Ada sebuah mitos. Asalnya dari Undang-Undang tahun 1854. Kolonial Belanda menerapkan politik segregasi rasial.
Ras kelas pertama adalah “Europeanen” dan pribumi Kristen/Katolik misalnya tentara KNIL dari Ambon;
Ras kelas kedua adalah “Vreemde Oosterlingen” (Timur Asing) seperti Tionghoa, Arab, India maupun non-Eropa lain; dan ras kelas ketiga adalah “Inlander”, yang kemudian diterjemahkan menjadi “Pribumi”.
Tanggal 10 Februari 1910 Pemerintah Belanda merilis Wet op het Nederlandsch Onderdaanschap (WNO) atau UU Kawula Belanda.
Seiring berlakunya WNO, Pemerintah Belanda membentuk Volksraad dan Indie Weerbaar (Wajib Militer).
Tjoe Bou San dari Grup Sin Po memimpin perlawanan. Menurut Pieter Hendrik Fromberg, sebab perlawanan itu karena orang Tionghoa diperlakukan tidak adil dengan wijkenstelsel, passenstelsel & politie roll. Maka sejak abad 19 lahir Gerakan Tiongkok Raya.
Liem Koen Hian yang akrab dengan Pembesar PKI Tan Ling Djie menentang Grup Sin Po (China Sentris) dengan menyatakan:
“Nasionalisme Tiongkok bisa dipakai sebagai senjata buat usir musuh dari negerinya, buat Tionghoa peranakan itu senjata tidak ada gunanya…Dengan memain sama nasionalisme, di belakang hari kalau Tiongkok sdh jadi kuat, buat berbuat jahat pada bangsa Indonesia, seperti kaum imperialist di Tiongkok sekarang”.
Liem Koen Hian terpengaruh Dr. Tjipto Mangunkusumo yang punya cita-cita membentuk sebuah bangsa dari orang-orang yang menganggap Indonesia sebagai tanah air, termasuk Indo-Belanda, peranakan Tionghoa, dan Arab.
Cita-cita Dr Tjipto Mangunkusumo segaris dengan konsep kebangsaan MH. Thamrin yang mengikut-sertakan peranakan Tionghoa di dalamnya.
Di samping jadi lawan keras Sin Po, Liem Koen Hian juga menjadi musuh terperih Chung Hwa Hui (CHH) yang sangat Pro Belanda.
Dia menyatakan, “Hanya segelintir manusia spt HH.Kan (Ketua CHH) yang berpendapat bahwa habisnya pemerintahan Belanda di sini dunia akan kiamat”.
Akibat menentang dua kubu sekaligus, Liem Koen Hian dibacok pake golok saat turun di stasiun kereta Beos Jakarta dari Surabaya.
Saat itu, Hanya “Indische Partij” dan “PKI” yang membuka pintu bagi Tionghoa sebagai “anggota penuh”.
PNI yang terpengaruh Gerakan Nasionalisme Asia Dr. Sun Yat Sen berpikir Tionghoa secara otomatis harus membantu perjuangan kemerdekaan Indonesia. Sebagai praxis dari Ajaran Dr. Sun Yat Sen.
Bulan September 1932, Liem Koen Hian mendeklarasikan Partij Tionghwa Indonesia (PTI) di Surabaya. Anggaran Dasarnya tegas menyatakan PTI menyatakan ikut aktif memperjuangkan Indonesia merdeka.
Di bulan Agustus 1934, sebuah essay di Harian “Mata Hari” bikin heboh. Penulisnya adalah seorang rebel of his age bernama Abdurahman Rasyid Baswedan.
Artikel itu menyerukan agar Peranakan Arab bersatu dukung Indonesia Merdeka.
Bos Harian “Mata Hari” yang berdomisili di Semarang adalah Mr. Liem Koen Hian.
Atas dorongan bosnya, AR Baswedan mendeklarasikan berdirinya Partai Arab Indonesia (PAI) pada tanggal 04 Oktober 1934.
Supaya bisa fokus, AR Baswedan resign dari Harian Mata Hari yang bersalary 120 gulden, setara 24 kuintal beras. “For the struggle,” katanya.
AR Baswedan seorang tough journalist. Working not for money. Sebelumnya, dia juga pindah dari Sin Tit Po ke Harian “Soeara Oemoem” yang dipimpin Dr. Sutomo.
Padahal Liem Koen Hian sebagai “Hoofredactuer” membayarnya 75 gulden. Sedangkan “Soeara Oemoem” hanya beri 10-15 gulden.
Pejuang tangguh. Orang hebat. AR Baswedan punya cucu bernama Anies Rasyid Baswedan yang saat ini merupakan Gubernur DKI Jakarta ke 17.
Bulan Mei 1939, garis politik front persatuan anti fasis membentuk Gabungan Politik Indonesia disingkat GAPI.
Terdiri dari Gerindo, Parindra, Pasundan, Persatuan Minahasa, Partai Katolik, Sarekat Islam dan Partai Arab Indonesia.
PTI dan PAI diberikan status sebagai anggota luar biasa. PAI terima. PTI tolak. Harian “Berita Umum” kritik PTI sebagai oportunis. PTI menjawab:
“PTI bersedia menerima tanggung jawab & konsekuensi sbg anggota penuh GAPI, tetapi tidak mau menjadi anggota luar biasa…krn PTI tidak ingin jadi anak tiri dari seorang ibu indonesia”.
PTI berkembang di Jawa Tengah dan Timur. Tapi di Jawa Barat mandek. Sebabnya karena struktur ekonomi Tionghoa di Jawa Barat dikuasai Tuan Tanah dan owner onderneming yang selaras dengan Penguasa Belanda.
Selain di Jawa Barat, PTI juga lumpuh di Medan. Hanya di Makasar, PTI bisa berkembang.
Tahun 1945, Liem Koen Hian menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
Tahun 1947, Liem Koen Hian menjadi anggota delegasi Republik Indonesia yang menghasilkan Persetujuan Renville.
Tahun 1951, Liem Koen Hian tinggal di Tanah Abang. Punya Apotik. Tahun itu juga, dia kena Razia Sukiman. Dia dicurigai sebagai leftist sympathizer. Masuk penjara. Dia kecewa. Lalu lepas kewarga-negaraan Indonesia.
Setahun kemudian, Tanggal 05 November 1952, Liem Koen Hian meninggal dunia di Medan. Sebagai orang asing…!!!
THE END