10 Dzulhijjah merupakan salah satu momentum bersejarah bagi umat Islam yang dikenal dengan sebutan Idul Adha. Di tiap tahunnya, seluruh ummat Islam pun secara serentak merayakannya. Idul Adha sendiri tercipta dari kisah Nabi Ibrahim yang pada saat itu diperintahkan Allah untuk menyembelih anaknya sendiri yang bernama Ismail. Pada umumnya seorang ayah tentu akan merasa keberatan jika diminta untuk menyembelih anaknya sendiri. Sesuai dengan ayat Al’Quran surat Ash-Shoffat ayat 102 yang berarti “Wahai anakku, sesunggunya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu, maka pikirkanlah apa pendapatmu”.
Namun karena kecintaan Nabi Ibrahim yang tiada tara terhadap Allah ia tetap berupaya menjalankan perintah Allah. Setelah berunding dengan Ismail, dengan diambilnya sebilah pisau tajam, Ibrahim tetap tegar untuk melaksakan perintah tersebut. Setelah berusaha sekuat tenaga dan mencobanya berulang kali namun kenyataan berkata lain. Kenyataan itu ternyata datangnya dari Allah, pisau yang tajam bahkan tak mampu melukai sedikitpun dari leher Ismail. Dengan mengharap ridho Allah, berulangkali Ibrahim mengupayakan untuk menyembelih Ismail dan lagi-lagi pisau yang digunakan tak mempan terhadap Ismail. Hingga pada akhirnya Allah memerintahkan malaikat Jibril membawakan seekor domba dari surga untuk menggantikan Ismail yang akan di jadikan qurban.
Singkat cerita tentu kejadian tersebut membuat kita bertanya-tanya apa maksud dari perintah Allah yang diperintahkan kepada Ibrahim. Ibrahim mendapatkan perintah itu dalam bentuk mimpi untuk menyembelih anaknya, sebelumnya ia pernah mengucap sebuah janji. “Setiap apapun yang membuatku dekat dengan Allah, maka tidak ada sesuatu yang berharga dariku. Demi Allah, jika aku mempunyai seorang anak niscaya aku akan menyembelihnya ke jalan Allah, jika itu membuat aku dekat kepada Allah” kurang lebih seperti itu yang di ucapkan Ibrahim. Karena tingginya ketaqwaan Ibrahim terhadap Allah, maka Allah menagih janji tersebut. Hingga akhirnya Ibrahim berupaya untuk tetap menjalankan perintah tersebut yang ternyata hal itu merupakan ujian dari Allah untuk Ibrahim. Ujian tersebut diberikan Allah untuk membenarkan ketaqwaan Ibrahim kepada Allah di hadapan seluruh mahluknya untuk dijadikan sebuah pelajaran.
Pertanyaannya, bagaimana dengan kita jika diberikan ujian seperti itu ? apakah kita akan tetap menjalankan perintahnya atau malah mengabaikannya. Jangankan untuk menyembelih anaknya sendiri, untuk menjalankan perintah solat 5 waktu saja masih banyak umat Islam yang sering mengabaikannya. Belum lagi dengan perintah-perintah Allah yang wajib dilaksanakan lainnya seperti menghindari maksiat, berbuat baik terhadap semua orang dan berkata jujur masih sering ditinggalkan. Karena sesungguhnya setiap manusia dilahirkan sesuai dengan fitrahya, yaitu sebagai kahlifah di muka bumi yang berfungsi untuk menjadi bekal dasar manusia dalam mengabdikan dirinya semata-mata mengharapkan ridho Allah.
Menurut iradhat Allah, kehidupan yang sesuai dengan fitrahnya merupakan panduan utuh antara aspek duniawi dan ukhrowi, individu dan sosial serta iman, ilmu dan amal dalam mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan diakhirat. Maka jelas dalam hal ini ketaqwaan kepada Allah tiada lain untuk menciptakan kebahagian hidup bagi individu maupun sosial yang nantinya dapat kita rasakan di dunia mapun diakhirat kelak. Wajar saja bila saat ini banyak kerusakan-kerusakan dan kehancuran yang terjadi dimana-mana. Kemiskinan merajalela, kesengsaraan dimana-mana dan kegelisahaan kian muncul dalam individu manusia di tiap harinya. Hal ini terjadi karna tidak sedikit manusia yang tak lagi memahami hakikat hidupnya didunia terlebih untuk apa manusia dilahirkan.
Kisah dari kejadian Ibrahim yang di uji untuk menyembelih Ismail seharusnya mampu menjadi cerminan dalam diri kita tentang sejauh mana ketakwaan kita terhadap Tuhan yang maha kuasa. Dan tentunya banyak ujian yang telah dirasakan ummat manusia dalam menjalani kehidupannya, tetapi kita sering lupa apa maksud dari ujian tersebut . Maka kini saatnya bagi kita semua untuk mempertanyakan sejauh mana keimanan dan ketakwaan kita, sudahkah kita benar-benar menjalani apa yang diperintahkan atau malah sebaliknya. Jangan sampai kita terbawa lalai dari waktu, harta dan usia akan kepastian sebuah ajal yang sudah pasti kehadirannya. Sebab syarat mati tidak harus sakit, tidak harus lalai dan terlebih sarat mati tidaklah harus tua. Semoga kita senantiasa tersadarkan dan diberikan banyak hidayah untuk tetap dan selalu berusaha mendekatkan diri terhadap yang maha kuasa Allah Subhanahu Wata’ala.
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar. Lailahaillallah Huallahhuakbar, Allahu Akbar Walillahilham. (*)
Penulis: Mochammad Daniel Halim, Kader HMI Cabang Ciputat.