Beranda Home Stanley dan Mogulisme Media yang Anjay Sekali

Stanley dan Mogulisme Media yang Anjay Sekali

0

(Catatan Refleksi HPN 2019)

Oleh: Ramon Damora, Wartawan Indonesia.

KETUA Dewan Pers, Yosep Adi Prasetyo, kembali menghumban lagu lama ‘moghulisme media’. Moghulisme dalam takrif Ketua Yosep adalah gurita konglomerasi media dari cetak, radio, televisi, sampai daring (online). Yang dia cemaskan: moghulisme media berpotensi menyeragamkan pemberitaan untuk kepentingan pihak tertentu.

Baru-baru ini, keprihatinan serupa dia kemukakan lagi di forum workshop Peliputan Pemilihan Legislatif dan Pemilihan Presiden di Four Point Hotel, Surabaya. Workshop menjadi salah satu rangkaian acara Hari Pers Nasional (HPN) Jawa Timur 2019 dimana Kota Surabaya ditunjuk sebagai tuan rumah.

Di sinilah letak menariknya. Poin pencerahannya. HPN adalah hari besar umat Pers Indonesia. Sebagai wartawan, kita membutuhkan refleksi sebanyak-banyaknya, sedapat-dapatnya, demi merayakan HPN yang rahmatan lil universe.

Rekayasa kegembiraan, semangat baru, penting bisa selalu ada di setiap berulangnya tarikh demi tarikh yang kita anggap epik. Manusia menghadirkan istilah-istilah bergairah saat merayakan penanggalan istimewa: resolusi, reaktualisasi, revisi, revitalisasi, dsb.

Adapun refleksi bukan tindakan semacam itu. Refleksi tak menuntut modifikasi persiapan apapun dari manusia yang ingin meraih pencerahan di momen hari jadinya. Refleksi hadir secara alami lewat pantulan-pantulan kebiasaan, tabiat, fi’il, juga pilihan-pilihan diksi, narasi, konsesi-bukan-konsesi, yang (di)tampil(kan) oleh satu entitas tatkala terhubung ke dunia luar.

Bagaimana merefleksikan HPN 2019? Berpulang pada ijtihad meditasi masing-masing soal dimana, dan bagaimana, hendak memburu pantulan permenungan mengenai posisi Pers Indonesia hari ini. Bagi saya, terdapat banyak ‘kode lunak’ refleksi yang bisa dipetik dari peristiwa ‘moghulisme media’ ala Ketua Dewan Pers di atas.

Saya menyebut ‘peristiwa’ bukan karena serta-merta setuju dengan istilah tersebut sebagai sesuatu yang faktual, melainkan karena ada sejumlah pantulan titik balik Pers Indonesia di situ, khususnya menyoal dugaan degradasi posisi sakral Dewan Pers saat ini.

Pertama-tama, tentu saja saya tidak berharap materi ‘moghulisme media’ yang disampaikan Ketua Dewan Pers dalam forum workshop HPN Surabaya 2019, yang secara kebetulan dirilis oleh banyak media, dan saya membacanya pertama kali di laman ceknricek.com edisi Rabu (6/2), dianggap sebagai ‘pidato perpisahan’ seorang Yosep Adi Prasetyo a.k.a Stanley.

Andai pun ada situasi-situasi tak disengaja yang akhirnya jadi seperti ‘eh, betul rupanya, itu statemen terakhir Pak Yosep sebagai Ketua DP’, maka cukuplah dikenang sebagai farrewel-party yang buruk. Mari berdoa semoga kita menemukan pernyataan resmi, retorika selamat tinggal, atau apapun dari beliau, yang lebih dari sekadar ‘moghulisme media’.

Stanley dan ‘moghulisme media’ adalah dua hal tak terpisahkan. Dwi konco wacana seiring sejalan. Dua-duanya muncul beberapa tahun lalu sebagai wajah dan istilah baru Dewan Pers menghangatkan atmosfer jurnalisme tanah air.

Yosep Adi Prasetyo adalah Stanley adalah as known as, a.k.a, yang juga dikenal sebagai, atau sebut saja demikian. Ini mewakili curriculum vitae-nya yang multi-latar: aktivis, penggerak NGO, jurnalis, mantan anggota Komnas HAM, konsultan manajemen, pengajar.

Punya dua Ketua Dewan Pers sebelumnya yang sama-sama bergelar profesor ‘garis lurus’, kehadiran Stanley dengan segala profilnya memang menjanjikan harapan. Pers Indonesia menunggu-nunggu, garis seperti apa yang bakal ia bentangkan dalam menghayunkan trisula ideologi DP: mengembangkan, melindungi, dan mendidik Pers Indonesia dalam menjalankan tanggung jawab sosialnya ke publik.

Tentu saja ada sedikit keraguan. Misalkan soal kharisma. Sosok Bagir Manan, atau kalau ditarik lagi ke belakang ke era Ichlasul Amal, menggaransi kewibawaan Dewan Pers dengan penuh tabik hormat. Stanley, ‘ala kuli haal, sesungguhnya tak perlu-perlu amat memiliki dimensi tersebut. Dia cukup menjaganya dengan memaksimalkan ruang-ruang strategis lain.

Sayang sekali, peran ini berjalan tidak maksimal — untuk tak mengatakan gagal. Mulai dari gosip tidak harmonisnya suasana internal dalam bilik Kebon Sirih, kebijakan aneh memasang label barcode yang kontroversial, yang notabene ditentang oleh anggota Dewan Pers lain, lalu puncaknya prahara ‘fatwa’ baru verifikasi Dewan Pers.

Tahulah kita sekarang apa garis Stanley. Garis keras. Gaya aktivisnya keluar di sana-sini. Dan, untuk beberapa hal, masyarakat pers melihat ekspresi baru DP yang diwakili Stanley sebagai lembaga independen yang doyan menggerutu, suka main gebuk.

Salahkah? Tidak. Malah bagus barangkali, sepanjang berangkat dari konsepsi mengakar pada ‘tiga rukun iman’ tadi. Pers Indonesia hanya ingin dituntun untuk berkembang, dilindungi, serta merasa dididik dengan baik. Tak lebih.

Pers Indonesia punya senjata ijab qabul sapu jagat yang sebisa mungkin diartikulasikan dengan santun demi menjunjung tinggi daulat paduka DP. Kontrak itu berbunyi: Otoritas Dewan Pers terletak pada kehendak Perusahaan Media untuk menghargai pendapat-pendapat DP.

Senjata itu belakangan menyalak dalam pelbagai intensitas ketegangan. Aksi massa menuntut pembubaran DP atau membuat Dewan Pers tandingan, se-bullshit apapun, sedikit banyak memperlihatkan telah tergerusnya penghargaan kita kepada DP.

Jika di ujung masa jabatannya Stanley bisa cair sedikit saja, menurunkan volume gerutu, menempuh (seolah-olah) jalan tengah, pokoknya bijak bertindak, sopan bertutur, saya yakin, lebih happy puncak HPN hari ini kita nikmati. Tapi, sudahlah. Stanley adalah Stanley. Aktivis kita.

Retak, semakin mencari belah. Stanley keasyikan nonstop nyinyir dengan istilah salah kaprahnya itu: moghulisme media. Moghul – mogul – mughal – berakar pada lema Mongol (Monggol). Dunia sampai hari ini masih mencatat kata tersebut dengan kekaguman luar biasa terhadap ratusan tahun peradaban Dinasti Mongolia.

Sejak abad 16 sampai abad 18, sejak Jengis Khan hingga Pangeran Moghul, dinasti muslim yang bertapak di India ini menjadi sejuta cerita. Dari satu inspirasi kisah cinta Taj Mahal saja, Moghul terserap ke dalam banyak ekspresi. Ada aplikasi komunikasi virtual antar-perempuan, Mogul namanya, populer sekali di Amerika. Tagline-nya, ‘wanita pun berhak bertindak mengubah dunia’.

Itu baru satu imajinasi. Ratusan jejak peninggalan kejayaan Mongolia menyumbang perayaan linguistik besar-besaran. John Langdon Down pada abad ke-19 mengumumkan nama ‘Mongoloid’ sebagai istilah medis merujuk sindrom keterbatasan fisik. Dunia bergejolak. Belum ada WHO waktu itu.

Pada karakteristik fisik tertentu, penderita sindrom ini memang agak mirip dengan warna kulit ras Mongolia. Tapi menyandarkannya ke Bangsa Mongol, dinilai memalukan. Ketika WHO berdiri, nama ini langsung dihapus karena dianggap mencemarkan sebuah peradaban, kemudian diganti menjadi sindrom Down saja.

Begitulah. Sampai catatan ini selesai ditulis, saya tidak –bilang saja belum– menemukan literatur mengenai istilah ‘moghulisme media’ yang berdiri otonom dalam tafsir kejahatan korporasi media. Kamus-kamus dunia mensyarah kosa kata ‘mogul’ dalam ragam energi inspirasi yang berkembang di tengah masyarakat penuturnya.

Ada arti mogul sependek ‘ruler’ (Pemerintah) atau ‘swayer’ (Ratu Adil), ada yang agak panjang dan lantang seperti defenisi Oxford: ‘a very wealthy or powerful businessperson’ alias tajir kaya raya makmur sentosa. Mogul sejati adalah mereka yang berdarah-darah, bekerja siang-malam, dalam mencapai kejayaan. Ini pengertian yang sangat umum sebenarnya di sementara kalangan pebisnis Barat.

Urban-Dictionary, kamus online yang muncul belakangan, malah membuat contoh konkret arti kata mogul dalam kalimat berikut: Rockefeller was a mogul. The Olsen Twins are not. John D Rockefeller, taipan pertama dalam sejarah Amerika, bos Standard Oil, benar seorang mogul. Sedangkan si kembar Olsen dari drama televisi ‘Full House’ sama sekali bukan. Semasyhur dan setajir apapun dia.

Di zaman now, di mana kemandirian jiwa wirausaha tengah digelorakan, anak-anak muda sekarang bermimpi jadi seorang moghul. Bahkan menjadi sang moghul di dunia informasi. Mereka bercita-cita dalam imajinasinya yang paling liar kelak bisa berada di posisi kesuksesan Chairul Tanjung (versi sekarang) atau Dahlan Iskan (yang dulu), ngidam jadi Surya Paloh (minus Nasdem-nya), atau boleh jadi Erick Tohir (andai dia lebih peduli pada Inter Milan dan menolak jadi ketua timses).

Ketika disrupsi digitalisasi tanpa kita sangka-sangka terjadi begitu lekas, ketika konvergensi media sudah menjadi topik wajib rapat-rapat newsroom, masihkah keseragaman dipandang menggentarkan? Kekhawatiran bahwa yang beragam itu akan seragam dalam membiakkan jurnalisme culas, kemaruk, pengampu kekuasaan, dan seterusnya, pada akhirnya, terdengar sebagai nada-nada kesepian.

Betapa kesepiannya Stanley. Padahal sungguh besar Dewan Pers itu di mata masyarakat Pers Indonesia. Apabila DP menjadikan kebesarannya sebagai alat untuk ikut membesarkan konstituennya, wah, niscaya akan lebih besar lagi tak tanggung-tanggung marwah DP. Orang besar tak takut apapun. Remeh baginya untuk mengagendakan regulasi besar, supaya konglomerasi tak besar kepala banyak duit, bikin media, jadi ketua partai.

Dialektika saling membesarkan agar tidak kerdil di hadapan dunia. Cuma itu yang belum mampu kita lakukan. Betapa kesepiannya Pers Indonesia. Perusahaan didesak melakukan verifikasi, wartawan dipaksa menjalani sertifikasi, toh dicibir melulu sebagai macan ompong. Jalan di tempat kita. Tapi malu mengakuinya. Berlindung di balik istilah-istilah semenjana para-frasa rekaan sendiri. Oh mogulisme media.

Mogul di seberang lautan tampak, mogul di pelupuk mata dibiarkan. Saya, mohon maaf, sampai kapanpun menolak melupakan Uji Kompetensi Wartawan (UKW) beberapa bulan sebelum Tahun Babi Tanah ini. DP adalah pihak paling bertanggung jawab di balik bazaar festival UKW penutup tahun 2018 lalu.

Apa yang terjadi setelah DP memutuskan, bahwa mulai tahun 2019 wartawan wajib ikut UKW mulai dari tingkat muda lebih dulu baru boleh melangkah ke level selanjutnya, tak bisa langsung loncat seperti sebelum-sebelumnya? Catat: sejumlah lembaga uji gentayangan memanfaatkan arahan DP tersebut seolah diskon tutup tahun Dewan Pers.

Mereka menggelar UKW kejar tayang, memasang tarif ‘big sale’ 3-4 juta rupiah kepada peserta, tak lupa iklan terselubung: ayo, manfaatkan kesempatan ini sebaik-sebaiknya, mumpung belum tutup tahun, mumpung masih bisa loncat-loncat. Buruan pilih level ujian kesayanganmu. Dijamin lulus.

Aku menangis. Wartawan kemarin sore resign dari kantor lamanya, berutang modal sana-sini bikin perusahaan media baru, lulus UKW, menyandang sertifikat wartawan utama, mengajukannya sebagai syarat verifikasi DP, kini bungah dadanya, melambaiku dari kejauhan dengan senyum polosnya, aku balas dengan tersenyum pula, tapi hatiku nanar, tahu benar kemampuannya.

Aduhai Adikku, Sahabatku, ada saja kerikil di jalan berprosesmu yang seharusnya indah itu. Selamat menjadi mogul-mogul palsu. Gong Xi Fa Cai. Selamat Hari Pers Nasional. Terimakasih, Bang Stanley. Selamat bekerja, Dewan Pers yang baru.

Tak banyak yang kami minta dalam refleksi kecil di HPN 2019 ini. Mohon kembalikan saja nilai-nilai luhur ‘keanjingan’ dalam diri kami. Kami cemas, kami mulai merasa tak lagi pantas menyandang amanah sebagai The Wacthdog, sebagai Anjing Pengawas.

Tolong, Dewan Pers. Tolong. Jangan mudah menyerah. Jangan tidur. Bangun-bangun, kami saja yang kau teror. Kami juga manusia. Pikirkan saja cara paling asyik untuk mendidik kami kembali jadi Anjing Pengawas, sebelum fitnah akhir zaman benar-benar membuat istilah ini terdengar kuno, lawas, sebelum Dajjal-Dajjal-Digital menyulap lidah indah anak-anak kami di rumah cengengesan tanpa rasa bersalah menyebut orangtuanya anjay, anjir…

Hai semua, tidakkah kalian mengalami, hidup dalam bisnis seperti ini terasa sangat anjay sekali? Anjir! (*)