Beranda Home Diskualifikasi Jokowi, Pemilu Ulang, dan Buah Semangka Berdaun Sirih

Diskualifikasi Jokowi, Pemilu Ulang, dan Buah Semangka Berdaun Sirih

0

Oleh: Denny JA

Mungkinkah kasus Mahkamah Konstitusi di Maladewa (2013), Kenya (2017), Ukrania (2004), dan Austria (2016) terjadi di Indonesia 2019? Tim hukum penggugat berhasil meyakinkan Mahkamah Konstitusi bahwa hasil pemilu presiden di Indonesia 2019 tidak sah?

Sungguh saya menunggu momen itu. Yaitu sebuah gugatan hukum yang cemerlang. Kekuatan bukti yang menunjukkan telah terjadi kecurangan pemilu yang terstruktur, sistematis dan masif. Kecurangan ini begitu besarnya melampaui 17 juta selisih kemenangan Jokowi.

Itulah upper cut yang mematikan, yang membuat lawan jatuh KO. Itulah gugatan hukum yang membuat tim Prabowo ini dikenang sejarah telah membalikkan hasil pemilu presiden. Dan Indonesiapun dikenang menjadi negara kelima yang MK-nya membatalkan hasil pilpres.

Namun apa daya. Yang terjadi di ruang Mahkamah Konstitusi sengketa pilpres 2019 itu tak ada yang “WOW!” Ibarat tinju, yang ditampilkan tim hukum Prabowo hanya jab-jab ringan saja. Yang ramai hanya gerakan meliuk-liuk petinjunya, bukan pukulan yang mematikan.

Klaimnya teramat besar: Diskualifikasi Jokowi! Tetapkan Prabowo Presiden! Pemilu Ulang! Tapi mana bukti yang sahih yang begitu meyakinkan agar hakim sampai ke sana? Klaim besar bukti melompong.

Sayapun teringat lagu Rinto Harahap. Satu lirknya soal “buah semangka berdaun sirih.” Mengharapkan Mahkamah Konstitusi mendiskualifikasi Jokowi, atau langsung menetapkan Prabowo sebagai presiden, dengan bukti yang ditampilkan, itu sama dengan lirik lagu Rinto Harahap. Itu sama dengan berharap di dunia nyata ada “buah semangka berdaun sirih.”

Mulai dari fungsi Mahkamah Konstitusi hingga data sejarah Mahkamah Konstitusi di dunia, tak ada satupun kasus sidang MK yang mendiskualifikasi capres pemenang dan menetapkan lawannya sebagai presiden terpilih!

-000-

Baiklah kita mulai dengan fungsi Mahkamah Konstitusi dalam prinsip demokrasi. Yang memilih presiden itu adalah rakyat banyak melalui pemilu. Bukan MK (Mahkamah Konstitusi) yang memilih presiden. Dengan sendirinya, MK tak bisa memilih siapa capres yang menang.

Yang menetapkan siapa capres yang menang adalah sebuah lembaga yang ditunjuk undang-undang. Kasus Indonesia lembaga itu bernama KPU. Satu satunya memang hanya KPU yang menetapkan pemenang presiden. MK juga tak bisa menetapkan pemenang.

Dengan sendirinya permintaan agar MK mendiskulifikasi capres atau menetapkan Prabowo sebagai pemenang itu mustahil terjadi. Itu bukan wewenang MK dan menyalahi prinsip demokrasi.

Yang terjauh yang bisa dilakukan MK adalah menetapkan telah terjadi kecurangan yang signifikan, terstruktur dan sistematis. Itupun ditetapkan jika ada bukti yang sahih yang melampaui selisih kemenangan. Hasil putusan MK paling keras: pemilu ulang di sebagian atau di seluruh wilayah.

Dalam pemilu ulang itu, rakyat kembali yang memilih. Tetap rakyat yang memilih presiden. Dalam pemilu ulang itu, KPU kembali menetapkan pemenang baru. Tetap KPU yang menetapkan Presiden.

Memang pernah terjadi di negara lain, Mahkamah Konstitusi memerintahkan pemilu ulang. Misalnya di Austria di tahun 2016, di Kenya di tahun 2017, di Maladewa di tahun 2013 dan di Ukrania di tahun 2004.

Untuk kasus empat negara di atas, tim hukum penggugat berhasil meyakinkan dengan bukti yang sahih. Para halim di MK teryakinkan hasil pemilu presiden tidak sah karena telah terjadi kecurangan pemilu yang terstuktur, sistematis dan massif. Kecurangan itu potensial mengubah pemenang pilihan rakyat yang sebenarnya.

Bahkan di empat negara itu, MK tidak mendiskualifikasi capres pemenang. Juga di empat negara itu, MK tidak menetapkan capres yang kalah sebagai pemenang walau ditemukan kecurangan meyakinkan dari pihak yang menang.

Yang diputuskan MK hanyalah pemilu ulang. Tiga dari empat negara itu, di Maladewa, Kenya dan Austria, pemilu ulang menghasilkan pemenang yang sama. Hanya di Ukrania, pemilu ulang menghasilkan pemenang yang berbeda.

-000-

Klaim besar, bukti melompong. Itu yang terbaca dari tim hukum Prabowo. Terlalu banyak asumsi tapi minim bukti.

Misalnya, Tim Prabowo menyatakan kecurangan pihak Jokowi karena meminta pendukungnya datang ke TPS memakai baju putih. Yang harus dibawa Tim Prabowo adalah bukti bahwa baju putih itu telah mempengaruhi pilihan warga sebanyak selisih kemenangan Jokowi. Tapi bukti itu tak ada.

Atau tuduhan Tim Prabowo bahwa Jokowi telah memanfaatkan THR (Tunjangan Hari Raya) untuk mengambil simpati pegawai negeri sipil. Yang harus dibawa oleh Tim Prabowo adalah bukti bahwa THR itu memang telah mempengaruhi pilihan PNS setidaknya sejumlah selisih kemenangan Jokowi. Bukti itu tak ada.

Atau tuduhan Ma’ruf Amin masih menjabat sebagai pejabat di dua BUMN. Yang harus dibawa Tim Prabowo adalah bukti jabatan Ma’ruf Amin di dua BUMN itu sudah mempengaruhi pilihan warga setidaknya sebanyak selisih suara kemenangan Jokowi. Bukti itu tak ada.

Mustahil tim hukum Prabowo tak tahu bahwa MK tak bisa mendiskualifikasi capres pemenang. Mustahil pula tim Prabowo tak tahu bahwa MK tak bisa menetapkan langsung Prabowo sebagai pemenang. Mustahil pula tim hukum Prabowo tak tahu bahwa yang penting itu adalah bukti yang sahih bukan klaim besar!

Tapi mengapa Tim Prabowo masih mendaya gunakan hal yang mustahil itu? Salah satu kemungkinan: The show must go on. Tak cukup waktu tim Prabowo mengumpulkan bukti. Pilihan ke MK agaknya tidak dipersiapkan dari awal.

Ibarat tanding tinju, apa daya panggung sudah disiapkan. Sang petinju sebenarnya belum siap tapi harus bertanding.

Yang terjadi kemudian, terpaksa sang petinju hanya mengharap sorak sorak penonton saja dengan meliuk-liukan tubuhnya. Pukulan yang bisa dilakukan apa daya hanya jab-jab ringan saja.

Penonton yang hanya terpikat oleh gaya petinju segera tepuk tangan dan berdiri gembira. Tapi para ahli tinju segera mengetahui petinju itu tak akan menang.

Lalu mereka yang ahli tinju bisa bernyanyi lagu Rinto Harahap: “buah semangka berdaun sirih.” Mengharapkan MK mendiskualifikasi Jokowi dan menetapkan Prabowo sebagai Presiden, dengan bukti yang dibawa Tim Prabowo, sama mustahilnya dengan “buah semangka berdaun sirih.”

Juni 2019, Sebelum Putusan MK