Tulisan ini dipersembahkan dalam memperingati Hari Kartini 21 April
Oleh: Dedy Candra, Sekretaris PC GP ANSOR Kota Tangerang Selatan
Dalam relasi sosial di masyarakat, pemuda merupakan salah satu elemen yang tinggal dan terkoneksi dengan berbagai macam kelas generasi di dalamnya. Relasi tersebut terbentuk dan menciptakan kohesi sosial satu sama lain.
Peran pemuda menjadi penting, sebab jika dibandingkan dengan kelas generasi yang ada, pemuda adalah kelas generasi yang terbilang masih produktif dengan kekuatan dan kemampuan fisiknya. Makanya tak sedikit dari adagium yang ada mengatakan, bahwa pemuda adalah masa depan bangsa. Istilah ini mengarah pada sepak terjang pemuda yang dinamis dalam segala aspek; baik sosial, politik maupun ekonomi.
Dalam konteks politik, banyak di antara pemuda yang kini terlibat aktif dalam berbagai organisasi. Mereka terlibat di institusi-institusi politik, dan sebagiannya aktif dalam pendidikan politik masyarakat. Adapun dalam konteks ekonomi, banyak di antara pemuda yang kini menjadi pelaku bisnis. Bahkan sebagiannya berhasil sebagai enterpreneur muda yang sukses. Kontribusi mereka turut serta dalam menyokong perekonomian nasional. Sedang dalam konteks sosial, beberapa pemuda seringkali terlibat ikut advokasi di berbagai permasalahan yang menimpa rakyat. Mereka turut membantu masyarakat untuk kembali mendapatkan hak-haknya yang tercerabut. Pemuda, dalam hal ini, setidaknya menjadi agen perubahan yang diharapkan.
Dari berbagai kontribusi pemuda yang telah dipaparkan di atas, lalu bagaimana peran pemuda dalam memperjuangkan hak-hak perempuan untuk secara egaliter serta proporsional mendapatkan hak-haknya seperti kaum laki-laki? bagaimana peran pemuda untuk mendorong kaum perempuan terlibat aktif dalam dinamika sosial yang terjadi di masyarakat? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kiranya harus didasarkan pada fakta-fakta dan bukti di lapangan.
Kita harus realistis, bahwa peran pemuda dalah ikhwal tersebut belumlah terlihat. Bahkan, jika diteropong dengan kaca mata institusionalis, kita masih belum memiliki konsep serta perencanaan yang ideal untuk bagaimana meningkatkan peran serta kesadaran perempuan dalam berbagai dinamika sosial-politik di masyarakat. Perempuan, di dalam relasi sosial masyarakat kita, masih dianggap dan disubordiansikan di bawah laki-laki. Hegemoni yang berangsur-angsur dilakukan ini, telah menginternalisasi dan mencerabut dimensi ‘subyek’ kaum perempuan, bahwa mereka sebenarnya adalah individu-individu bebas yang setara dan sejajar dengan kaum laki-laki. Penghegemonian ini justru akhirnya melempar perempuan jauh ke dalam sekat-sekat parsial, yang melahirkan privatisasi peran bagi masing-masing pelaku gender, sehingga dalam kultur masyarakat kita, akan terlihat terang apa saja yang mesti dilakukan perempuan dan apa saja yang mesti dilakukan laki-laki. Makanya, sedikit sekali perempuan yang terlihat di ruang-ruang publik.
Dengan demikian, salah satu solusi alternatif untuk memberdayakan peran pempuan dalam konteks kehidupan sosial politik masyarakat kita adalah lewat penambahan kuota dewan di parlemen. Jika sebelumnya adalah 30 persen, maka penggalangan usaha agar dapat ditambah harus tetap diusahakan. Karena dengan bertambahnya jumlah dewan perempuan di parlemen, apalagi ditopang dengan adanya kebijkan Affirmative Action, hal ini tentu akan memicu ekspansi partisipatif kaum hawa ke gelanggang kontestasi di berbagai bidang. Bahkan dengan jumlah kursi yang proporsional, mereka akan dengan leluasa memainkan peran politiknya guna menginisiasi kebijakan-kebijakan yang mengakomodir segala kepentingan mereka, sehingga cita-cita bagi terciptanya tatanan masyarakat egaliter bukan utopia belaka.
Namun, sebagaimana telah penulis sebutkan di atas, bahwa penambahan kuota dewan bagi kaum perempuan di parlemen hanyalah sebagai solusi altenatif, di samping kerja kebudayaan yang merupakan solusi utama guna menciptakan tatanan emansipatoris antara kaum laki-laki dan perempuan dalam segala dimensi kehidupan sosial. Kerja kebudayaan ini tentu membutuhkan waktu dan tenaga yang tidak sedikit. Kerja kebudayaan merupakan kampanye terus-menerus yang tidak hanya keluar dari retorika mulut permulut, melainkan juga direalisasikan dalam tindakan rill: bahwa antara laki-laki dan perempuan seyogianya berbagi peran dan meniadakan praktik-praktik subordinasi satu sama lain. (*)