Pusat Studi Islam dan Pancasila (PSIP) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) bekerjasama dengan Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya Kemendikbud menyelenggarakan seminar nasional di Gedung FISIP UMJ, Tangsel, Selasa (19/12/2017).
Seminar tersebut bertemakan “Kebudayaan, Toleransi dan Kerukunan antar Umat Beragama”. Dalam sesi seminar, Ketua Panitia Penyelenggara Seminar, Djoni Gunanto, S.IP, M.Si menyampaikan pentingnya kegiatan ini di tengah kondisi bangsa dan negara saat ini. Bahkan hal tersebut dihantui dengan globalisasi yang semakin membuat kompleksitas permasalahan bangsa.
Sementara Direktur Warisan dan Diplomasi Budaya Kemendikbud RI, Dr Najamuddin Ramly mengatakan, budaya harus menjadi basis untuk membangun toleransi yang wujudnya adalah kerukunan antara umat beragama.
“Maka dari itu kebudayaan sangat penting untuk membangun kemaslahatan,” ujar Najamuddin.
Pimpinan Pusat Muhammaddiyah yang diwakili Prof Syafiq A Mughni, MA, Ph,D yang di dapuk sebagai keynote speech mengatakan, bahwa dalam memahami relasi kebudayaan dan Islam sangat penting dan didasarkan pada dua hal. Pertama, kata dia, kehidupan beragama yang tentu memerlukan kebudayaan.
Kedua, lanjutnya, ajaran Islam mempengaruhi kebudayaan.Tak hanya itu, kesadaran attitude harus dijadikan landasan dalam berbangsa dan bernegara. Karena tanpa adanya etika, kebudayaan Indonesia tidak akan pernah maju dan tidak bermakna.
“Muhammadiyah dapat dijadikan model dalam membangun kerukunan di dalam konteks etika kebudayaan,” ucap Prof Syafiq A Mughni.
Menurut Prof Dr Romo Magnis Suseno, perlu dibedakan agama dengan relativisme. Agama menurut relativisme itu berkaitan dengan selera. Toleransi berarti menganggap yang lain tidak yang paling benar, melainkan toleransi itu menghormati.
“Kita tidak bisa memaksakan agama. Orang beragama mestinya rendah hati. Penilaian terakhir serahkan pada Tuhan. Toleransi itu dimana orang tidak takut di tengah-tengah orang yang berbeda,” kata Romo Magnis.
Kemudian, dalam seminar tersebut, Prof Dr Masykur Abdillah, MA dari perspektif yang berbeda menjelaskan mengenai peran negara dalam menangani toleransi di Indonesia, bukan negara agama dan bukan negara sekuler.
Indonesia adalah negara modern yang menjunjung agama. Indonesia menerapkan positive right, dimana negara terlibat dalam pelayanan agama. Ia mengatakan, ada dua hal penting yang harus diperhatikan, yaitu kebijakan negara dan sikap perilaku umat beragama.
Pemateri selanjutnya adalah Dr Yusnar Yusuf. Ia menyampaikan tentang perlunya perubahan metodologi berpikir kita dan itu akan menjadi dasar bagi terbangunnya toleransi yang kuat.
Selanjutnya, Dr Ma’mun Murod Al-Barbasy, M.Si selaku Direktur PSIP FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta mengatakan, bahwa toleransi adalah hal yang pasti dalam hubungan antar umat beragama, karena kita sudah bersepakat dengan Pancasila.
Kemudian, dalam sesi kedua, Prof Dr Abdul Munir Mulkan, menyampaikan tentang hubungan kebudayaan dengan toleransi, Muhammadiyah sebagai gerakan kebudayaan.
“Kini kita bukan hanya masuk pada peradaban industrial heterogen, melainkan industri lanjut, peradaban medsos, bahkan post-truth society. Sudah bukan waktunya memperdebatkan agama dengan kebudayaan,” katanya.
Kemudian, Hajrianto Y Thohari, MA juga berkesempatan menyampaikan materi yang menekankan kebudayaan pada persoalan politik. Wujud kebudayaan bisa sebagai ide, gagasan, nilai, aturan, dan sebagainya.
Selanjutnya muncul pertanyaan menurut Drs. Ahmad Suaedy, M. Hum kenapa kebudayaan muslim tidak bisa disetarakan dengan kebudayaan eropa, padahal eropa menganut kesetaraan. Inilah yang terjadi di Indonesia, kelompok minoritas seperti sekte-sekte menuntut kesetaraan karena menganggap telah dihegemoni oleh pihak sebelumnya.
Kemudian, di akhir materi yang disampaikan Dr Nurani Muksin, M.Si menyampaikan tentang toleransi melalui komunikasi antar budaya melalui sosial media dengan baik dan bijak menghadapi stereotype, mengelola etnosentris yakni paham yang menganggap bahwa budaya kita adalah yang paling baik dan budaya lain adalah yang tidak baik.
Dari berbagai pembahasan yang disampaikan para pemateri, maka kesimpulannya adalah dengan kondisi negara Indonesia seperti sekarang ini dengan adanya pendekatan kebudayaan dalam mengembangkan toleransi dianggap sangat penting.
Karena dengan melakukan pengembangan toleransi yaitu menghargai apa yang telah menjadi keyakinan orang lain dapat melahirkan kerukunan antar umat beragama. Selain itu, toleransi juga dapat dilakukan dengan mengelola etnosentris yaitu tidak menganggap bahwa budaya kita yang paling baik, sedangkan yang lain dianggap tidak baik.
Maka, perlu adanya perubahan metodologi berpikir masyarakat Indonesia, karena dengan begitu akan menjadi dasar terbentuknya toleransi yang kuat. (MRZ)