Oleh: Ade Jaya Suryani, Relawan Rumah Dunia dan Staf Bantenologi.
Mintorosasi (Bibi Sultan Rtb. H. Bambang Wisanggeni Soerjaatmadja, MBA), mengatakan bahwa Sultan Safiudin/Shafiuddin memiliki ibu suri yakni Nyi Ratu Asiah yang dimakamkan di Kasunyatan. Nyi Ratu Asiah memiliki saudara perempuan yakni Nyi Ratu Arsyiah. Perempuan inilah istri dari Rafiudin yang selama ini diklaim sebagai Sultan Banten terakhir.
Ia sendiri (Rafiudin) bukan orang Banten, melainkan orang Jawa. Bahkan Rafiudin (Jojo Miharjo yg berasal dari Rembang) bukan nama aslinya. Nama itu digunakan setelah dirinya berada di Banten. Kebijakan itu digunakan agar orang Banten mengakui dia sebagai orang Banten.
Selanjutnya, Sultan Safiudin diturunkan dari jabatannya sebagai Sultan Banten oleh Belanda. Sultan Safiudin pada tahun 1832 kemudian dibuang ke Surabaya. Keluarga Sultan Safiudin yang memiliki uang ikut dengan Sultan ke Surabaya, sedangkan yang tidak punya uang menyingkir ke Menes, Pandeglang. Dalam pembuangan itu, Mintorosasi mengatakan, keluarga sultan tidak membawa apa-apa. Sepanjang 1832-1945, Sultan Safiuddin beserta keturunannya tidak diizinkan untuk datang ke Banten.
Setelah Sultan Safiuddin diturunkan dari kesultanan, Belanda menyerahkan kedudukan itu kepada Rafiudin. Rafiudin yang kemudian dijadikan sultan ini tidak diakui oleh keluarga kesultanan. Dalam hal ini Heriyanti Ongkodharma Untoro dalam bukunya Kapitalisme Pribumi Awal Kesultanan Banten 1522-1684, mengatakan bahwa Rafiudin adalah sultan tanpa kedaulatan penuh. Pada akhirnya Rafiudin pun dibuang oleh Belanda ke Surabaya pada tahun yang sama dengan pembuangan Sultan Safiuddin.
Mintorosasih yakin bahwa meskipun keduanya dibuang pada tahun yang sama, Sultan Safiuddin dibuang lebih awal. Keduanya meninggal di Surabaya. Sultan Safiuddin dimakamkan di Boto Putih, sedangkan Rafiudin dikuburkan di Pemakaman Semut, dekat Stasiun Semut.
Silsilah Sultan Safiudin
Dalam pembuangannya Sultan Safiudin bersumpah agar tak ada satupun dari keturunannya yang menikah dengan orang kulit putih. Namun hal lain, sebagaimana akan ditunjukan di bawah, terjadi. Hal berikutnya, semua kekayaan Sultan Safiudin, termasuk mahkota dan permainan congklak yang terbuat dari mas dan zamrud, diambil Belanda. Sementara itu Sultan Safiudin juga masih harus membayar pajak atas perkebunan kelapa miliknya yang ada di Banten.
Pada suatu hari seorang kontroler pajak datang ke tempat pembuangan sultan di Surabaya dan meminta agar Sultan Safiudin membayar pajak atas perkebunan kelapanya yang ada di Banten. Mendapati kenyataan ini, Sultan pun marah. Dia sudah dibuang, kekayaannya diambil, Belanda masih juga memaksa dia untuk membayar pajak atas kebunnya yang ada di negerinya. Dalam marahnya, Sultan menggembrak meubeul marmer hingga pecah. Sepulang dari pertemuan dengan sultan, jelas Mintorosasih, kontroler tadi tidak lama kemudian gila.
Sultan Safiuddin memiliki tiga anak sebagai berikut: Surya Kumala (tak memiliki keturunan), Surya Kusuma (menjalani kehidupan asketis), anonim (meninggal sejak bayi), dan Surya Atmaja. Surya Atmaja alias Pangeran Timur memiliki anak kembar: Ratus Bagus Maryono dan Ratu Bagus Iman Supeno.
Iman Supeno menikah dengan seorang Indo bernama Corry. Dari pernikahan itu ia memiliki satu anak laki-laki dan dua orang putri. Anak pertamanya meninggal. Dalam pekerjaan, Iman Supeno terakhir menjabat sebagai kepala Burgerlijk Openbare Werken (Pekerjaan Umum) di Sumatra.
Ratu Bagus Maryono bekerja sebagai kepala sebuah bank yang sekarang menjadi BRI dan memiliki 17 anak.
Mintorsasih menjelaskan, bahwa pada satu waktu sebagian dari 17 anak ini terus meninggal karena panas. Sekarang, dari 17 anak itu yang masih hidup tinggal dua orang , yaitu Ratu Ayu Mintorosasih (lahir 1920) dan Ratu Bagus Kartono (1932).
Sumpah yang Terlanggar
Seperti disebutkan di atas, dalam pembuangannya di Surabaya Sultan Safiuddin bersumpah bahwa tidak boleh ada keturunannya yang menikah dengan orang kulit putih. Yang terjadi, anak pertamanya, Pangeran Surya Kumala menikah dengan perempuan Prancis. Ini terjadi berawal dari hilangnya burung merak Pangeran Surya Kumala. Dia meminta pembantunya untuk mencari burung tersebut. Lalu burung itu ditemukan di halaman rumah seorang konsul Prancis. Ketika burung merak itu diminta oleh pembantunya, putri konsul Prancis mencacimaki. Dalam caciannya dia mengatakan bahwa dia, putri Prancis ini, ingin menjadikan Pangeran Surya Kumala sebagai keset toilet.
Merasa terhina oleh kata-kata itu Pangeran Surya Kumala kemudian bertapa, hingga tiba suatu saat di mana keduanya bertemu dalam satu undangan.
Dalam pertemuan itu, kata Mintorosasih, Pangeran Surya Kumala terus memandangi putri konsul Prancis yang pernah mencacimakinya. Ada kemungkinan bahwa putri konsul Prancis ini tidak mengetahui bahwa pria itu adalah Pangeran Surya Kumala. Singkat cerita, putri konsul ini jatuh cinta dan mereka memutuskan untuk menikah.
Mintorosasih menganggap pernikahan ini melanggar sumpah buyut Sultan Safiuddin yang melarang keturunannya untuk menikah dengan orang kulit putih. Karena itu semua gelar yang dimiliki Pangeran Surya Kumala dicabut. Pada perkembangan selanjutnya, keturunan Sultan Safiuddin yang menikah dengan orang kulit putih tidak hanya Pangeran Surya Kumala, melainkan juga semua keturunan Sultan Safiuddin yang menikah dengan orang kulit putih akan dicabut gelarnya termasuk Ratubagus dan Ratu Ayu.
Siapa Mintorosasih?
Ratu Ayu Mintorosasi Mahayanti Hendrawardani adalah putri Pangeran Marjono putra Surya Atmaja putra Sultan Safiudin. Lahir pada 22 Desember 1922 di Kediri, ia sekolah di MULO di kota yang sama. Ia berbahasa Inggris, Belanda, Jerman, dan Prancis, selain Indonesia, Sunda, dan Jawa—sekalipun katanya bahasa Jerman dan Prancis sudah banyak yang lupa karena tidak digunakan.
Pada 1941 ia menikah dengan Raden Mas Joko Suyono asal Solo. Suaminya bekerja sebagai asisten wedana, asisten polisi, kemudian sebagai asisten Walikota Kediri. Selanjutnya RM Joko Suyono meninggal ditembak Belanda sekitar 1947 di hadapannya.
Mintorosasih dan RM Joko Suyono memiliki empat anak, yaitu Ahmad Raharjo (tinggal di Kasunyatan, Banten), Nugroho Indarso (tinggal di Tebet), Wiratmo (tinggal di Bogor ), dan Haningdiyo Sularso (tinggal di Surabaya ). Anak terakhir ini masih berumur 35 hari saat bapaknya meninggal. Mintorosasi sempat tinggal di Magelang di rumah Prof. Suroyo sebelum bekerja di Semarang sebagai penerjemah bahasa Belanda di sebuah kantor tentara. Tahun 1950 pindah ke Jakarta dan mendapat pekerjaan sebagai general manager ekspor di Usendo. Sempat tinggal di Manggarai sebelum akhirnya tahun 1990 dia tinggal di Bintaro.
“Saat berceramah di acara dies natalis Untirta tiga empat tahun yang lalu, saya sampaikan bahwa saya ingin mengembalikan kebesaran agama Islam di Banten,” jelasnya. Dia juga mengatakan bahwa Banten sangat spesial dalam konteks kerajaan Islam di Indonesia. Hanya kesultanan Bantenlah, katanya, yang didirikan oleh seorang wali, yaitu Syarif Hidayatullah.
Profil: Sultan Banten Ratu Bagus Hendra Bambang Wisanggeni Soerjaatmadja, Mba.
Sultan Banten Rtb. H. Bambang WS, menjelaskan sejarah tentang awal bertemunya beliau dengan Kesultanan Banten. Berawal dari Pencarian oleh para pengurus Forum Silaturahmi Keraton Kerajaan se-Nusantara (FSKN) yang pada saat itu diketuai oleh YM Tedjo Wulan, dan sekjennya YM Aryo Gunarso (Alm) untuk mencari sosok pewaris asli garis lurus keturunan langsung dari Sultan Banten. Dalam perjalanannya bertemu dengan Ibu Mintorosasih (Bibi dari Kangjeng Sultan Bambang WS) dan KH.Tb.Fathul Adzim Chatib (Putra Residen Banten) dan ditunjukkanlah kepada keturunan garis lurus dari Sultan Maulana Muhammad Shafiuddin, Sultan ke-17 Kesultanan Banten yang dibuang Belanda ke Surabaya dan beliau adalah Rtb. Hendra Bambang Wisanggeni Soerjaatmadja.
Setelah bertemu dengan pengurus FSKN, RTB Hendra Bambang diminta bergabung dalam kegiatan-kegiatan kerajaan nusantara. Pada tanggal 21 Juni 2010 tepatnya di Kerajaan Siak Riau, dinobatkanlah Rtb Bambang Wisanggeni oleh Pengurus FSKN dan diberikan cinderamata berupa Keris Pakubowono. Dan dikuatkan dengan terbitnya hak waris dari Pengadilan Agama Serang pada tanggal 22 September 2016 dengan nomor keputusan PENETAPAN Nomer 0316/Pdt.P/2016/PA Srg.
Baru pada tanggal 11 Desember 2016 dilaksanakan pengukuhan Sultan Banten bertepatan dengan Maulid Nabi Muhammad SAW di Masjid Agung Banten oleh para Ulama, Tokoh agama dan tokoh masyarakat Banten.
Ratu Bagus Hendra Bambang Wisanggeni Soerjaatmadja bin Ratu Bagus Abdul Mughni Soerjaatmadja bin Ratu Bagus Marjono Soerjaatmadja bin Pangeran Timur Soerjaatmadja bin Sultan Maulana Muhammad Shafiuddin, Sultan Penuh Banten terakhir adalah merupakan pewaris sah dan resmi Kesultanan Banten. Beliau adalah : Ketua Lembaga Trah (LT) Sultan Shafiuddin – Kesultanan Banten Pelestarian Budaya Kesultanan Banten; Ketua Lembaga Keluarga Besar dan Kerabat Kesultanan Banten dan Ketua Yayasan Khazanah Kesulthanan Banten.
Beliau dilahirkan pada tanggal 31 Agustus 1954. Pada tanggal 12 Juni 2010, Forum Silaturahim Keraton Se-Nusantara (FSKN) pimpinan YM Tejowulan Keraton Surakarta, beliau diakui sebagai perwakilan resmi Kesultanan Banten.
Pada tahun yang sama oleh KH Tb Fathul Adzim putra Residen Banten KH Tb Achmad Chotib, menyerahkan kembali mandat dari kakek Sultan Bambang kepada keluarga Tb Achmad Chotib terkait kepengurusan Masjid Agung Banten Lama dan Makam Sultan Banten kepada Pewaris Kesultanan Banten, namun dikarenakan satu dan lain hal kepengurusan Masjid dan Makam Sultan Banten saat ini masih di bawah otoritas BWI (Badan Wakaf Indonesia).
KENADZIRAN adalah institusi atau organisasi yang mengurus dan mengelola Perwakafan. Wakaf itu harus jelas Waqif, Maukuf, dan Mauquf Alaih-nya. Saat ini BWI lah yang punya otoritas. Adapun Kesultanan adalah institusi yang turun kepada pewaris putra mahkota dari garis keturunan atau trah Sultan itu sendiri. Sehingga bilamana ada pihak Kenadziran mengurus makam dan masjid Sultan Banten yang bukan dari pewaris putra mahkota Sultan Banten mengklaim sebagai Sultan Banten maka klaim tersebut adalah tidak berdasar dan bukan haknya dan bukan pada tempatnya.
Pada tahun 2013, Silsilah beliau selaku pewaris Kesultanan Banten diakui dan disahkan oleh Rabitah Azmatkhan selaku Lembaga penelitian nasab Keluarga turunan Walisongo dan juga disahkan oleh Naqobah Kesultanan Banten – Paguyuban Trah Kesultanan Banten. Pada bulan Ramadhan di tahun 2013, beliau menunjukkan kepedulian kepada masyarakat Banten dan keluarga besar keturunan Kesultanan Banten, dengan mengadakan Bakti Sosial ke daerah-daerah pemukiman di Banten yang banyak dimukimi oleh para dzuriyat Kesultanan Banten, misal daerah Banten Lama, Kasunyatan, Kenari dan lain-lain.
Pada bulan Desember 2013 bapak Ratu Bagus Hendra Bambang Wisanggeni diundang oleh Gubernur Jakarta Bpk Jokowi yang sekarang menjadi Presiden Republik Indonesia untuk mewakili Kesultanan Banten dalam acara Festival Keraton Se-Dunia (World Royal Heritage) di Monas Jakarta. Sepanjang tahun 2013-2015 Beliau juga kerap mengadakan kunjungan silaturahim dengan para Ulama Banten semisal : KH. Muhtadi bin Abuya Dimyathi Cidahu, KH Munfasir, KH Yusuf Mubarok Cinangka, KH Sukanta Labuan, KH Uci Turtusi Cilongok Pasar Kamis Tangerang, KH Thobari Syadzili Tangerang, KH Lukman Harun Cilegon dan lain-lain.
Pada Tahun 2014, pengakuan terhadap beliau sebagai pewaris resmi Kesultanan Banten mulai datang dari kalangan internasional dengan diundangnya beliau sebagai Sultan Banten oleh pihak Kesultanan Kelantan Malaysia.
Pada tahun 2015, tepatnya pada tanggal 3 Februari 2015, Beliau diakui oleh para Ulama Internasional dari Turki (Oleh Syeikh Fadhil Jailani keturunan Syeikh Abdul Qadir Al-Jaelani), Syria, Kelantan-Malaysia dan Pattani-Thailand sebagai Sultan Banten terkini ke-18 dengan gelar Sultan Syarif Muhammad Ash-Shafiuddin. Beliau juga diberikan wasiat dan mandat sebagai pewaris Kesultanan yang memimpin secara budaya dan Keislaman bersilaturahim dengan para ulama Banten, masyarakat dan pemerintah daerah.
Pengakuannya diperkuat dalam salinan putusan Pengadilan Agama Serang September 2016 yang menyatakan, Ratu Bagus Bambang Wisanggeni Soerjaatmadja, MBA bin Ratu Bagus Abdul Mugni Soerjaatmadj Bin Ratuu Bagus Maryono Soerjaatmadja Din Pangeran Timur Soerjaatmadja Bin Sultan Maulana Muhammad Shafiudin (sultan Banten Berdaulat terakhir), sebagai Pemilik. Pertalian Darah Terkuat yang memiliki hak waris sebagai penerus kesultanan Banten.
Dalam acara Maulid Akbar dan Istighosah Kesultanan Banten di halaman Masjid Banten Lama, Kota Serang , Tanggal 11 Desember 2016, ulama, pemerintah, dan tokoh masyarakat di Banten mengukuhkan penetapan Ratu Bagus Bambang Wisanggeni Soerjaatmadja menjadi Sultan Banten. Tokoh ulama yang mengukuhkan diantaranya, KH Abuya Muhtadi (Cidahu, Pandeglang), KH Busro (Malingping), KH Nursyid Abdullah (Ulam tangerang), KH Tohir Toha (Kasemen), H Edi Sutisna, KH Baehani, H Aris Haelani, Kemudian disusul pada kesempatan berikutnya oleh KH.Abuya Munfasir (Barugbug, Serang), Buya Sujana Karis (Ciminyak, Lebak), H.Taufiqurrahman Ruki (Lebak) hingga saat ini dukungan pengukuhan terus mengalir dari para kasepuhan dan tokoh masyarakat.
Semoga Sultan Banten terkini selain sebagai Entitas Budaya Masyarakat Banten, juga dapat membawa kemaslahatan bagi masyarakat Banten terutama dengan visi misi beliau di berbagai bidang termasuk di bidang pembenahan akhlak masyarakat Banten dengan tetap menjaga Akidah Islam. Amin YRA. (*)
Terima kasih tulisannya. Barakallah pamanda Sultan Ratu Bagus Bambang Wisanggeni Soerjaatmadja. I❤️Banten.