatanya kurang dibebaskan untuk berkampanye.

Padahal, merekapun perlu mendulang suara sebanyak banyaknya di Dapil masing2. Untuk itu, dalam waktu yang tak terlalu lama ini, KPU mesti merevisi jadual Debat Capres bila ingin menyelenggarakannya sebanyak 5 x. Jadwal Debat terakhir, sebaiknya dimajukan sebelum 13 April 2019.

Masing-masing caleg berharap agar mereka dapat secara all out mengkampanyekan dirinya sebelum masa minggu tenang tiba. Setelah sekian bulan berkampanye secara kolektif bersama capresnya, kini tinggal memberi kesempatan kepada mereka untuk berkampanye secara individual.

Jangan lupa, dalam sistem pileg terbuka, mereka bukan hanya bersaing dengan caleg dari parpol lain, tapi dengan sesama caleg dari partai yang sama. Sistem penghitungan hasil pemilu baru, Saint Lague juga sangat mempersyaratkan selisih suara kemenangan dalam pileg. Menang pilpres, menang parpol dan menang pencalegan, menjadi harga mati mereka dalam sistem pemilu yang ambang batas parpolnya makin berat.

Akhirnya, kita berharap agar transformasi sistem pemilu menjadi medium bagi perbaikan proses dan hasil pemilu
Sekali mendayung, dua atau tiga pulau terlampaui. Semoga. (*)