Sumber daya alam yang sangat melimpah yang terkandung di dalam perut bumi negeri pertiwi ini, sebetulnya bukanlah kekayaan yang sesungguhnya. Lantas apakah kekayaan sesungguhnya itu? Yakni, anak-anak yang sehat jiwa, raga, dan lingkungan hidupnya. Karena pada gilirannya, merekalah yang akan menahkodai negeri ini.
Anak-anak merupakan kekayaan atau aset yang paling berharga bagi kehidupan sebuah bangsa dan negara. Bahwa sejatinya, maju dan mundurnya kehidupan sebuah bangsa dan negara akan sangat ditentukan oleh kualitas kehidupan anak-anak kita sejak sekarang.
Anak-anak yang sehat, kuat, cerdas, dan berbudi luhur akan memunculkan generasi-generasi bangsa yang berkualitas, yang pada gilirannya akan berkontribusi besar bagi terciptanya negara yang kuat, bermartabat, dan berperadaban. Kini, sebagai orang tua, tetangga, pejabat, pekerja, pengusaha, dan apapun profesi yang kita tekuni sangat perlu dan harus memperhatikan keberadaan anak-anak. Jangan samapi sedikit pun menyakiti atau tak peduli terhadapnya.
Menghormati hak-hak, potensi, serta martabat mereka merupakan hal yang sangat krusial dalam upaya menjadikan anak-anak kita sebagai individu-individu yang sehat, kuat, cerdas, dan berbudi luhur untuk kemudian berbakti pada keluaraga, masyarakat, bangsa, negara, dan agama.
Ramah dan Menghormati
Sayangnya, sejauh ini anak-anak kita justru kerap menjadi salah satu kelompok yang hak, potensi, serta martabatnya sebagai warga negara kurang dan bahkan tidak terperhatikan dalam pengelolaan negara ini. Buntutnya, negara ini berubah menjadi tempat yang sama sekali tidak ramah dan menghormati terhadap keberadaan mereka sebagai warga negara sekaligus sebagai generasi masa depan bangsa.
Keramahan dan penghormatan terhadap pemenuhan hak-hak, potensi, serta martabat mereka, sesungguhnya dapat menjadi indikator utama untuk menentukan seberapa sehat sebuah masyarakat dan seberapa adab sebuah negara. Sementara itu, dikaitkan dengan sistem tata kelolah pemerintahan pemenuhan hak-hak, potensi, serta martabat anak merupakan salah satu bentuk nyata dari berjalannya sistem tata kelolah pemerintahan yang baik (good governance).
Kita pun harus akui, negara yang kita cintai ini masih belum mampu menjamin secara penuh hak-hak, potensi, dan martabat anak-anak. Karena itu, negara ini masih jauh untuk dapat dikatakan sebagai negara ramah terhadap anak, yaitu negara yang secara aktif terus-menerus memenuhi hak-hak anak, dan mengembangkan potensi mereka, serta menghormati martabatnya sebagai bagian warga negara yang harus mendapat perhatian, dan perlindungan serta pengurusan yang layak.
Pendidikan Anak
Di sisi lain, juga masih banyak anak-anak di negeri ini yang belum atau terpaksa melepas seragamnya, bagi mereka pendidikan masih menjadi sesuatu yang mahal harganya. Padahal amanah undang-undang bahwa anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari total pembangunan, baik dari APBN maupun APBD. Walaupun tidak serta merta dicapai, setidaknya harapan amanah tersebut harus diupayakan dan disampaikan kepada mereka.
Tentu saja, semua persoalan ini tidak boleh terus-menerus dibiarkan. Kita sangat berharap kepada para pengelolah negara dan pendidikan di negeri ini sudi menaruh kepedulian yang lebih besar pada persoalan-persoalan yang dihadapi anak-anak kita. Kita ingin hak, potensi, dan martabat mereka lebih terperhatikan sehingga kesejahteraan anak-anak di republik ini dapat terus meningkat.
Dan, pendidikan harus dapat dinikmati secara merata oleh seluruh anak-anak bangsa dari Sabang samapai Merauke, dari Sangir hingga Pulau Rote. Inilah tekad kita bersama agar tidak ada satu pun anak-anak Indonesia yang tidak sekolah karena alasan apapun.
Dengan harapan yang besar tersebut, pada gilirannya anak-anak negeri ini akan berkontribusi besar bagi kepentingan negara dan bangsanya di masa yang akan datang. Karena itu, mewujudkan Indonesia yang berpihak pada anak wajib menjadi salah satu agenda utama yang harus terus-menerus diperjuangkan secara sungguh-sungguh oleh para pengelolah negara dan pendidikan, serta oleh siapa pun yang hidup di negeri ini. Untuk masa depan bangsa. (*)
Penulis: Dimas Suryana, Mahasiswa FAI Prodi PAI Universitas Muhammadiyah Jakarta dan Kandidat BEMF.